Senin, 13 Juni 2022

ANEKA IDEA

 SPIRITUALITY FOR SECULAR PERSON OR JUST FOR RELIGIOUS PEOPLE ?

SPIRITUAL AND RELIGIOUS VS SPIRITUAL NON RELIGIOUS  

Just For Seekers : SNBR ?

Sadhguru Yasudev Quotes : 
Every human being should know the highest possibilities in life are, Whether they will walk the path all the way or not is up to them.
Setiap manusia seharusnya mengetahui apa kemungkinan tertinggi dalam hidup. Apakah mereka akan menempuh jalan itu sepenuhnya atau tidak adalah terserah mereka.

QUE SERA SERA, PANTHA REI .... SUCHNESS PHILOSOPHY
apapun yang terjadi terjadilah , biarkanlah segalanya mengalir apa adanya sebagaimana harusnya ..... Paradigma Kesedemikianan.
Paradigma kesedemikianan untuk keselarasan dalam keniscayaan (Parama Dharma - Mandala Advaita - Formula Swadika)

SKETSA 
apa ini? coretan tidak karuan..?.. ya ... itulah sketsa sederhana suchness philosophy .... paradigma  kesedemikianan , hehehe

TENTANG SKETSA 
Diagram Venn Himpunan aljabar ? Bujur Sangkar Universun hokistics (harusnya matra 3 bidang ruang > 2 bidang datar = bola > lingkatan Taoism ?)
~ = ketidak-terhinggaan (Realitas Kebenaran) ; E = sigma keberadaan ( Fenomena Kenyataan)
A B C D = orientasi ke atas, ke dalam vs ke bawah ke luar  = Parama Dharma keselarasan vs Maha Avijja ketersesatan   
Lingkaran  = layer eksistensial - Universal - Transendental  (disikapi secara holistik sebagai level gradasi > label hirarki ? )
Juring AD = ideal keselarasan lokuttara (kedewasaan /pencerahan ) beri tanda centang ( V =victory ) vs Juring BC =  idiot ketersesatan lokantarika (tanda X wrong? )
evolusi pribadi -  harmoni dimensi - sinergi valensi ; (swadika talenta visekha ) (persona regista persada) ; (menerima mengasihi melampaui)  (kesadaran di kedalaman - kewajaran di permukaan - kecakapan di keluasan)  (being trur - humble - responsible )etc 
TENTANG IDEA 
kami tidak membuatkan belenggu pandangan lain, sesembahan baru maupun kelompok beda ( hanya ... just share idea pengertian keseluruhan ) 
pandangan universal panentheistic (bagi para filsuf ), pandeistic (bagi para agamawan) bahkan panatheistik  (bagi para agnostik)
rintisan paradigma holistik untuk dikembangkan sesuai kematangan keberadaan diri (puthujana, sekha, bahkan asekha)

INFERENSI DIMENSI = 
urut dari bawah gradasi vs MLD avijja diri (dampak karmik & effek kosmik)

NO

WILAYAH

LAYER

ORIENTASI

MODE

SIFAT

TERM

TYPE

 DIRI ?

 TATARAN 

1

Kamavacara

Eksistensial

Kebahagiaan

Eksploitasi

Transaksi

Lillah

Persona

Mengaku (sebagai aku)

Personal

2

Brahmanda

Universal

Kesemestaan

Interkoneksi

Harmoni

Billah

Monade

Mengesa (sebagai kita)

Transpersonal

3

Lokuttara

Transendental

Keadvaitaan

Aktualisasi

Sinergi

Fillah

Sakshin

Meniada (sebagai dia)

Impersonal

PANENTHEISTIC ? 
SegalaNya (Laten DeitasNya) bermula, berada dan kembali kepadaNya (triade : diri – alam – inti )
Bermula karena katalisasi peniscayaan keberadaan > emanasi keilahian brahman > prokreasi penciptaan ketuhanan
Berada dalam kaidah kosmik (Parama Dhamma akan advaita niyama dharma : keutamaan > kebenaran > kenyataan )
Kembali kepada mandala advaita ( segalanya berada dalam sigma kewilayahan yang sama dari ketidak-terhinggaan yang bukan hanya mungkin memang sudah ada namun juga belum ada , akan ada bahkan susah ada karena konfigurasi peniscayaan yang sudah/belum/akan/tidak terpenuhi.) 
Gradasi tidak hirarki ? karena walau beda level , layer & label keberadaannya berada dalam kealamian, keilahian & kemurnian advaita mandala yang sama
Ah ... Susah juga memadukan apalagi mengungkapkan (terlebih lagi merealisasikan) paradigma kebijaksanaan kesedemikianan demi keselarasan bagi keseluruhan. Maaf, Socrates ... terpaksa untuk mempermudah & memperjelas paradigma kesedemikian ini kami ajukan framework deduktif  tidak lagi induktif majeutike terus ... walau bukan hanya sungkan, riskan & kompleks rintisan pandangan ini.


 

 REKAP IDEA

REHAT DULU (22052022)/REKAP IDEA/NEW/03 DS SHARE2SEEKER 21052022 ALL IDEA OKE.docx

6450521

REHAT DULU (22052022)/REKAP IDEA/NEW/03 DS SHARE2SEEKER 21052022 ALL IDEA OKE.pdf

5491973

QUE SERA SERA, PANTHA REI .... SUCHNESS PHILOSOPHY
apapun yang terjadi terjadilah , biarkanlah segalanya mengalir apa adanya sebagaimana harusnya ..... Paradigma Kesedemikianan.
Paradigma kesedemikianan untuk keselarasan dalam keniscayaan (Parama Dharma - Mandala Advaita - Formula Swadika)

Sadhguru Yasudev Quotes : 
Every human being should know the highest possibilities in life are, Whether they will walk the path all the way or not is up to them.
Setiap manusia seharusnya mengetahui apa kemungkinan tertinggi dalam hidup. Apakah mereka akan menempuh jalan itu sepenuhnya atau tidak adalah terserah mereka.

Konsideran Dilemmatik : HUJJAH MULIA UNTUK KEMBALI BUNGKAM,  SEEKER ? bungkam itu aman & nyaman
Tampaknya selama ini kami hanya berputar-putar saja …Walau sesungguhnya memang sungkan karena masih rendahnya kenyataan autentik dalam level spiritual dan memang riskan karena tetap perlu keberadaan harmonis dalam label eksistensial , namun tampaknya  pandangan esoteric yang tersembunyi (disembunyikan?) di kedalaman ini memang seharusnya muncul  ke permukaan demi kebijakan pengertian & kebajikan penempuhan untuk mempermudah pencerahan selanjutnya.
Hidup adalah pilihan. Sebagai seeker kami memang  memilih  pandangan panentheistic ini untuk menjaga arah pandangan yang relative lebih benar, bijak & bajik dalam keseluruhan untuk senantiasa true, humble & responsible selaras dengan realitas kenyataan yang terjadi.
Segalanya (aneka keberadaan laten deitas dsb) tampaknya memang berawal dari Sentra KeIlahian Satu yang sama (Impersonal Transenden God?) dan berada dalam mandala DeitasNya kemudian secara ideal laten Deitas seharusnya akan kembali kepadaNya … namun dikarenakan orientasi berpandangan, berpribadi & berprilaku serta realisasi penempuhan, pencapaian & pencerahannya akan mencapai level yang berbeda walau dalam area mandala deitas keIlahian yang sama . Kami mengutarakan ini dengan tanpa maksud sama sekali untuk membela yang satu apalagi harus mencela lainnya namun ini agar kita memang harus tetap swadika untuk bijaksana menerima keniscayaan atas kesedemikian konsekuensi logis & ethis yang secara kosmik berlaku.  Well, harmoni dimensi memang perlu dilakukan dalam peran semesta ini demi kebersamaan namun evolusi pribadi tampaknya memang tetap harus dilakukan secara mandiri dalam kesendirian sebagaimana harusnya (aktualisasi impersonal > transaksi personal > defisiensi individual)

1. bungkam karena : kerepotan eksternal atau keribetan internal (dalih excusitis kenyaman penghindaran ?)
kutipan : Corona 5 
SEEKER PROJECT FOREVER (gnosis wisdom exodus) 
masih ribet & repot .... banyak beban tugas dari peran eksistensial diri yang perlu pemantasan & ketuntasan. Rehat . 
CORONA  5 
Tampaknya saat ini situasi kondisi sudah mulai cukup kondusif ... virus sudah adaptif & imun vaksinasi - iman resistensi sudah kembali effektif ?  Dunia sudah tidak lagi galau dan mulai normal lagi berputar .... antara sakau mengumbar keakuan/kemauan dan mulai kacau menebar kebencian/ kerusakan seperti biasanya ? (konflik luar /dalam negeri sudah mulai lagi ... jika tidak pekok & heboh (kasar ? ganti saja : sakau dan kacau ... terserahlah) hidup memang tampak terasa tidak 'hidup',ya... ?  Hehehe. 
Tetaplah waspada untuk tetap terjaga, ah ... agar bisa menjaga & berjaga .... intinya jangan lengah terpedaya senantiasa memberdaya ... bersamaan dengan proses berjalannya waktu tanpa dapat dicegah kita semakin tua melapuk (walau tidak berarti mencapai kedewasaan psikologis apalagi pencerahan spiritual) ... tanpa covid kita masih tetap bisa sakit. bahkan tanpa sakit kita bisa saja mati (konsekuensi dualitas kehidupan) plus kelanjutannya juga, lho ... karena sebagaimana kita saat ini yang secara akumulatif terniscayakan faktor karmik/kosmik lampau diri kita dulunya demikian juga nanti ... well, setiap diri pada hakekatnya sedang melayakkan dampak effek akumulatif dirinya secara karmik/kosmik demi saat nanti melalui tindakan batiniah/zahiriah dirinya sendiri sebelumnya. So, perhatikan sikap batin & tindakan (mental, verbal & aktual) kita di setiap kekinian dimanapun dalam sikon & peran apapun juga. 
Jadi inget Sang Ariya Buddha Gautama & Bhante Moggalana yang walau telah mencapai Nibbana sekalipun tetap harus menanggung beban karmik dosa/ kesalahan dari kehidupan samsarik lampaunya (apalagi kita yang nota bene belum mencapai layer evolusi pribadi lokuttara masih di bawah level brahmanda bahkan tersekap dalam peran label kamavacara). Bagaikan bayang-bayang yang mengikuti keberadaan diri demikianlah dampak karmik/ effek kosmik kebodohan, kesalahan & keburukan berpandangan, berpribadi dan berprilaku akan menyertai perjalanan kehidupan keabadian kita ... cepat atau lambat (dalam peran dagelan nama rupa saat ini atau setelah ini ataupun pada saatnya nanti ) apa yang dituai  niscaya akan kita petik juga buahnya. Well,demi keutamaan untuk menjaga keperwiraan, keterjagaan dan kewaspadaan yang lebih dewasa (utama, benar & nyata) tetaplah reseptif & antisipatif untuk menjadi autentik & holistik dalam kesedemikianan tertib kosmik keseluruhan ini ... nafikan sementara walaupun mungkin memang senantiasa tetap ada kemungkinan ahosi karma , fasilitasi pengampunan / pelimpahan lainnya yang bisa saja terjadi (aktualitatif > identifikatif > eksploitatif). Dengan demikian Evolusi pribadi , Harmoni dimensi & Sinergi Valensi tetap berjalan selaras dan terniscayakan kelayakannya secara murni sebagaimana harusnya secara eksistensial, universal & transendental. Keutamaan > Kebenaran > Kenyataan ... ada bonus nilai plus untuk meningkatkan/melampaui kualitas kelayakan yang lebih baik yang juga mencegah keterpedayaan yang menjatuhkan (optimis kepercayaan diri  atau opurtunis pengharapan lainnya ?) dan faktisitas pembatasan (dinamika konfiguratif keberuntungan eksistensial atau kemalangan universal ) yang mungkin juga akan terjadi. DST
LANJUT NANTI SAJA ... PC utama hang, tinggal NB tua untuk tugas lainnya. 
AKHIRNYA SUDAH BISA LAGI ... Kecapekan kali ... kirain sudah almarhum VGA atau memorynya. 

2. bungkam karena : kesungkanan & keriskanan (sensitivitas & stabilitas yang sudah ada )

Sesungguhnya  tiada maksud sedikitpun dari kami untuk bersengaja berputar-putar selama ini. Sudah coba kami lakukan berkali-kali posting (puluhan bahkan lebih di seluruh blog kami, antara lain : just for seeker, limbah hikmah, dll) untuk memformulasikan paradigma kesedemikianan ini secara sistematis dan terstruktur sebagaimana yang kami harapkan ... walau kami tahu sesungguhnya ini sangat sungkan dan riskan untuk mengutarakannya. Kami sungkan karena kami harus tahu diri akan level kelayakan pribadi kami sendiri dan sungkan karena ini bukan hanya akan memposisikan diri kami tersudutkan bukan hanya sebagai public enemy namun bisa jadi cosmic enemy dikarenakan akan tampak sebagai kontroversi pandangan yang memyimpang dan bisa jadi dianggap membahayakan ? link AM 
Semula kami coba memberanikan diri hanya sekedar share dalam judul Suceng Selon Seeker ... namun ternyata seperti biasa macet dalam menuliskan aliran pemikiran tersebut ... padahal biasanya jika dalam kondisi bebas bisa lepas spontan leluasa mengalir. Mungkin ini - meminjam istilah teori quantum learning - dikarenakan otak kita pada dasarnya adalah prosesor visual ketimbang verbal yang susah mengutarakan keseluruhan yang utuh secara linear ? Jadi biarkan saja kami gunakan posting ini untuk membuka keran idea denga menuliskan apa saja yang mampu kami ungkapkan untuk kemudian kami edit untuk yang patut di-share saja. Tak usah dibaca karena fikiran kera (istilah meditator) ini akan melompat-lompat ...
Suceng ? suceng maksudnya jujur apa adanya.... tidak masalah menang atau kalah yang penting benar dan tidak salah . (Fair Play) link FB
Suceng sesungguhnya istilah para penjudi (ketahuan mantan petaruh tetapi kalahan, lho... kami memang bukan orang baik-baik dalam artian hidup bersih, saleh dan lurus sejak dulu ... sekarang ? semoga tidak ulangi lagu lama, ah ... sudah tua. Ibarat pohon kayu sudah gapuk melapuk menunggu maut) Jadi ingat nostalgia tempo doeloe ketika masih pekok dan heboh ... mbambung kabur kanginan (istilah jawa : keluyuran tanpa jelas arah tujuan) hingga suatu saat kami menanyakan pada diri sendiri tentang apa arti hidup ini ,mengapa kehidupan yang tidak pasti seperti ini harus kami jalani dan bagaimana harusnya kami mengamati, mengalami dan mengatasi grand desain sistem kosmik ini. Itu adalah titik balik diri untuk kembali wajar sebagaimana kebanyakan orang dan juga bahkan untuk menjadi sadar sebagai seorang seeker tentang hakekat permainan kehidupan ini. Paska reformasi 1998, dalam kewajaran beragama keluarga (sebagai muslim) kami juga menjelajah ke berbagai tempat untuk belajar agama dan norma kosmik lainnya (Kristen, Buddhisme, Mystics, etc).  Kami ingat setelah bersama seorang teman Buddhist ikut diklat manggala dharma di Vihara Mendut akhirnya kami pergi ke Jakarta ke Vihara Dhamma Cakka untuk belajar Abhidhamma kepada (mendiang) Bapak Pandit J Kaharuddin (namun gagal ... walau sudah berpapasan sebetulnya ... seorang mahasiswa STAB memberi kami buku Mahasatipatthana saat itu ... tanpa tahu arti pentingnya saaat itu ; disamping itu kami juga ke Radha Soami satsang beas memperoleh referensi mystics dari tokoh pengurusnya dan Anand Khrisna Ashram meditasi katarsiS osho therapy stress managemen dan bertemu seorang penempuh lainnya.  Well, pengalaman berkesan sebagai seeker ... sebelum kami akhirnya memutuskan untuk kembali wajar membumi hingga saat ini. 
Selon ? selon juga istilah para penjudi artinya puputan, habis-habisan ... nekat mempertaruhkan segala yang dimilikinya di meja taruhan 
Seeker ? istilah umum untuk pencari kebenaran (sebatas referensi seperti kami truth seeker namun belum menempuh/menembus realisasi True Seeker .padaparama ?)

3 Pertanyaan Mendasar = JUST SAY REKAP   (pertanyaan eksistensial diri seeker ?)
1. WHAT = apa arti hidup ini ,
2. WHY = mengapa kehidupan yang tidak pasti seperti ini harus kami jalani dan 
3. HOW = bagaimana harusnya kami mengamati, mengalami dan mengatasi grand desain sistem kosmik ini. 
Itu adalah titik balik diri untuk kembali wajar sebagaimana kebanyakan orang dan juga bahkan untuk menjadi sadar sebagai seorang seeker tentang hakekat permainan kehidupan ini. Susah juga mengutarakan ini 

Langsung saja, kelamaan ...
apa itu monkey mind awalnya tadi ? pengakuan dosa atau pengemasan kerendahan hati ? mengagungkan ketinggian diri memang akan jelas tampak sebagai kesombongan yang tersurat namun menunjukan kerendahan hati itu terasa seperti pengalihan diri dan bahkan pembanggaan diri yang tersirat ?
Walau tanpa energi (kemarahan seperti biasanya ?) dengan kesadaran niatan untuk sekedar menuntaskan janji untuk berbagi walau tanpa pemantasan kemasan normatif religius spiritual yang sebagaimana harusnya ... kami ungkapkan hipotesis paradigma ini. Bisa jadi ini akan menjadi gelombang liar pengertian yang akan memporak-porandakan kemapanan lautan yang tenang ... hening dalam kesemuan, mapan dalam ketidak-mengertian bahkan kokoh dengan bangunan kepalsuannya. Saatnya kita memahami Grand Design permainan keabadian ... dagelan nama rupa di seluruh mandala ini hingga kita mampu beraktualisasi secara holistik, harmonis dan sinergik dengan tanpa perlu mengalienasi diri (Mystic pantheistic or paradigma sudhavasa ? ) apalagi saling mengeksploitasi  (atta & loka dipatheyya). Being true, humble & responsible adalah keniscayaan yang seharusnya sadar dilakukan karena kaidah kosmik yang transenden impersonal tidak naif butuh pengakuan, liar rakus perhatian dan tetap suci dalam kearifanNya atas liarnya kebebasan yang dibiarkan tersebut akan memaksakan segalanya yang terlingkup dalam script skenario drama dalam dharma ini, Sadarilah sesungguhnya kita senantiasa  berhadapan dan berada dalam Dia yang jeli, suci dan adil demi ketertiban kosmik mandalaNya. Kita tidak mungkin mampu berdusta, mengagungkan diri apalagi lari dari tanggung jawab karena segalanya tergurat jelas di antahkarana jiwa dan impersonaly/ automatically akan keterniscayakan proses kelanjutannya sesuai dengan avijja kebebasan yang diberikanNya ( juga termasuk untuk KeIlahian Impersonal Transenden Lokuttara > Keilahian Transpersonal Brahmanda > KeIlahian Personal Kamavaca ?).     

BAHASAN =  kerusuhan REFORMASI 1998 
menjarah,  etc ? kebiadaban bangsa (yang menganggap/mengharap diri) beradab ? Haruskah demi transisi sejarah manusia (reformasi, revolusi, suksesi kepemimpinan etc) perlu mengorbankan sisi kemanusiaan kita. Niat (buruk/ busuk) bisa tersirat dirasionalisasikan pembenarannya namun cara tetaplah yang menentukan karakteristik personalitas diri kita sebenarnya . Para satrio piningit ... seluruh warga bangsa (apapun agama, ras suku anda) ... jadilah pemimpin yang bisa ngemong (menjaga kebersamaan) bukan hanya pemimpi yang asal ngomong (menghasut perselisihan). Siapapun orangnya terserah yang penting caranya nggenah & membawa berkah.  
Keberadaan sebagai manusia adalah amanah yang susah dicapai (bagaikan peluang kura-kura buta, Buddhist?)  bukanlah sekedar anugerah istimewa yang diberikan agar kita merasa bebas seenaknya untuk berhak menggunakannya untuk membuat musibah (bukan kepada diri sendiri saja yang sudah pasti namun akan berlipat ekstra jika ditujukan pada lainnya ... ingat mandala ini homeostatis yang interconnected dalam equilibirium ... kita tidak akan pernah mungkin bisa menyakiti yang lain tanpa melukai diri kita sendiri - Kaidah kosmik tentang Kasih ). Bagaimana mungkin kita merasa patut akan dapatkan surga kelak jika kita senantiasa membuat neraka (kebencian, kejahilan & kerakusan) kepada diri sendiri dan menyebarkan neraka (kerakusan, kekejaman & kebejatan) kepada lainnya.  Di dimensi terburuk mandala ini (bahkan niraya lokantarika sekalipun) jiwa ini walau tetap terpaksa diterima demi keseluruhan namun  tidak akan dirindukan/ diharapkan keberadaannya apalagi di dimensi yang lebih mulia (surga / termasuk : eteris & duniawi juga, lho/ - selain surga nikmat astral perolehan kebaikan , surga hikmat mental triloka keahlian penciptaan ; bahkan kembali ke dimensi ilahiah samsarik jhana 1 sd 3 abhasara etc , mantap seimbang di jhana 4 atau terlelap di anenja brahma, swadika di suddhavasa (tanpa delusi lobha, dosa dalam keEsaan ) bahkan lokuttara nibbana (tanpa juga moha "diri' - 'alam' - 'inti"). 
LINK : MUSTARIH VS MUSTAROH
Well, walau secara pribadi kami memandang setiap level, layer dan label keberadaan (baik nista atau mulia) tetap setara dan mutlak ada dalam desain holistik keseluruhan ini ... namun layakkan diri untuk senantiasa selaras dalam kaidah kosmik Dharma  (Dharma kebenaran yang tersirat dari Dhamma kenyataan yang tersurat ) walau karena Avijja kita seakan bebas menyimpang juga dengan konsekuensi dampak karmik pada setiap effek kosmik secara internal dan eksternal.  Keberadaan manusia adalah keberadaan mediocre (sebagaimana juga chaurasi keberadaan lainnya kita kelak .. 84 juta jenis keberadaan di alam semesta alamiah / layer mandala ilahiah ini, yogin ? termasuk petta asura/yakha di barzah eteris karena kelekatan eksistensi , pengharapan & penganggapan tanpa peniscayaan kelayakan ke dimensi yang lebih murni, hewan karena standar kebuasan/ kebodohan kita dominan untuk melayakkan ke level ini , 'Laundry' niraya karena parahnya antahkarana batin 'setan' kita (internal bukan eksternal, lho .... moha, lobha & dosa - kepekokan/kehebohan , kecanduan/ kerakusan , kebencian / kekejaman ... asava MLD keakuan/ kemauan kita sendiri itulah 'konsep' setan sesungguhnya), dst. Kami tidak menafikan adanya pelabelan umum 'figur' kosmik tertentu sebagai "setan" (?) seperti para petta , asura , mara dsb.  Tiada maksud sedikitpun dari kami untuk membela pandangan kami atau mencela anggapan tersebut namun bisakah kita melihat segala sesuatu dalam perspektif yang lebih luas dan arif akan desain kosmik yang ada ... ada sejumlah petta yang tampak mengerikan karena ketidak -beruntungan dalam proses kematiannya (kecelakaan, penyakit etc) , tidak semua yang terjatuh (asura) atau hanya mampu mencapai level rendah (yakha) bahkan yang harus menanggung beban kecenderungan sebagai hewan ataupun membersihkan noda batin di niraya . Hargai keberadaan segalanya yang saat ini menjalani beban peran yang ditanggungnya (reaktif atau responsif untuk pelayakan berikutnya ?). 
Hati-hatilah bisa jadi yang kita cela adalah yang kita puja adanya atau bahkan berempatilah karena mungkin bisa jadi itulah justru diri kita sendiri nantinya. Dalam desain kosmik yang dinamis dalam proses evolusinya ini sesungguhnya tidak perlu mencela atau membela apapun juga .... karena setiap dari yang ada sesungguhnya adalah bagian dari keseluruhan yang sama.  Sebagaimana bola yang kita lempar ke dinding akan kembali terpantul ke kita demikianlah segala pandangan / tindakan akan berbalik kepada empunya. Intinya : pring podo pring ... ojo daksiyo marang sasomo (segalanya hakekatnya beresensi sama asalnya .. walau beda buihnya namun tetaplah air di lautan yang sama adanya. Tak perlu merendahkan lainnya. Ojo dumeh ?). Dalam kesedemikian ini bukan karena penganggapan / pengharapan namun keselarasan peniscayaan yang senantiasa terjadi akhirnya. 
   
Link data : 
promo neraka

          Link video : 
Direct Speech 
SUCHNESS PHILOSOPHY ... Paradigma Kesedemikianan (Desain , Kaidah & Metode Kosmik )
Kutipan Avijja ... kebodohan dipandang sebagai 'kewajaran" ?

PARAMA DHARMA : Just Idea ...
Avijja ... kebodohan ini keburukan atau kebutuhan ?
Yang perlu kita fahami, sadari dan hadapi tampaknya bukan sekedar kegilaan insani atau kematian alami namun terutama kelupaan abadi akan kesejatian diri dalam setiap episode permainan keabadian samsarik yang disebut (siklus) kehidupan (dan kematian) ini. 
Well, The Greatest evil is Ignorance  Kejahatan terbesar adalah (karena?) Avidya ketidak-tahuan
Walau dalam pengetahuan ketidak-tahuan akan realitas (kaidah panentheistik?) ini istilah evil (kejahatan/ keburukan) yang digunakan mistisi Sadhguru Yasudev tersebut tidak terlalu salah sebagaimana juga terma avijja kebodohan yang digunakan Samma Sambuddha Gautama namun demikian dalam realisasi penempuhan holistik demi penembusan, pencapaian & pencerahan yang bukan hanya murni dan benar tetapi juga bijak dan tepat untuk mensikapi itu sebagai 'kewajaran' yang harus diterima untuk dihadapi dan difahami agar secara bijaksana dapat dilampaui dengan kesadaran (terhindar dari jebakan konseptual, jeratan identifikatif & sekapan dualisme inference paradoks spiritual MLD yang sangat mungkin terjadi. Well, untuk keniscayaan dalam kesedemikianan yang terjadi perlu keselarasan akan kelayakan dalam keberadaaan dan keberdayaan yang memadai. (transendensi kebijaksanaan pemberdayaan berkembang & berimbang melampaui pemakluman faktitas eksternal untuk diterima keterbatasan & pembatasannya ). bagaikan menumbuh-kembangkan bunga teratai di kolam lumpur yang keruh.
KEDEWASAAN PENCERAHAN 
The disaster in this planet is not an earthquake, not volcano, not a tsunami.
The true disaster is human ignorance. This is the only disaster. Ignorance is the only disaster.
Enlightenment is the only solution, there is really no other solution, please see -You need a subjective perception of life.
so spiritual process if it has become alive … this is not about renunciation. This is just about living sensibily.
Bencana di planet ini bukanlah gempa bumi, bukan (letusan) gunung berapi, bukan tsunami.
Bencana sebenarnya adalah ketidaktahuan manusia. Ini satu-satunya bencana. Ketidaktahuan adalah satu-satunya bencana. 
Pencerahan adalah satu-satunya solusi, benar-benar tidak ada solusi lain, silakan lihat -Anda membutuhkan persepsi subjektif tentang kehidupan.
Jadi proses spiritual jika telah menjadi hidup… ini bukan (hanya?) tentang pelepasan keduniawian. Ini (tepatnya?) hanya tentang hidup dengan bijaksana
BAHASAN =  TENTANG AVIJJA 
Walau avijja secara etika kosmik adalah penyimpangan keselarasan namun ini membuat keberagaman (seperti biasan pelangi dari cahaya mentari yang sama)
Mungkin sangat sensitif dan agak provokatif jika kami menyatakan ... ADA SESUATU YANG MUNGKIN BELUM DIKETAHUI KITA SEMUANYA TERMASUK JUGA YANG BELUM DISADARI PARA TUHAN, DIHAYATI PARA BRAHMA BAHKAN DIFAHAMI PARA BUDDHA SEKALIPUN ..... DALAM PERMAINAN DRAMA DALAM DARMA DARI KEAZALIAN HINGGA KEABADIAN YANG SUDAH, SEDANG DAN AKAN BERLANGSUNG SELAMA INI ....  Triade labirin paradoks diri - alam - inti dalam drama abadi dari fase azali hingga nanti ini (label eksistensial - layer universal - level transendental) dengan 'maha avijja' sebagai skenario samsariknya dan 'parama dhamma' sebagai desain holistiknya memang sangat complicated (jangankan untuk dilampaui dalam penembusan , untuk dijalani dalam penempuhan bahkan difahami dalam pengetahuan saja sulit & rumit ) 
Sial .. kenapa terasa/ terkesan sombong dan lancang ... padahal ini hanya asumsi filosofis yang berdasarkan inferensi belaka ( bisa jadi hanya imaginasi bahkan halusinasi bukan realisasi empiris sebagaimana harusnya ? ...   Tampaknya memang wadah batin ini memang kacau ... sesungguhnya bukan hanya kesungkanan (keresahan karena rendah hati atau mungkin tepatnya rendah diri ... minder akan kualifikasi ideal untuk membabarkan dhamma ) apalagi keriskanan (kecemasan tersudutkan sebagai public enemy bahkan cosmic enemy karena  membeberkan avijja) namun disamping ruwet & rumitnya permasalahan banyak kekesalan di dalam (pantas ... baru bicara jika marah rasionalisasi pembenaran karena dibodohi, dijahili & dizalimi ? ... Spiritualitas walau dalam perspektif holistik sesungguhnya memang sederhana namun dalam kerinduan beraktualisasi selaras denganNya tidaklah gampang ... Well, susah juga untuk mukhlish murni , begitu mudah untuk muflis bangkrut  nantinya)

Bagaimana ini ? Bikin link pilahan dulu supaya idea tidak ruwet ...Gagasan utama , gagasan baru, referensi lama , link rujukan (data / media) , etc . 
REHAT DULU ... walau externally tidak repot, namun internally masih ribet ...
SIAL ... gangguan eksternal lagi. (TEPATNYA : TERGANGGU EXTERNALLY .... KARENA BATIN WALAU SUDAH TUA NAMUN MASIH BELUM DEWASA ... tidak ada yang salah dengan yang di luar karena fenomena kesedemikianan memang bisa jadi akan seperti itu akumulasi peniscayaannya ....  kebodohan, kesalahan dan keburukan (walau tanpa menafikan trigger eksternal namun hendaknya dipandang dalam keperwiraan demi proses pemberdayaan tumbuh berkembangnya kebijaksanaan holistik berikutnya adalah mutlak ketidak-tepatan atau kebelum-manpuan sikap batin internal dengan tanpa mmbuat celah mencari cela apalagi celaka lainnya untuk seharusnya senantiasa menerima, mengasihi dan melampauinya ... menerima apapun juga kenyataan eksternal ? walau sulit bersikap realistis adalah eksistensialitas sikap batin yang memang harus dilakukan baik dengan keswadikaan atau dengan keterpaksaan ? -  mengasihi keberadaan siapapun saja ? susah tetapi kaidah kasih universal juga harus dikembangkan untuk universalisasi diri  - melampaui apa ? melampaui diri sendiri bukan figur lain ... cangkang keterbatasan avijja diri (?) akan impersonal reality dari keseluruhan / kesedemikian ini sebagai esensi kemurnian transendental tidak hanya medan energi keilahian universal apalagi sekedar figure massive pemeran keberadaan eksistensial ). Ribet ... terpaksa pakai cara deduktif  tidak lagi induktif majeutike, socrates ? Jadi dogmatis ?... waspada spiritual materialism ( Just idea ? hanya pandangan kebijaksanaan untuk sadar akan perspektif keseluruhan di kedalaman namun tetap wajar adaptif dalam dagelan nama-rupa yang harus diperankan ke permukaan ... bukan belenggu untuk fanatisme apalagi militansi agar tidak terjatuh dalam 'sacred monistic' beranggapan sempurna bagi standar ganda pengagungan diri untuk pembenaran addhamma bagi kepentingan selfish directly secara kasar / indirectly secara lihai (dalil demi dalih, etc). Just area ? memandang keberagaman layer, level & label sebagai gradasi pelangi mentari ketimbang hirarki kemuliaan. Just method ? bukan doktrin kepercayaan hanya metode pemberdayaan ( alternatif yang senatiasa harus disikapi terjaga & terbuka bagi pembuktian & perevisian tanpa pelekatan ... walau benar secara Realitas  Saddhama sekalipun apalagi jika sebaliknya )   

3. bungkam karena : ketepatan & kepatutan ( dialektika paradigma & rhetorika komunikatif  ?)
KONSIDERAN berbicara = Berkata harus benar tetapi tidak senua yang benar harus dikatakan 
prolog tentang pandangan  Konsideran mistisi sufisme & ahli hikmah 
Meminjam istilah Mistisi Ibn Araby ('biar hati ini menjadi makam bagi rahasia-rahasia')., mungkin akan menjadi nyaman juga bagi diri sendiri dan keseluruhan jika kemudian kami senantiasa menundanya dan menguburnya kembali dan berkata dalam hati biarkan logika pemikiran ini tetap tersimpan aman di tempatnya karena memang tidak harus, perlu dan patut untuk diungkapkan ke permukaan. 
Jalaludin Rumi : tentang hikmah (Dilema Faqir) = Janganlah kamu berlaku zalim dengan tidak memberi kepada orang yang berhak menerimanya. namun janganlah kamu berlaku fasik dengan memberi kepada orang yang belum layak menerimanya. 
Seorang ahli hikmah (mungkin Ali b Abu Thalib ra) ada menyatakan : bicaralah hanya ketika anda memang perlu bicara namun janganlah bicara jika hanya ingin bicara .... mungkin ini dimaksudkan agar hanya kebenaran, kebajikan dan kebijakan yang terungkapkan dengan kesadaran holistik, ketulusan harmonis dan kepolosan autentik bukan sekedar estetika hipocricy kepantasan , apalagi kepicikan yang kasar (reaktif paranoid neurotik)  dan kelicikan yang lihai (manipulatif, provokatif , intimidatif). Cahaya (esensi murni) tampaknya memang seharusnya meniscayakan pelayakannya sebagaimana cahaya secara alami dan murni yang (maaf) bukan 'hanya' berguna memberdayakan untuk terpancarkan ke permukaan namun terutama demi pemurnian/kemurnian di kedalaman. Terlalu 'rendah' dan justru akan me'rendah'kan saja jika internal drive kewajaran peniscayaan ternodai eksternal motive kepamrihan pemantasan apalagi pengharapan demi sekedar kebanggaan pengakuan dan atau pembenaran kepentingan belaka. .....(walau mungkin ini bisa juga rambatan keakuan yang lain untuk kesemuan pengharapan perfectionist atau jangan jangan karena kekikiran tidak ingin interaksi berbagi ... entahlah ... yang jelas mood untuk spontan meng-inferensi data dan mengekspresikan idea masih macet saat ini ).

 
spirituality is simple but not easy 
spiritualitas sebenarnya sederhana namun tidak mudah (difahami & dijalani )

Tampaknya memang cukup mendesak untuk perlu langsung dituntaskan segera. Walau sejujurnya harus melompat dua langkah agar langsung deduktif hypothesis tanpa lagi melalui tahapan induktif terstruktur (?)  dari rancangan semula yang terus menerus 'mbulet' berputar-putar saja. Tanpa referensi yang memadai bahkan tiada realisasi sama sekali malu / ragu dan  agak riskan/ sungkan juga karena akan bersinggungan / berbenturan (?) dengan risalah ajaran yang sudah mapan terbumikan.... inilah hipotesis paradigma yang kami ajukan akhirnya.  Curhat selesai , langsung to the point.saja dulu.
Dari : Just Quotes ( https://justshare2021.blogspot.com/2021/01/just-share.html )
Blog Just Share dibuat sebenarnya bukan sekedar kami perlu blog baru yang lebih fresh ataupun hanya untuk nyelamur/ ngabur untuk posting yang lebih mendasar & menyasar namun agak sungkan/ riskan untuk diutarakan ke khalayak awam kebanyakan .... well, katakanlah ini khusus bagi para seeker yang cukup dewasa, cerdas & bijaksana dalam mencerna tanpa naif menyela apalagi liar mencela untuk paradigma pandangan yang baru & beda.  Jika tidak demikian maka sesungguhnya bukan hanya menyusahkan kita (pada saat ini) namun juga dirinya sendiri bahkan lainnya juga kelak. Ini mungkin (dipandang) tidak berguna atau bahaya? bagi lainnya (untuk tujuan pembenaran kepentingan keakuan & kemauan walau mungkin dalam keterpedayaan diri sendiri bahkan malah memperdayakan lainnya juga?) namun bisa jadi akan bukan hanya memang berguna namun juga tidak perlu tercela bagi para seeker (dalam niatan pemberdayaan kesejatian jikapun belum dalam tataran realisasi evolutif pencapaian minimal dalam wawasan orientasi berpandangan) untuk saling berbagi.

WHY NOT IF SHARE Jangan bungkam 
1. VERSUS : KEBODOHAN INTERNAL & PEMBODOHAN EKSTERNAL (kepedulian atau kejengkelan ?)

Sabbe satta bhavantu sukhitata ?  = Semoga semua makhluk berbahagia 
Sabbe satta bhavantu appamada ! = Semoga semua makhluk terjaga  
(kebahagiaan atau keterjagaan ?) 
Dalam ketidak-tahuan orang memang bisa bahagia (walau terpedayakan kegembiraan semu bahkan dengan membawa penderitaan lainnya ).
Hanya dalam keterjagaan kebahagiaan sejati ada ... selalu memberdayakan & tidak memperdayakan.
Apa yang ada di benakmu, seeker ? 
Penghindaran dengan dalih semu kerendahan hati , amanah kebersamaan atau apalagi ? Sama sekali tidak berguna dan bahkan malah tercela. Just say .... katakan saja apa adanya inferensi desain kosmik dan kaidah dharma yang menunjangnya segera ... tak usah berputar-putar lagi. 

2. VERSUS = Kita hanya layak dan berhak menerima apa yang kita berikan vs kelelahan / keletihan pencarian & kesesatan/ kesusahan penempuhan fase dagelan nama rupa  figure berikutnya 

Well, bahkan jikapun kemudian kami memang harus berperan sebagai petta apaya di lembah barzah (ataupun bahkan niraya lokantarika sekalipun) kami tetap berharap memory file ini kelak akan kembali selalu mengingatkan, menyadarkan & menguatkan kita dalam hikmah kebijakan atas kebajikan Kasih Tuhan pada kebenaran Mandala DhammaNya demi pertumbuhan perkembangan kebaikan & perbaikan selanjutnya ... untuk inilah segalanya dalam sisa hidup ini kami persembahkan bagi semua (termasuk diri kami juga tentu saja). Sejujurnya walau kami memang seharusnya mencintai kebenaran (atau lebih tepatnya : memang harus menerima kebenaran dalam kenyataan apapun juga itu) namun kami memang belum sepenuhnya melayakkan diri dalam menjalaninya (so ... apapun juga termasuk yang terburuk sekalipun bukankah juga layak jika kami /sebagaimana juga kita & mereka semua tentunya/ menerima keniscayaan sebagaimana adanya.)
Memang sungkan & riskan harus jujur menyatakan idea kebenaran yang belum tentu memang demikian adanya (Well, seeker perlu bukti faktual kepastian yang nyata tidak sekedar peyakinan kepercayaan rasional dogmatis belaka ... semacam keberdayaan magga phala bagi ariya?) dan belum mampu juga dilayakkan dengan penempuhan apalagi memang terbuktikan dengan pencapaian & pencerahan yang diharapkan. Well, lagipula jika saja terjadi ada kesalah-fahaman ini bukan hanya bisa 'melukai ?' keberadaan/ kepentingan lainnya namun juga diri sendiri ... bukan hanya effek kosmik saja namun juga dampak karmik juga, lho.
Terakhir ,  untuk kembali membumi lagi .... tanpa harus teralienasi obsesi internal  & tiada perlu lagi ambisi eksternal ..... karena segalanya adalah keniscayaan yang harus dilayakkan dalam pemberdayaan (tidak sekedar kepercayaan apalagi pengharapan belaka) dan apapun juga itu adalah kebijaksanaanNya yang terbaik bagi kebaikan kita semua 

3. VERSUS :  INGAT dan tepati janjimu 
MULAI

Sadhguru Yasudev Quotes : 
Whatever you have – your skills, your love, your joy, your ingenuity, your ability to do things – please show it now. Do not try to save it for another lifetime.
Apa pun yang Anda miliki - keterampilan Anda, cinta Anda, kegembiraan Anda, kecerdikan Anda, kemampuan Anda untuk melakukan sesuatu - tolong tunjukkan sekarang. Jangan mencoba menyimpannya untuk kehidupan mendatang.
OKAY ...
Okey, Sadhguru Yasudev, tak akan kami simpan juga untuk diri kami sendiri wawasan kosmik Parama Dhamma dalam Mandala Advaita ini dengan Formula Swadika bagi keberlanjutan kehidupan saat ini dan juga bagi kesiagaan nanti … apapun yang terjadi terjadilah. Lagipula walau agak controversial bahkan mungkin akan jadi sensitive nantinya… toh niatan kami sesungguhnya hanyalah mengajukan kemungkinan saja tanpa memaksakan ini sebagai kepercayaan yang harus diterima sebagai keyakinan dogmatis / fanatic yang membuta. Ini hanyalah thesis pada antithesis pandangan anda semula untuk mengembangkan synthesis kebijaksanaan baru kita berikutnya. Sungguh tidak ada yang harus dilekati (bahkan jikapun pandangan ini ternyata tidak hanya sesuai dengan asumsi anda bahkan memang demikian realitas kebenarannya pada segala fenomena keberadaan)  dan juga tidak ada yang perlu dibenci atau ditolak (bahkan termasuk pandangan lain yang mungkin tidak hanya Dhammadipatheyya namun juga sekedar lokadipatheyya ataupun bahkan hanyalah attadipatheyya … karena setiap paradigma memiliki kebenaran dan juga “pembenaran”nya masing-masing walau tidak harus diterima dengan persetujuan namun tetap harus juga dihargai keberadaannya). Dalam mandala ini hikmah kebenaran yang sesungguhnya tinggi  bisa saja lahir dari limbah kenyataan yang semula dipandang rendah. Respek yang setara (walau  mungkin tidak harus sama) diberikan tidak hanya bagi  pandangan Buddha Dhamma, Mistik Esoteris atau tradisi Religi bahkan addhamma sekalipun namun segalanya termasuk juga atas segala zenka keberadaan yang ada (Lokuttara Dhamma, Tao, Tuhan, Brahma /termasuk level sankhara vipassana, vedana suddhavasa, sanna anenja & Rupa Brahma Jhana 4 hingga 2 Abhasara yang tidak lagi nama sukha namun sudah rupa piti ?/ ; Wilayah kamavacara:  Mara, Yama, Dewa, yakkha, Asura /iblis?, Petta/ demit?, dunia manussa, tirachana hingga niraya lokantarika dsb) karena walau mungkin dipersepsikan dalam level/label berbeda namun secara universal segalanya berada dan melengkapi posisi  keseluruhan desain ini dengan indahnya sesuai porsi perannya maing-masing …. Sigma Kuanta cahaya dari Sentra yang sama. Yang secara bijak tak perlu dibela/dipuja? walau dipandang mulia apalagi secara fasik harus dicela/dihina? karena dianggap nista. So, mantapkan kebenaran tempuhlah kebijakan dan jalanilah kebajikan namun dengan tanpa melekatinya … ini mungkin makna tersirat nasehat Dhamma Desana Bhante Pannavaro untuk diperhatikan dalam penempuhan/penembusan spiritualitas yang berimbang bukan hanya holistic pada keseluruhan namun juga harmonis untuk keswadikaan diri.

So, Wei Dan : Limbah Hikmah : E 16 The Great Show ( Wi Dae Han Show ) – Drakor

00:02:32 --> --> 00:02:59
Life is about choices.
And those choices...
come with responsibilities.
This is the time...
for me to bear that responsibility.
00:02:32 --> --> 00:02:59
Hidup adalah tentang pilihan.
Dan pilihan itu...
datang dengan tanggung jawab.
Inilah saatnya...
untukku memikul tanggung jawab itu.

OKAY ...
QUE SERA SERA, PANTHA REI .... SUCHNESS PHILOSOPHY
apapun yang terjadi terjadilah , biarkanlah segalanya mengalir apa adanya sebagaimana harusnya ..... Paradigma Kesedemikianan.
Paradigma kesedemikianan untuk keselarasan dalam keniscayaan (Parama Dharma - Mandala Advaita - Formula Swadika)

Well, demi kebaikan progress penempuhan spiritualitas kita semua .... bacalah saja dengan tenang dengan tetap terbuka dan sekaligus terjaga (tidak menyela seperti biasanya) tanpa harus segera menerima atau menolak idea yang diajukan ... tetaplah bungkam (tanpa mencela sebagaimana harusnya) walau menyetujuinya atau tidak mempercayainya dan biarkan kebenaran nyata yang selalu menjadi acuan kita walau itu sama sekali berbeda dengan keyakinan kita semula (termasuk dan terutama pandangan yang kami ajukan ini).  
Sejujurnya kami tidak ingin menjadikan ini sebagai belenggu bagi anda dan juga saya sebenar apapun itu nantinya (bisa menghalangi aktualisasi karena bisa jadi karena di sini merasa telah memiliki peta penempuhan kita sudah merasa sudah tiba di sana bahkan merasa berhak untuk melagakkan diri asal klaim identifikasi & standar ganda pembenaran 'kualitas' walau sebenarnya tiada kelayakan autentik pada saat ini dan bahkan merasa tiada perlu untuk pelayakan holistik selanjunya bahkan bukan hanya kefasikan internal namun juga kezaliman eksternal ... wah, payah & parah) apalagi jika ini tidak murni benar dan tepat sebagaimana nyatanya (dampak karmik dari effek kosmik kebodohan internal dan juga pembodohan eksternal yang harus ditanggung ... hehehe, no way .... waspadalah untuk tidak segera percaya menerima ini sebagai keyakinan tanpa pembuktian kepastiannya karena sebagai seeker itu akan lebih baik bagi kita semua tampaknya ).
Dengan tanpa maksud mencitrakan kerendahan hati (semu?) karena adalah kejujuran diri (asli!) bahwa paradigma yang kami ajukan ini ( tepatnya mungkin bukan kami tetapi saya pribadi sendiri saja ) murni pengetahuan imaginasi filosofis inferential belaka bukan pengalaman  realisasi realistis experential  ... semoga tiada dusta & duka di antara kita. Jadi, saya lebih suka jika para seeker walau memang tetap perlu tebuka untuk dewasa tanpa tercela mencela (menjaga diri dari noda asava internal batiniah, bro) namun juga senantiasa terjaga jika menggunakan wawasan, pedoman dan panduan di dalamnya ... karena bisa jadi ada yang kurang tepat, masih salah bahkan tidak benar di dalamnya ( kurang pede, ya ? ... No, sebenarnya ini adalah sinkronisasi slogan seeker : no fact, no truth, no faith ... jika tanpa fakta kenyataan maka tiada kebenaran di dalamnya sehingga tak perlu keyakinan padanya .... ini berlaku bukan hanya untuk kearifan adaptif pandangan eksternal namun juga terutama untuk revisi korektif wawasan internal diri agar senantiasa bangkit tumbuh berkembang tanpa batas mengarah, mencapai dan melampaui aneka layer asymptot ke tidak- terhinggaan ... tetap selaras walau belum/tidak mungkin sempurna).  
Sungguh, bahkan untuk semua masukan postingan termasuk pandangan pribadi tidak ada niatan sama sekali dari kami selain untuk sekedar berbagi ... segala keputusan untuk menggunakan, mengabaikan dan menolak sebagian/sepenuhnya adalah  hak dan  sekaligus dampak tanggung jawab kita masing-masing…. Sekedar membabar idea yang murni tanpa niatan pembentukan opini yang lihai. Dalam filsafat metode ini disebut (semoga tidak salah) ’majeutike’ yang digunakan Socrates bagaikan seorang bidan dalam memicu dan memacu seseorang untuk melahirkan kebenaran paradigma pandangannya sendiri … ini adalah thesis pandangan dalam Triade Dialektika Hegel untuk antithesis pandangan anda sebelumnya bagi synthesis kebijaksanaan baru anda nantinya yang akan menumbuh-kembangkan gestalt keterpaduan wawasan dalam menempuh pemberdayaan untuk tataran kelayakan pencapaian berikutnya. Setiap orang berhak untuk tumbuh berkembang secara alamiah dan ilmiah dalam keberadaan awalnya dulu tanpa perlu dipaksa dengan formula yang walau benar namun kurang tepat demi keberlanjutannya. Kebijakan perlu kebajikan demikian pula sebaliknya. Levelling lebih diutamakan daripada sekedar labelling.... walau memang harus diakui akan lebih kondusif dan reseptif jika berada dalam environment komunitas yang tepat.

GNOSIS KOSMIK  GRAND DESIGN 
Tampaknya selama ini kami hanya berputar-putar saja …Walau sesungguhnya memang sungkan karena masih rendahnya kenyataan autentik dalam level spiritual dan memang riskan karena tetap perlu keberadaan harmonis dalam label eksistensial , namun tampaknya  pandangan esoteric yang tersembunyi (disembunyikan?) di kedalaman ini memang seharusnya muncul  ke permukaan demi kebijakan pengertian & kebajikan penempuhan untuk mempermudah pencerahan selanjutnya.
Hidup adalah pilihan. Sebagai seeker kami memang  memilih  pandangan panentheistic ini untuk menjaga arah pandangan yang relative lebih benar, bijak & bajik dalam keseluruhan untuk senantiasa true, humble & responsible selaras dengan realitas kenyataan yang terjadi.
PANENTHEISTIC ? 
SegalaNya (Laten DeitasNya) bermula, berada dan kembali kepadaNya (triade : diri – alam – inti )
Bermula karena katalisasi peniscayaan keberadaan > emanasi keilahian brahman > prokreasi penciptaan ketuhanan
Berada dalam kaidah kosmik (Parama Dhamma akan advaita niyama dharma : keutamaan > kebenaran > kenyataan )
Kembali kepada mandala advaita ( segalanya berada dalam sigma kewilayahan yang sama dari ketidak-terhinggaan yang bukan hanya mungkin memang sudah ada namun juga belum ada , akan ada bahkan susah ada karena konfigurasi peniscayaan yang sudah/belum/akan/tidak terpenuhi.) 
Gradasi tidak hirarki ? karena walau beda level , layer & label keberadaannya berada dalam kealamian, keilahian & kemurnian advaita mandala yang sama
Ah ... Susah juga memadukan apalagi mengungkapkan (terlebih lagi merealisasikan) paradigma kebijaksanaan kesedemikianan demi keselarasan bagi keseluruhan. Maaf, Socrates ... terpaksa untuk mempermudah & memperjelas paradigma kesedemikian ini kami ajukan framework deduktif  tidak lagi induktif majeutike terus ... walau bukan hanya sungkan, riskan & kompleks rintisan pandangan ini.
Segalanya (aneka keberadaan laten deitas dsb) tampaknya memang berawal dari Sentra KeIlahian Satu yang sama (Impersonal Transenden God?) dan berada dalam mandala DeitasNya kemudian secara ideal laten Deitas seharusnya akan kembali kepadaNya … namun dikarenakan orientasi berpandangan, berpribadi & berprilaku serta realisasi penempuhan, pencapaian & pencerahannya akan mencapai level yang berbeda walau dalam area mandala deitas keIlahian yang sama . Kami mengutarakan ini dengan tanpa maksud sama sekali untuk membela yang satu apalagi harus mencela lainnya namun ini agar kita memang harus tetap swadika untuk bijaksana menerima keniscayaan atas kesedemikian konsekuensi logis & ethis yang secara kosmik berlaku.  Well, harmoni dimensi memang perlu dilakukan dalam peran semesta ini demi kebersamaan namun evolusi pribadi tampaknya memang tetap harus dilakukan secara mandiri dalam kesendirian sebagaimana harusnya (aktualisasi impersonal > transaksi personal > defisiensi individual)

Pascal's Wager (taruhan Pascal) : link
1) TOTALITAS = mencakup keseluruhan (W) → Hanya ada satu kebenaran yang sama : keseimbangan pandangan (ekstrem) & keberimbangan penempuhan (dualisme?)2) PRAGMATISME = membawa kemanfaatan (Ks) → Transformasi pemberdayaan simultan (input realisasi keabadian 3 ; asset refleksi kehidupan 3)3) KONSISTENSI = bersifat mantap (K) → Berkelanjutan : ketuntasan transformatif & kelanjutan aktualisasi
sinkronisasi niat , cara & idea harus tepat (benar, bijak & bajik) dalam pembabaran Dhamma (!) & pembeberan Avijja (?)  , seeker ..

apa ini? coretan tidak karuan..?.. ya ... itulah sketsa sederhana suchness philosophy .... paradigma  kesedemikianan , hehehe

TENTANG SKETSA 
Diagram Venn Himpunan aljabar ? Bujur Sangkar Universun hokistics (harusnya matra 3 bidang ruang > 2 bidang datar = bola > lingkatan Taoism ?)
~ = ketidak-terhinggaan (Realitas Kebenaran) ; E = sigma keberadaan ( Fenomena Kenyataan)
A B C D = orientasi ke atas, ke dalam vs ke bawah ke luar  = Parama Dharma keselarasan vs Maha Avijja ketersesatan   
Lingkaran  = layer eksistensial - Universal - Transendental  (disikapi secara holistik sebagai level gradasi > label hirarki ? )
Juring AD = ideal keselarasan lokuttara (kedewasaan /pencerahan ) beri tanda centang ( V =victory ) vs Juring BC =  idiot ketersesatan lokantarika (tanda X wrong? )
evolusi pribadi -  harmoni dimensi - sinergi valensi ; (swadika talenta visekha ) (persona regista persada) ; (menerima mengasihi melampaui)  (kesadaran di kedalaman - kewajaran di permukaan - kecakapan di keluasan)  (being true - humble - responsible )etc 
TENTANG IDEA 
kami tidak membuatkan belenggu pandangan lain, sesembahan baru maupun kelompok beda ( hanya ... just share idea pengertian keseluruhan ) 
pandangan universal panentheistic (bagi para filsuf ), pandeistic (bagi para agamawan) bahkan panatheistik  (bagi para agnostik)
rintisan paradigma holistik untuk dikembangkan sesuai kematangan keberadaan diri (puthujana, sekha, bahkan asekha)

NEXT  ... QUO VADIS ?


Sekedar mengingatkan kesejatian diri & menghargai  keberadaan saat ini kita semua 
“We are not human beings having a spiritual experience. We are spiritual beings having a human experience.”― Pierre Teilhard de Chardin
literal : Kita bukan manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Kita makhluk spiritual yang memiliki pengalaman manusia 

Pada hakekatnya kita adalah makhluk spiritual yang menjalani peran sbg manusia ketimbang sbg manusia yang menjalani tugas spiritual..Kita hanyalah ketiadaan yang diadakan dalam keberadaan untuk sekedar sederhana mengada tanpa perlu mengada-ada dihadapanNya...betapa indahnya kehidupan jika kita tiada ragu untuk mampu hadir dalam kesederhanaan yang murni, tulus apa adanya tanpa perlu membalutnya dengan kemasan kesempurnaan yang walaupun mungkin tampak indah dan megah namun semu dalam kesejatiannya.
PRAKATA : Just Simple Words to Begin and Fade Awa(Hanya Kata-kata Sederhana untuk Memulai dan kemudian Berlalu) 

Silence is the language of God. All else is poor translation. ~ Rumi
Keheningan adalah Bahasa Ilahiah. Segala lainnya hanyalah terjemahan semu adanya.

Link video : Awaken Samadhi trailer 
Pada hakekatnya kita adalah makhluk spiritual yang menjalani peran sbg manusia ketimbang sbg manusia yang menjalani tugas spiritual..Kita hanyalah ketiadaan yang diadakan dalam keberadaan untuk sekedar sederhana mengada tanpa perlu mengada-ada dihadapanNya...betapa indahnya kehidupan jika kita tiada ragu untuk mampu hadir dalam kesederhanaan yang murni, tulus apa adanya tanpa perlu membalutnya dengan kemasan kesempurnaan yang walaupun mungkin tampak indah dan megah namun semu dalam kesejatiannya..... Belajarlah meng-"esa"-kan diri dalam keseluruhan, kebersamaan dan kesemestaan....Kebahagiaan kita berbanding lurus dg kebijaksanaan kita namun berbanding terbalik dengan kemelekatan kita. Tdk semua yang kita inginkan akan menjadi kenyataan,  tdk semua yang tdk kita inginkan tdk akan menjadi kenyataan. So, perlu kebijaksanaan untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya dan tidak terlalu mengharuskan keinginan kita menjadi kenyataan.....  Dunia mungkin hanya memandang dari produk pencapaian kita di permukaan,  namun Tuhan sesungguhnya di kedalaman menilai kita dari proses penempuhan kita. So, jangan terkelabui oleh permainan duniawi karena dihadapanNya tidaklah penting harta kekayaan, nilai perolehan, kemuliaan diri dsb yang pada dasarnya hanyalah by product dampak samping dari perjalanan kehidupan ini. Dia lebih mengutamakan bagaimana cara kita mensikapi, menjalani dan mengatasi amanah kehidupan ini sebagai atsar amalan diri kita kelak. Bukan kaya miskin harta kekayaan, baik buruk nilai perolehan, mulia nista duniawi yang menjadi indikator bagiNya dalam menilai kualitas diri hambaNya tetapi seberapa ikhlas kita mensikapi , seberapa istiqomah kita berikhtiar menjalani dan seberapa tawakal kita menerima garisNya...Bagaikan biasan warna -warni pelangi yang berasal dari Sumber Cahaya Putih Cemerlang yang sama walau dalam dunia segalanya tampak berbeda di permukaannya,  namun dalam Dharma segalanya menyatu dalam kesejatianNya.


Sebagai seorang manusia rasional positivist umumnya kita intelectually menggunakan filsafat untuk mengamati fenomena objektif di luar & psikologi untuk mengamati fenomena subjektif di dalam. Semula kami mengira hanya diperlukan 'parama dhamma' 4 (kearifan, keuletan, keahlian & kebaikan) untuk menghadapi kehidupan ini secara pragmatis namun akhirnya bersamaan dengan waktu & trial error kami menyadari kebijaksanaan perifer tepian permukaan itu ternyata tidak cukup ada kebijaksanaan mendalam lagi yang menjadi dasar untuk itu ... kesucian. Bukan karena pemurnian itu dimaksudkan sebagai faktor pengkondisi saja bagi keberkahan dan kesuksesan sejati namun tampaknya justru itu sentra dari keberadaan, kesunyataan dan kesedemikianan yang terniscayakan terjadi dan karenanya perlu peniscayaan untuk merealisasi.... terlepas apapun anggapan/pandangan diri kita semula (keharusan duniawi, kejatuhan surgawi, keterlupaan panentheistik, keterlelapan samsarik , dsb)   Realisasi spiritualitas tampaknya memang perlu keautentikan plus keholistikan  (minimal dalam wawasan walau belum dalam tataran).
PLUS : 

PROLOG 

Avijja ... kebodohan ini keburukan atau kebutuhan ?
Yang perlu kita fahami, sadari dan hadapi tampaknya bukan sekedar kegilaan insani atau kematian alami namun terutama kelupaan abadi akan kesejatian diri dalam setiap episode permainan keabadian samsarik yang disebut (siklus) kehidupan (dan kematian) ini. 
Well, The Greatest evil is Ignorance  Kejahatan terbesar adalah (karena?) Avidya ketidak-tahuan
Walau dalam pengetahuan ketidak-tahuan akan realitas (kaidah panentheistik?) ini istilah evil (kejahatan/ keburukan) yang digunakan mistisi Sadhguru Yasudev tersebut tidak terlalu salah sebagaimana juga terma avijja kebodohan yang digunakan Samma Sambuddha Gautama namun demikian dalam realisasi penempuhan holistik demi penembusan, pencapaian & pencerahan yang bukan hanya murni dan benar tetapi juga bijak dan tepat untuk mensikapi itu sebagai 'kewajaran' yang harus diterima untuk dihadapi dan difahami agar secara bijaksana dapat dilampaui dengan kesadaran (terhindar dari jebakan konseptual, jeratan identifikatif & sekapan dualisme inference paradoks spiritual MLD yang sangat mungkin terjadi. Well, untuk keniscayaan dalam kesedemikianan yang terjadi perlu keselarasan akan kelayakan dalam keberadaaan dan keberdayaan yang memadai. (transendensi kebijaksanaan pemberdayaan berkembang & berimbang melampaui pemakluman faktitas eksternal untuk diterima keterbatasan & pembatasannya ). bagaikan menumbuh-kembangkan bunga teratai di kolam lumpur yang keruh.

KEDEWASAAN PENCERAHAN 
The disaster in this planet is not an earthquake, not volcano, not a tsunami.
The true disaster is human ignorance. This is the only disaster. Ignorance is the only disaster.
Enlightenment is the only solution, there is really no other solution, please see -You need a subjective perception of life.
so spiritual process if it has become alive … this is not about renunciation. This is just about living sensibily.
Bencana di planet ini bukanlah gempa bumi, bukan (letusan) gunung berapi, bukan tsunami.
Bencana sebenarnya adalah ketidaktahuan manusia. Ini satu-satunya bencana. Ketidaktahuan adalah satu-satunya bencana. 
Pencerahan adalah satu-satunya solusi, benar-benar tidak ada solusi lain, silakan lihat -Anda membutuhkan persepsi subjektif tentang kehidupan.
Jadi proses spiritual jika telah menjadi hidup… ini bukan (hanya?) tentang pelepasan keduniawian. Ini (tepatnya?) hanya tentang hidup dengan bijaksana

BAHASAN =  TENTANG AVIJJA
Walau avijja secara etika kosmik adalah penyimpangan keselarasan namun ini membuat keberagaman (seperti biasan pelangi dari cahaya mentari yang sama)
Mungkin sangat sensitif dan agak provokatif jika kami menyatakan ... ADA SESUATU YANG MUNGKIN BELUM DIKETAHUI KITA SEMUANYA TERMASUK JUGA YANG BELUM DISADARI PARA TUHAN, DIHAYATI PARA BRAHMA BAHKAN DIFAHAMI PARA BUDDHA SEKALIPUN ..... DALAM PERMAINAN DRAMA DALAM DARMA DARI KEAZALIAN HINGGA KEABADIAN YANG SUDAH, SEDANG DAN AKAN BERLANGSUNG SELAMA INI ....  Triade labirin paradoks diri - alam - inti dalam drama abadi dari fase azali hingga nanti ini (label eksistensial - layer universal - level transendental) dengan 'maha avijja' sebagai skenario samsariknya dan 'parama dhamma' sebagai desain holistiknya memang sangat complicated (jangankan untuk dilampaui dalam penembusan , untuk dijalani dalam penempuhan bahkan difahami dalam pengetahuan saja sulit & rumit ) 

SKETSA 
apa ini? coretan tidak karuan..?.. ya ... itulah sketsa sederhana suchness philosophy .... paradigma  kesedemikianan , hehehe

TENTANG SKETSA 
Diagram Venn Himpunan aljabar ? Bujur Sangkar Universun hokistics (harusnya matra 3 bidang ruang > 2 bidang datar = bola > lingkatan Taoism ?)
~ = ketidak-terhinggaan (Realitas Kebenaran) ; E = sigma keberadaan ( Fenomena Kenyataan)
A B C D = orientasi ke atas, ke dalam vs ke bawah ke luar  = Parama Dharma keselarasan vs Maha Avijja ketersesatan   
Lingkaran  = layer eksistensial - Universal - Transendental  (disikapi secara holistik sebagai level gradasi > label hirarki ? )
Juring AD = ideal keselarasan lokuttara (kedewasaan /pencerahan ) beri tanda centang ( V =victory ) vs Juring BC =  idiot ketersesatan lokantarika (tanda X wrong? )
evolusi pribadi -  harmoni dimensi - sinergi valensi ; (swadika talenta visekha ) (persona regista persada) ; (menerima mengasihi melampaui)  (kesadaran di kedalaman - kewajaran di permukaan - kecakapan di keluasan)  (being true - humble - responsible )etc 
TENTANG IDEA 
kami tidak membuatkan belenggu pandangan lain, sesembahan baru maupun kelompok beda ( hanya ... just share idea pengertian keseluruhan ) 
pandangan universal panentheistic (bagi para filsuf ), pandeistic (bagi para agamawan) bahkan panatheistik  (bagi para agnostik)
rintisan paradigma holistik untuk dikembangkan sesuai kematangan keberadaan diri (puthujana, sekha, bahkan asekha)
INFERENSI DIMENSI = 
urut dari bawah gradasi vs MLD avijja diri (dampak karmik & effek kosmik)

NO

WILAYAH

LAYER

ORIENTASI

MODE

SIFAT

TERM

TYPE

 DIRI ?

 TATARAN 

1

Kamavacara

Eksistensial

Kebahagiaan

Eksploitasi

Transaksi

Lillah

Persona

Mengaku (sebagai aku)

Personal

2

Brahmanda

Universal

Kesemestaan

Interkoneksi

Harmoni

Billah

Monade

Mengesa (sebagai kita)

Transpersonal

3

Lokuttara

Transendental

Keadvaitaan

Aktualisasi

Sinergi

Fillah

Sakshin

Meniada (sebagai dia)

Impersonal

Selesai ? masih belum .... orientasi kebijaksananaan kesedemikianan kita adalah keselarasan bukan kesempurnaan, bro (ingat : kode etika 10 Ali Shariati  )

Kutipan :
Jadi, Gnoti Seauton (Kenalilah dirimu /sebagai makhluk ?/) karena Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu hanya dengan mengenal diri (dengan segala keterbatasan makhlukiyahnya betapapun hebat pencapaian dan megah pengakuannya) maka kita akan mengenal Tuhan (Hyang Maha Sempurna dan SegalaNya). Ini adalah orientasi keyakinan awal dan juga realisasi kebenaran akhir. Dr. Ali Shariati melambangkan 1 adalah Hyang Esa, 0 adalah makhlukNya.  Meminjam istilah beliau ; berikut adalah paradigma kerobbanian yang menjadi orientasi awal bagi ketawaddhuan yang juga akan kembali menjadi  realisasi akhir bagi kecerdasan manusia. (*) = 1 tetap bernilai walau 0 tidak ada. 0 tidak bernilai jika 1 tidak ada. Maksudnya = Tuhan tetap ada walaupun makhluk ada ataupun tidak ada. Tuhan (kholik) adalah wajibul wujud yang keberadaanNya mutlak adanya ; selain itu (makhluk) adalah mumkimul wujud yang keberadaannya relatif adanya ~ bisa ada, bisa juga tidak ada ~ terserah dan berserah kepada kehendakNya. Tanpa Tuhan, segalanya tidak akan pernah ada. Tanpa segalanya sekalipun, Tuhan tetap ada.  Dia adalah  Hakekat yang merupakan penyebab dan kembali segala yang ada (baca: diadakan untuk mengada jadi tidak perlu terlalu meng-ada ada). (*) = 1 di depan 0 jauh bernilai dibanding 0 di depan 1 . Maksudnya = Jadilah pribadi 10; Pribadi yang mengedepankan Tuhannya diatas segalanya (termasuk dirinya sendiri). 0 didepan 1 dibelakang hanyalah bernilai 1 (satu) – ini gambaran pribadi yang mengedepankan selainNya pada kehidupan. Amaliah menjadi tak sempurna karena syirik, pribadi tidak konsisten karena terombang-ambing kepentingan duniawi/ kebanggaan berpribadi. Bahkan jika pada akhirnya yang satu (1) itu menjadi hilang, maka seluruh kehidupan kita tinggal 0 (baca: nol besar). (*) = 1 dibagi 0 tak terhingga ; 0 dibagi 1 tak berharga. Maksudnya = Pribadi yang berkarakter kuat dan cerdas adalah pribadi dengan kekuatan dan kecerdasan yang tumbuh berkembang karena ketawadhuan bukan dengan ketakaburan. 0 dibagi 1 tetaplah 0 – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri dengan ketakaburan. (Lemah dan rapuh karena sesungguhnya :Tiada daya upaya tanpa izinNya.)  Namun … 1 dibagi 0 adalah tak terhingga – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri karena ketawaddhuan. (Senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keridhoan dan petunjukNya). 
Dalam pemberdayaannya (kesadaran, kecakapan, kemapanan dan ketaqwaan), sejumlah manusia mungkin saja mampu berkembang mendahului lainnya bukan hanya secara intelek (yang popular didewakan saat ini), namun juga intuisi (sayang sudah agak diabaikan sekarang) dan insight (sudah langka dan terlupakan?). 9 kecerdasan mungkin tercapai ( 3 tataran intelek =1. AQ /Adversity Quotient - ketahanan berjuang/, 2. EQ /Emotional Quotient - keluwesan interaksi/, 3. IQ /Intelligence Quotient - kepandaian kognitif/; 3 wawasan intuisi = 4. ISQ /Intelligence Spritual Quotient - keterarahan sati/, 5. ESQ /Emotional Spiritual Quotient - keihsanan ummi/, 6. ASQ /Adversity Spiritual Quotient - kemantapan yogi/; 3 penembusan insight = 7. ADQ /Adversity Divine Quotient- mukasyafah/, 8. EDQ /Emotional Divine Quotient - Mahabatullooh/, 9. IDQ /Intelligence Divine Quotient - Ma'rifatullooh/) namun demikian jika tidak dibarengi dengan orientasi kesadaran 10 maka itu semua tanpa makna. Realisasi Kecerdasan tingkat 10 (baca: sepuluh) atau orientasi kesadaran 10 (baca: satu-nol) ini mungkin yang dimaksudkan sebagai insan kamil, homo novus (New Man) atau apapun istilahnya – suatu pencapaian kesempurnaan manusia dalam keterbatasannya. Namun sebagaimana proses pemberdayaan dan orientasi ketawaddhuan sebelumnya inipun harus dianggap hanya sebagai proses berkelanjutan bukan maqom penghentian. Inilah perbedaan yang mendasar antara kesejatian pencerahan bijak seorang panentheist, keimanan sejati para monotheist atau bisa jadi pencarian murni kaum heretis dengan kesemuan ‘pencerahan’ pantheist, ‘wawasan’ agnostic, maupun ‘pandangan’ atheist. Keberkahan dan pemberkahan hanyalah dari, oleh, untuk dan kembali kepadaNya. Realisasi kebenaran bukan identifikasi pembenaran. Dalam keikhlasan bukan dengan kepamrihan. Senantiasa memberdaya diri secara berkelanjutan dalam JalanNya (sesuai fitrah yang ditentukanNya) dan tidak terperdaya setinggi apapun perolehan yang dicapainya (menurut anggapan kerdil terhadap diri sendiri maupun pengakuan semu dari orang lain). Hanya mereka yang telah menghayati surga di hatinyalah (karena hidayah kuasa kasih yang terpancar dari wujudNya telah melingkup hati hambanya - bukan sebaliknya ?) yang kemudian akan menghadirkan surga di dunia ini (memberkahi kehidupan dengan kuasa kesejahteraan dalam kebersahajaan kasih dan tidak melakukan pembenaran akan pengrusakan dan bermegah dengan kesombongan apapun bentuknya) sehingga layak mendapatkan surga di sisiNya kelak. Tanah (baca: jasad) memang kelak akan kembali ke bumi (baca: mayat) sebagaimana harusnya namun demikian cahaya (baca: ruh atau sekedar jiwa ?) sebagaimana layaknya kembali (untuk selalu menghadap) ke Sumbernya (Tuhan).

PANENTHEISTIC ? 
SegalaNya (Laten DeitasNya) bermula, berada dan kembali kepadaNya (triade : diri – alam – inti )
Bermula karena katalisasi peniscayaan keberadaan > emanasi keilahian brahman > prokreasi penciptaan ketuhanan
Berada dalam kaidah kosmik (Parama Dhamma akan advaita niyama dharma : keutamaan > kebenaran > kenyataan )
Kembali kepada mandala advaita ( segalanya berada dalam sigma kewilayahan yang sama dari ketidak-terhinggaan yang bukan hanya mungkin memang sudah ada namun juga belum ada , akan ada bahkan susah ada karena konfigurasi peniscayaan yang sudah/belum/akan/tidak terpenuhi.) 
Gradasi tidak hirarki ? karena walau beda level , layer & label keberadaannya berada dalam kealamian, keilahian & kemurnian advaita mandala yang sama
Ah ... Susah juga memadukan apalagi mengungkapkan (terlebih lagi merealisasikan) paradigma kebijaksanaan kesedemikianan demi keselarasan bagi keseluruhan. Maaf, Socrates ... terpaksa untuk mempermudah & memperjelas paradigma kesedemikianan ini kami ajukan framework deduktif  tidak lagi induktif majeutike terus ... walau bukan hanya sungkan, riskan & kompleks rintisan pandangan ini.

 
spirituality is simple but not easy 
spiritualitas sebenarnya sederhana namun tidak mudah (difahami & dijalani )
sederhana (merendahkah ego atau merendahkan ide ?) tidak  berarti dangkal, lho 

Kutipan : 

Well, Spiritualitas walau tampak sederhana memang sangat complicated (satu gerbang ilmu hanya bisa dibuka jika wilayah ilmu-laku-teku sebelumnya bukan hanya telah difahami dan dijalani namun telah dicapai / dikuasai dan tanpa dilekati perlu dilampaui untuk memasuki gerbang berikutnya). Lagipula kita juga perlu realistis dengan segala keterbatasan dan pembatasan yang ada termasuk dan terutama keberadaan diri .... sudah layak atau belum. (Nibbana baru bisa tercapai dalam Panna keterjagaan  sempurna magga phala tidak sekedar sanna persepsi sebenar apapun pandangannya tidak juga tanha obsesi sehebat apapun pengharapannya).
Namun demikian karena ketidak-mengertian seseorang cenderung menganggap sedangkal apapun sesungguhnya level pencapaian dirinya (baik itu karena realisasi, referensi bahkan sekedar identifikasi ataupun imaginasi sekalipun) melabelkan dirinya sendiri sebagai yang tertinggi mengungguli lainnya untuk diakui segala keberadaannya & dituruti setiap keinginannya ..... sehingga tidak hanya stagnan untuk berkembang dalam keberdayaan namun bahkan jatuh terjebak &  tersekap dalam keterpedayaan  yang berkelanjutan (apalagi jika bukan hanya kebodohan internal namun juga pembodohan eksternal dilakukan .... payah & parah). 
So, sebagaimana wadah yang kosong, resik dan terbuka yang memungkinkan terisi lebih penuh, murni dan terjaga bukan hanya perendahan keakuan untuk melayakkan peningkatan reseptivitas diri namun tampaknya perlu penghampaan keakuan untuk lebih melayakkan penyelaman/ pencerahan yang lebih dalam lagi. Spiritualitas yang dewasa mutlak memerlukan kelayakan dengan pemastian kehandalan bukan sekedar pelagakan meyakinkan kecitraan belaka. Pencapaian keberdayaan untuk menghadapi segala kemungkinan tidak sekedar menggantungkan pengharapan kepercayaan yang bisa saja semu adanya... kemelekatan fanatis atas dogma justru akan bisa kontraproduktif sebagaimana pelekatan naif lainnya. 
Fokuskan saja realisasi pada pelayakan Ariya .... Nibbana atau Samsara terserah Niyama Dhamma. Di wilayah manapun dalam peran apapun pada situasi dan kondisi apapun juga seorang Ariya tetap akan mampu bermain apik tidak hanya secara cerdas tetap swadika dalam keterarahan namun juga tetap dengan cantik tanpa mengacaukan segalanya. (Ibaratnya CR7 atau Lionel Messi yang walau sesungguhnya bisa mengatasi bermain bola di klas liga dunia namun jika hanya tampil di turnamen kampung .... pasti akan lebih menguasai tentunya). Pencerahan adalah utama ... pembebasan 'hanyalah' bonusnya saja. Obsesi internal sebagaimana ambisi eksternal adalah tanha yang tersamar sebagaimana juga avijja lainnya (Ashin Tejaniya : jangan remehkan asava defilement karena ketika peremehan dilakukan anda sesungguhnya terlecehkan sendiri karena dijatuhkan dengan kesombongan anda ... awas spiritual materialism Chogyam Trungpa)
Inilah sebabnya kami lebih suka istilah sederhana kedewasaan pencerahan ketimbang perayaan kebebasan (karena lebih : true, humble & responsible untuk tetap terjaga , menjaga & berjaga dari segala kemungkinan ... Kebenaran adalah Jalan Kita semua tetapi bukan Milik kita, Diri Kita dan Label Kita ... Anatta ? .. Well, hanya Sang Kebenaran (baca: Hyang Esa ... Tuhan Transenden dalam triade Wujud, Kuasa & KasihNya atas laten deitas keIlahianNya di segala mandala immanenNya yang nyata, mulia dan benar dalam kesempurnaanNya) yang benar. Sedangkan kita dalam keterbatasan & pembatasan yang ada memang sering bodoh, bisa saja salah, dan bahkan mungkin jatuh  namun tetap perlu segera bangkit kembali menempuh jalan benar itu dengan benar dalam niat, cara,& arah tujuannya ...  terjaga untuk evolusi eksistensial , menjaga bagi harmoni universal & berjaga demi sinergi transendental.
KUTIPAN  : See :  apa itu kebenaran  Bhante Pannavarro.
Lim, kalau kamu bertanya dan mencari kebenaran, kebenaran itu persis seperti panasnya lampu minyak yang barusan kamu rasakan. Ada namun tidak terlihat, terasa namun tak dapat digenggam, mengelilingimu dengan cahayanya namun tak dapat kamu miliki, semua orang merasakan hal yang sama, melihat pancaran lampu tersebut, namun saat ingin dimiliki atau disentuh dia tak tersentuh, namun dapat dilihat dan dirasakan, itulah kebenaran. 
Kebenaran itu universal Lim, milik penciptanya dan segenap dunia ini, namun saat kebenaran ingin dimiliki oleh satu orang saja atau satu kelompok saja, dia akan langsung menghilang tak berbekas, karena kebenaran itu untuk disadari, dijalani bukan untuk dimiliki oleh makhluk yang Annica ( Tidak kekal) ini, makhluk yang Lobha ( Serakah) ini, makhluk yang penuh Irsia ( Iri hati) ini, makhluk yang penuh dengan Moha ( Kebodohan) ini dan bukan pula punya makhluk yang penuh dengan Dosa (Kebencian) ini. Disaat sebuah kebenaran sudah di klaim oleh orang lain atau hanya milik sebagian kelompok saja, maka kebenaran tersebut akan berubah menjadi pembenaran, menurut dirinya sendiri, menurut maunya sendiri, menurut nafsunya sendiri. 
Jadi Lim anakku, berjalanlah diatas kebenaran, lakukanlah yang benar benar, namun jangan sekali kali muncul keinginan untuk memiliki kebenaran yang universal tersebut, karena kebenaran itu universal tidak dapat dimiliki oleh siapapun kecuali Sang Pencipta kebenaran itu sendiri. 
semoga dapat dipahami dan semoga semua makhluk berbahagia lepas dari penderitaan selamanya, Sadhu sadhu sadhu..

intinya : Spiritualitas adalah masalah aktualisasi .autentik meniscayakan kesedemikianan dalam keseluruhan.

beragama ? beragamalah namun tidak tereksploitasi apalagi mengeksploitasi. Ingat ada kaidah kebajikan universal untuk harmoni.
bermistik ? bermistiklah namun tidak teridentifikasi apalagi mengidentifikasi. Ingat ada kaidah kebijakan transendental untuk evolusi.
berdharma? berdharmalah namun tidak teralienasi apalagi mengalienasi. Ingat ada kaidah kebenaran eksistensial untuk sinergi.

Atheisme, Agnostisme , dst ? jika alergi dengan terma dogmatis varnatmak "Tuhan" dan sejenisnya ganti saja dengan istilah filosofis 'Dhunyatmak' Causa Prima (sebab awal keazalian) , Sentra segalanya (Inti utama keberadaan) atau Orientasi destinasi (asymptot tujuan akhir kesejatian abadi) atau lainnya. Ini bukan masalah kepercayaan namun keberdayaan, tidak sekedar pengharapan atau penganggapan belaka namun murni masalah pemberdayaan peniscayaan kesedemikianan ... just idea (etika bukan dogma). Ini bukan agama dan seharusnya tidak dipandang sebagai dogma dan sebaiknya selanjutnya juga tetap disikapi / difahami demikian sebagai idea saja adanya. Tidak ada figur sesembahan yang baru, kredo keimanan yang beda ... hanya share idea pengetahuan (imaginasi inferential filosofis ?) & etika penempuhan (realisasi experiential ? sebatas referensi belum realisasi ... jujur saja masih padaparama dihetuka, hehehe )  .

Kutipan tentang Agnostisme :File Just File Seeker awal (link posting hilang ... sudah ditimpa data lain untuk effisiensi atau didraft karena kurang etis, ya ?)

Keraguan Ehipasiko? 
Well, meminjam dialektika fragmenta apologetika Verkuyl  untuk rasionalisasi pembenaran ide & irasionalisasi  pembenaran ego Agnostisme ? 
- Dubois :   Ignoramus et ignorabimus : kita tidak mengenalNya dan kita tidak akan mengenalNya  
Namun kita tetap harus mengenalNya minimal menerimaNya sebagai Sentra SegalaNya karena bagaimana mungkin mengacuhkanNya jika kita berada dalam mandala permainan keabadianNya (triade lama : Wujud, Kuasa, Kasih ?).   
- Lessing : .Bapa, berilah aku hal mencari kebenaran karena atas kebenaran itu hanya Kau saja yang berwenang (Duplik, 1778)  
So ... Why not ? jadi tempuhlah pencarian kebenaran tersebut demi pembuktian & pengertian untuk memahaminya bukan untuk memilikinya.  Memang, perlu kerendahan-hati untuk kembali menuju/ mengarah ke  Hyang Maha Tinggi dalam pembatasan ketidak sempurnaan agar tidak stagnan untuk terus berkembang dalam kebermaknaan pengertian untuk mencapai  kebijaksanaan.
Well, just ... Sapere aude (Horace / Kant?) Be wise .. dare to know ... Bijaksanalah untuk berani (menjelajah meng-eksplorasi) untuk mengetahui / menerima (kebenaran pastinya). Tentu saja ini dilakukan tidak dengan asal-asalan apalagi hanya akal-akalan demi tujuan identifikatif (membanggakan keakuan) saja apalagi manipulatif (membenarkan kemauan) belaka... well, sebagaimana konsistensi kaidah kosmik di awal  mutlak diperlukan pemberdayaan internal akal sehat, hati nurani dan jiwa suci untuk mencari, menempuh dan menembus  kebenaran.  Perlu integritas kesungguhan autentik individual yang personal immanen untuk memahami totalitas keseluruhan holistik universal yang Impersonal Transenden ... sebagai zenka laten deitas putera keabadian untuk menyadari kembali Sentra sejati KeIlahian dengan sigma mandala Kaidah alamiah Saddhamma yang sesungguhnya berlaku nyata walau tanpa perlu pengakuan namun mutlak perlu penempuhan yang selaras denganNya.  Ketuklah maka pintu akan dibukakan - demikian kutipan kata Alkitab Kristiani yang pernah kami baca. Itu adalah pintu kebenaran yang sama bagi semua ... pintu tanazul yang menjatuhkan kebodohan/ kepalsuan kita dalam kesemuan, kenaifan dan keliaran permainan samsarik dan sekaligus gerbang taraqi yang mengarahkan kesadaran/ kemurnian kita kembali ke rumah sejati (minimal senantiasa mengingatkan kita akan hakekat segalanya yang murni dalam kesejatianNya dan karenanya dengan kemurnian yang relatif identik sebagai makhluk spiritual apapun label keberadaan & level keberdayaan pada saat lampau, kini & mendatang kita menyelaraskan cara pandang, laku penempuhan dan pelayakan keberdayaannya dengan segala keterbatasan dan pembatasan yang ada.).  Jika zarah /wadah ? memang telah masak & layak segalanya tentunya akan terjadi sebagaimana yang seharusnya terjadi dalam kesedemikianan yang multi dimensional ini ... bukan hanya pada keberadaan eksistensial namun juga kesemestaan universal bahkan hingga  kesunyataan transendental.
Sesungguhnya kami tidak nyaman untuk jujur mengakui ini ... kami sebetulnya faham dan cukup tanggap bukan hanya akan silogisme tersirat namun juga fakta kenyataan di lapangan ....ini tidak sekedar tuduhan pembangkangan mereka bagi pengumbaran vitalisme neurotik saja namun terkadang autentik memang dikarenakan pandangan kebijaksanaan demi altruisme holistik yang diidealkan . Singkatnya, kehidupan berkeagamaan ,berketuhanan (dsb) kita memang sering tidak sesuai dengan evolusi, harmoni & sinergi yang seharusnya (ber-etika, bermartabat dan memberkahi  dunia ini ) bahkan seringkali justru sebaliknya (menyesatkan, menyusahkan & mengacaukan bukan hanya sekedar diri sendiri namun juga orang lain, komunitas kebersamaan bahkan ke segala dimensi keberadaan hidup ini) apalagi jika memang ada celah hujjah untuk melegitimasi pembenaran kepentingan pelaziman kezaliman tersebut.  
Bukan maksud kami mengacaukan permainan peran (dagelan nama rupa) yang tengah berlangsung (sudah, sedang dan akan demikian juga nantinya) dengan mengungkapkan realitas kebenaran & fenomena kenyataan (pembabaran Dharma ... sungkan, bro? ... introspeksi level spiritualitas diri :padaparma dihetuka) apalagi kebodohan internal & pembodohan eksternal (pembeberan Avidya  ... riskan, lho ... harmonisasi label eksistensialitas diri : umat beragama  & berTuhan) untuk share idea yang relatif agak berat, luas & mendalam ini  bagi orang kebanyakan.  Kami cukup faham dan juga sadar akan keniscayaan konsekueensi penempuhan yang memang tidak selalu selaras bahkan terkadang sering kali justru tidak sejalan dengan kebijaksanaan pengetahuan kami sendiri tersebut. 
Semula kami menujukan share ini bagi kita insan beragama untuk minimal membawa kebaikan & perbaikan bagi semua (diri, alam & sesama lainnya) karena di alam dimensi manapun kita (dunia saat ini atau alam nanti) sebagai apapun kita (manusia, hewan, petta, yakha, asura , niraya etc... dewa, mara, brahma, ariya dsb) kebaikan & perbaikan kualitas diri dan alam tsb harus tetap terjaga & dijaga keberkahanNya untuk evolusi pribadi, harmoni dimensi & sinergi valensi keberadaanNya. Namun tampaknya mungkin justru mereka yang akan lebih bebas leluasa tanpa jeratan/ sekapan harmonisasi paradigmatik eksistensial  dalam memetik manfaatnya karena akan lebih autentik, harmonis & holistik  dalam memahami & mengembangkan bukan hanya kemendalaman / kebijaksanaan  pengetahuan namun juga capaian penempuhan dan layaknya keniscayaan selanjutnya. Well, sesungguhnya diperlukan tidak sekedar hanya kebaikan (kamavacara), kearifan (brahmanda) ataupun kesucian (lokuttara) namun juga keutuhan (apa istilah term baru ini ...self term kami : Adhyatama saja, ya ? Maha Diri Azali Hyang Abadi ) sedangkan untuk ke'zero'an selanjutnya tidak kami rekomendasikan (dampak annihilisasi diri zenka bagi alam sigma & inti sentra, labirin paradoks tanazul MLD kejatuhan lagi & terutama level spiritualitas diri ...hanya Asekha diri yang telah murni dari jebakan delusi keakuan/ sekapan tanha kemauan samsarik maka  paska nibbana juga advaita & paramatta yang memang layak (tidak asal berlagak  ... jadi kita ? ya nggak mungkinlah. Secara autentik kualitas Keakuan kita masih naif apalagi kemauan kita masih liar ... walau mengharapkan pembebasan Nibbana, mendambakan manunggaling kawulo gusti Brahmanda ataupun dijanjikan layak jannah astral namun ... jika saja tidak didukung dengan akumulasi kelayakan yang memungkinkan keniscayaannya tampaknya memang harus barzah eteris dulu karena memang kelayakann/kelaparan akan penganggapan & pengharapan itu atau jika akumulatif MLD memang besar/ sangat tebal akan jatuh lebih rendah lagi dari sebelumnya ) Lanjut ke asymptot ke'zero'an .... namun demikian kalaupun mungkin memang layak dan juga  mampu (?) Dia mungkin akan tetap benar, bijak dan bajik untuk tidak menembus keIlahian Inti Hyang tidak hanya personal immanen namun juga Impersonal transenden ini demi kebijaksanaan keseluruhan kesedemikianan ini ... Dalam keswadikaan diri menjadi selaras dalam keseluruhan mungkin memang lebih tepat (tanpa harus hebat ? jumbuhing karso kawulo gusti x manunggaling wujud kawulo gusti ! ) ketimbang sempurna dalam kesemestaan alam & kesendirian inti pada mandala kesedemikianan ini ? (Imaginasi inferential filosofis gila atau gila-gilaan, nih .... hehehe, asal kesadaran tidak gila beneran dan kewajaran masih tampak waras ndagel patut x mbacut mbadut bersama figure peraga lainnya ). Secara pribadi kami tidak memandang tinggi / rendah wilayah  karena segalaNya berada dalam mandalaNya  dan  seharusnya juga kepada segala ego  figure/ ide konsep yang memang/ mungkin 'ada' padanya ... terlepas dari preferensi keinginan & hierarki kelayakan yang terjadi.

KUTIPAN SKETSA 

KAIDAH KOSMIK  
Berikut kajian kami terhadap 3 masalah krusial esoteris panentheistic berdasarkan referensi Buddhisme & Mysticisme 

1. Mandala Advaita = Desain Kosmik
2. Niyama Dhamma = Kaidah Kosmik 
3. Kamma Vibhanga = Kaidah Ethika 

MANDALA ADVAITA 
Dimensi Samsarik
Grand Design , Strata Mandala, Episode Samsarik 
Kutipan : 31 Alam Kehidupan Samsarik & Nirvanik 

KEILAHIAN PANENTHEISTICS
Kutipan : Mandala Advaita : tentang KeIlahiahan http://teguhqi.blogspot.com/2020/04/quo-vadis.html 

Tentang KeIlahian  (Tuhan : Tao - Dhamma )
Tuhan bukan bemper kebodohan/kemanjaan diri, media katarsis psikologis /transaksi pencitraan   dan kloset pembenaran pemfasikan/ kezaliman kepada lainnnya).  
Perlu kebijaksanaan universal. keperwiraan eksistensial, dan  keberdayaan transendental dalam spiritualitas
Tauhid sufism Ibn Araby  : tanzih -tasbih (transenden/imanen) Jika kau memandangnya tanzih semata kau membatasi Tuhan. Jika kau memandangnya tasbih belaka kau menetapkan Dia Namun jika kau menyatakanNya tanzih dan tasybih; kau berada di jalan Tauhid yang benar Sufi Ibn Arabi  memandang  KeIlahian Tuhan secara Esa - utuh dalam keseluruhan. Tuhan dipandang sekaligus sebagai Dzat Mutlak yang kekudusanNya tak tercapai oleh apapun/siapapun juga (transenden/tanzih) namun keluhuranNya meliputi segala sesuatu (immanen/ tasybih) sehingga walaupun pada dasarnya Kekudusan dan kesempurnaan Tuhan secara intelektual tak terfahami (agnosis)dengan keberadaan yang mungkin terlalu agung untuk kemudian tak diPribadikan(impersonal) dan mandiri (independent) namun  kemulian IlahiahNya sering  disikapi sebagai figur yang berpribadi(personal) dan Dharma kehendakNya dapat difahami(gnosis)  sehingga  memungkinkan terjadinya hubungan antara makhluk dengan Tuhan sesuai dengan ketentuanNya (dependent).Tanpa Tuhan, tidak ada segalanya. Karena Tuhan, bisa ada segalanya. (wajibul & mumkimul Wujud )
Tao adalah Tao - jikakau bisa menggambarkannya itu pasti bukan Tao 
Dalam kitab suci Uddana 8.3 Parinibbana (3) Buddha bersabda : O,bhikkhu ; ada sesuatu yang tidak dilahirkan,tidak menjelma,tidak tercipta, Yang Mutlak Jika seandainya saja tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan,tidak menjelma,tidak tercipta, Yang Mutlak tersebut  maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran penjelmaan ,pembentukan , dan pemunculan  dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan,tidak  menjelma, tidak tercipta, Yang Mutlak tersebut maka ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu itu. Ini secara tidak langsung mungkin menunjukkan dua hal sekaligus ,yaitu : kesaksian akan adanya keilahian yang diistilahkan sebagai ‘yang tak terbatas” dan yang kedua penjelasan bahwa nibbana   pencerahan sebagai puncak pencapaian spiritualitas Buddhisme hanya mungkin terjadi karena adanya ‘Yang tak terbatas’ tersebut.
plus link : konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama (https://khmand.wordpress.com/2008/08/20/konsep-tuhan-dlm-agama-buddha/)
Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Grand Design , Strata Mandala, Episode Samsarik 

TANAZUL TARAQQI

Plus: hipotesa teoritis  3 (tiga) fase (Mandala Tiada Samsara - Mandala dengan Samsara - Mandala Tanpa Samsara). .... mungkin tepatnya state keberadaan. (apalagi tidak hanya laten deitas personal samsarik) . 
Dari secret data lama kami (maaf ... dulu memang lebai masih naif & liar .... sekarang ? makin parah & payah, hehehe ) Gnosis Publik  p.7

Dhyana Dharma Keberadaan :
Fase 1 :  Fase KeMaha-Adaan Absolut Tuhan. purwaning Dumadi  ( Dhyana ® Swadika ! )
Fase 2 : fase peng’ada’an. KeEsaan karena Tuhan. sangkaning Dumadi  ( Dharma ® Kehendak Ilahi )
Fase 3 : fase keberadaan  Keesaan di dalam Tuhan gumelaring Dumadi  ( Tanazul ®Keberadaan Mandala )
Dharma Dhyana Keberadaan :
Fase 3 : fase keberadaan  Keesaan di dalam Tuhan gumelaring Dumadi  ( Tanazul ®Keberadaan Mandala )
Fase 4 : fase peniadaan. Keesaan kembali ke Tuhan. paraning Dumadi ( Taraqqi ®Mandala Keberadaan )
Fase 5 : fase KeMaha-Adaan Absolut Tuhan. purnaning Dumadi ( Dhyana ® Pralaya ? )
Well, ini hipotesa teoritis dari 3 (tiga) fase (Mandala Tiada Samsara - Mandala dengan Samsara - Mandala Tanpa Samsara).  
1.Mandala Tiada Samsara, ( Fase hanya Dhyana > Dhamma ) 
Transenden = Transendental - Universal  - Eksistensial  (Esa - yang ada hanya Dia Sentra Yang Esa ) 
2. Mandala Dengan Samsara, (Fase  dalam Dhamma < Dhyana )
Transenden = Transendental , Universal  , Eksistensial  (Segalanya ada  karena Dia  Sentra Yang Esa) 
Tanazul Genesis = emanasi , kreasi , ekspansi ? 
2.1. Awal : Mandala Pra Samsara  
Transendental : keterjagaan esensi / zen ? Nibbana 
Universal  : keterlelapan energi / nama  Brahma : arupa & rupa , 
Eksistensial  : kebermimpian etheric / rupa Kamavacara : dunia - surga & apaya  
2.2.. Kini : Samsara Pra Pralaya  
Dunia :  sd pralaya  Svarga : sd pralaya (paska dunia ) - Apaya :  sd pralaya ( lokantarika ?) -  Brahma : sd pralaya ( abhasara etc  Nibbana : sd advaita ? 
2.3. Nanti : Samsara Paska Pralaya (versi Buddhism ? ) 
Lokantarika : residu rupa paska terkena pralaya : dunia - apaya - svarga - hingga rupa brahma Jhana 1 sd 3 (mengapa ?)
Brahmanda : restan nama tidak terkena pralaya : Sudhavasa + Anenja /& Rupa Brahma : Jhana 4 untuk kemudian 3 - 2 ( abhasara )  
Lokuttrara : bebas dari samsara & pralayanya : Asekha nibbana ( eksistensial ? + universal & transendental-nya)  
What's next ? 
- Siklus fase ke 2 Mandala Dalam Samsara berlanjut lagi (Kisah kasih nama rupa Brahmanda Lokantarika bersemi kembali sebagaimana biasanya ? ... kecuali
lokuttara & suddhavasa harusnya plus vehapala yang masih mantap & anenja yang masih terlelap juga ..... Asaññasatta ?)  
- atau... kembali ke fase 1 (kemanunggalan azali karena pencerahan keseluruhan/& keterjagaan Dia Sentra Yang Esa) 
- atau haruskah ada fase 3 (kemusnahan total karena kekacauan keseluruhan & kebinasaan Dia  Sentra Yang Esa ) 
3. Mandala Tanpa Samsara  (Fase  tanpa Dhamma - tiada Dhyana )  
tiada  Eksistensial - Universal  -  Transendental    (Segalanya tiada  tanpa Dia Sentra Yang Esa )  
Adakah Sentra dengan sigma & zenka lain ? Maha Sentra Utama ? dst dsb dll 
idea tidak lagi dibahas bisa keluar jalur ? : Spekulasi Rimba Pendapat tak perlu karena hanya memboroskan energi, perdebatan tak perlu  & sama sekali bukan upaya
yang perlu untuk bersegera dalam penempuhan keberdayaan aktual ? Samsara pribadi (eksistensial ) saja belum diketahui awalnya dan akhirnya (kejujuran nirvanik
Buddha ), apalagi samsara semesta (universal) terlebih lagi transendental (mengapa ?).

MANDALA SEMESTA 

Mandala Samsarik Buddhisme (31 alam kehidupan) 
atau tabel hipotesis yang agak 'gila' dari kami ini 
Skema Wilayah Tanazul Genesis & Taraqi Ekstasis meniscayakan keterrealisasinya transendensi impersonal bagi evolusi pribadi demi harmoni dimensi  

 

Wilayah

1

2

3

Transendental

Nibbana ‘sentra’ ?

Belum diketahui ? 7

Tidak diketahui ? 8

Tanpa diketahui ? 9

 

Nibbana ‘sigma’?

Belum mengakui ? 4

Tidak mengakui ? 5

Tanpa mengakui ? 6

 

Nibbana ‘zenka’ ?

Arahata 1

Pacceka 2

Sambuddha 3

Universal

Brahma Murni  (Suddhavasa)

Anagami 7 (aviha Atappa)

Anagami 8 (Sudassa Sudassi)

Anagami  9(Akanittha)

 

Brahma Stabil (Uppekkha )

jhana 4 (Vehapphala)

Asaññasatta 5 (rupa > nama)

Anenja 6 ( nama > rupa arupa brahma 4 )

 

Brahma mobile (nama & rupa)

Jhana 1 (Maha Brahma)

Jhana 2 (Abhassara)

Jhana 3 (Subhakinha)

Eksistensial

Trimurti LokaDewa

Vishnu 7 (Tusita)

Brahma 8 (Nimmãnarati)

Shiva 9 (Mara?  Paranimmita vasavatti)

 

Astral Surgawi

Yakha  (Cãtummahãrãjika) 4

Saka  (Tãvatimsa) 5

Yama (Yãma)6 

 

Materi Eteris

Dunia fisik(mediocre’ manussa  &‘apaya’ hewan iracchãnayoni) 
+ flora & abiotik ? / 1
Eteris Astral apaya (‘apaya’ Petayoni & ‘apaya’ niraya)
2
Eteris Astral apaya Asura  (petta & /eks?/  Deva ) 
3

10 ? transendental 3 + universal 3 + eksistensial 3 = 9 ?  9 dimensi mandala di atas + 1 for Indefinitely Infinitum ( Realitas Aktual Transenden > Fenomena Formal Immanen dari personal laten deitas  ) for humbling in progress to mystery. 

MANDALA ADVAITA : just area ..
Kamavacara : Personal (kealamiahan sensasi kebahagiaan) : Ego - Anicca 
- bawah  : fisik - eterris 
- tengah  :
- atas      
Brahmanada : Transpersonal (KeIlahiahan fantasi keberadaan) : Self - Dukkha 
- bawah 
- tengah 
- atas 
Lokuttara : Impersonal (Keswadikaan esensi Kesunyataan) : Esa - Anatta 
- bawah : Nibbana  aneka jati Buddha ; tanha ? diri  kiriya 
- tengah  : Advaita  prajna paramitta  karma ? alam kaidah niyama 
- atas : Paramatta ? Udana ? 

Triade ( 3 in 1) =Tuhan ? Impersonal Lokuttara > Transpersonal Brahmanda > Personal Kamavacara (Guardians = cakkavati ?)
Tuhan = tanzih & tasybih ( Kausa Prima , Sentra Segalanya , etc ) 
- Panentheistik > Pantheistik (Dalam keseluruhan) : 
- Non-theistik > Not-theistik  (Tanpa pengagungan diri ) : 
- Post Taoistik > Absolut Statik (Terus selaras dalam dinamika asymptot penyempurnaan keseimbangan)
Dharma Vihara   :Balancing progress (symetry asymetry)

IMPERSONAL GOD (ABSOLUTE INDEFINITE/INFINITUM TRANSENDEN) > PERSONAL GODS  (laten deitas figure kosmik immanen  yang memang mengidentifikasikan dirinya  / diDeifikasi lainnya atau hanya konsep renungan filosofis demi idealisasi kesempurnaan / refleksi imaginatif  bagi manuver strategis pembenaran kepentingan saja ?)

 
https://www.youtube.com/watch?v=3yVLJahhwC8&list=PLZZa2J4-qv-bhq6xJFZjoY4jEP9a4E2e3&index=42
https://www.youtube.com/watch?v=7jNjrsEMbKA&list=PLZZa2J4-qv-bhq6xJFZjoY4jEP9a4E2e3&index=51&t=1s

IMPERSONAL REALITY (KEILAHIAN)
komentar video tidak dijawab ?

PLUS DATA/MYSTICS/ETC/KOMENTAR VLOG TQ SD 09072021.docx

PLUS DATA/MYSTICS/ETC/KOMENTAR VLOG TQ SD 09072021.pdf

 
https://www.youtube.com/watch?v=6cJ9zVwR9Wc&list=PLZZa2J4-qv-bhq6xJFZjoY4jEP9a4E2e3&index=39&t=168s
Anumodana, Bhante Khemadaro ,Samanera Abhisarano & bapak Feby atas tayangan video yang walau temanya memang sangat menarik namun bisa jadi sensitif. KeIlahian memang sentra mendasar & menyasar dalam wawasan/ tataran spiritualitas (ranah agama eksistensial, mistik universal & Dhamma transendental). Pandangan KeIlahian dalam Buddhisme memang unik karena bersifat Impersonal Transenden Nirvanik tidak sekedar Personal Immanen samsarik. Bisakah dijelaskan/ditegaskan ‘konsep’ keIlahian Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam (Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak – dari Uddana 8.3 ) dan juga Sang Hyang Adi Buddha oleh mendiang Bhante Sukong Ashin Jinarakhita ?
komentar video tidak dijawab ?
sungkan & riskan ? masalah sensitif bisa menyinggung 
dianggap prank "kadrun" ? rasionalisasi menguji untuk motive tersirat mencobai/mengerjai untuk menjahili + menzalimi ?
memang tidak harus dijawab ? transrasional untuk dibahas (toh yang utama etika berpribadi & berprilaku dalam kebersamaan > dogma berpandangan ?)
mungkin memang ini pertanyaan dilematis walau tidak dimaksudkan untuk perangkap jebakan badman (bukan hanya external namun juga internal) ... jika tidak bisa dijawab penganut agama langit (?) akan menghujat anda dengan sebutan kafir atheis dsb (ini berdampak bukan hanya tidak mengenakkan eksistensial pribadi namun juga akan menjerumuskan mereka dalam penyimpangan kaidah etika kosmik berikutnya ... niyata miccha ditthi & kammacitta vipakkha karena kebodohan akan kepicikan/kepolosan jahiliah + kelicikan /kekasaran zalimiah mencela ... bukan hanya citta cetana mengharapkan namun sudah mulai akusala kamma mengusahakan orang lain celaka walau baru sebatas lisan belum perbuatan), jika anda bisa menjawab walaupun salah itu akan melegakan selera mereka (merasa sama, setara bahkan lebih unggul?) namun anda menyalahi akidah tepatnya menyimpang dari kaidah ethika Dhamma anda sendiri.

https://www.youtube.com/watch?v=7Eu8asjrPpk&list=PLZZa2J4-qv-b6ehpPHIIT57Myzehhv2A5&index=1

33. Eps 446 | BATAS PENGETAHUAN MANUSIA MENURUT KITAB KEJADIAN?
Walau senantiasa ada celah kebebasan dalam keterbatasan internal & pembatasan internal eksternal yang ada demi perolehan kebahagiaan ataupun bagi pencapaian keberdayaan.
Bukan keabadian atau keilahian namun kemurnian yang selayaknya ditekankan dalam paradigma berpandangan manusia agar tetap berpondasi pada kebenaran transcendental , berorientasi pada kebijakan eksistensial dan berorientasi  beraktualisasi  untuk kebajikan universal..
Buat apa mengharapkan keabadian diri karena sejak mumkimul wujud (diri) maujud dalam kehendak penciptaan, emanasi pencitraan ataupun katalisasi peniscayaan (etc) pada fase keazalian (ilahiah – alamiah – insaniah) itu bukankah sesungguhnya segalanya sudah berada dalam keabadian yang berproses dinamis dalam keseluruhan ini.
Buat apa mendambakan keilahian diri karena klaim identifikasi justru akan meninggikan keakuan yang menjatuhkan diri & mengesalkan merendahkan lainnya apalagi upaya mendeifikasikan diri justru akan menyesatkan diri & menyusahkan lainnya dalam semesta kebersamaan ini. walau karena faktisitas kompleksitas dalam transendensi eksistensial & universal  perlu juga true lies internal / eksternal ?
Meminjam istilah fisika kuantum, diri kita hanyalah beragam partikel electron imanen yang beredar terpancar bak gradasi pelangi pada aneka layer dimensi dari sentra inti atom kosmik transenden yang sama … selaraskan saja eksistensialitas diri kitasetara bersama dengan lainnya secara transcendental murni dalam kaidah universalNya. Dengan cara demikian evolusi pribadi tetap bisa dilakukan, harmoni dimensi juga bisa terjaga dan sinergi valensi juga tetap dalam kedewasaan/ pencerahan tanpa perlu konflik internal/eksternal dengan ketepatan pemeranan dari label eksistensial yang perlu dilakukan (true – humble – responsible)
Atau pandangan panentheistik Ibn Araby : Tauhid sufism Ibn Araby : tanzih -tasbih (transenden/imanen) Jika kau memandangnya tanzih semata kau membatasi Tuhan. Jika kau memandangnya tasbih belaka kau menetapkan Dia Namun jika kau menyatakanNya tanzih dan tasybih; kau berada di jalan Tauhid yang benar
Sufi Ibn Arabi memandang KeIlahian Tuhan secara Esa - utuh dalam keseluruhan. Tuhan dipandang sekaligus sebagai Dzat Mutlak yang kekudusanNya tak tercapai oleh apapun/siapapun juga (transenden/tanzih) namun keluhuranNya meliputi segala sesuatu (immanen/ tasybih) sehingga walaupun pada dasarnya Kekudusan dan kesempurnaan Tuhan secara intelektual tak terfahami (agnosis)dengan keberadaan yang mungkin terlalu agung untuk kemudian tak diPribadikan(impersonal) dan mandiri (independent) namun kemulian IlahiahNya sering disikapi sebagai figur yang berpribadi(personal) dan Dharma kehendakNya dapat difahami(gnosis) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara makhluk dengan Tuhan sesuai dengan ketentuanNya (dependent).
Tanpa Tuhan, tidak ada segalanya. Karena Tuhan, bisa ada segalanya. (wajibul & mumkimul Wujud )
Tao adalah Tao – jika kau bisa menggambarkannya itu pasti bukan Tao Laisa kamitsilihi syai'un . Tan kinoyo ngopo
Masihkah kita (diri yang hanya personal immanen) ingin (tepatnya: layak) bersaing untuk menyamai, menjadi bahkan melampaui Tuhan (Hyang juga Impersonal Transenden) ? hantu abadi atau tuhan abadi, Taoist ?

ADHYATMA , ADHI BUDDHA , atau ....

RELIGI ABRAHAMIK = anthropomorphisme keilahian personal ? 
KAMAVACARA ? (Dimensi fisik < eteris, astral surgawi , mental laduni ?) < BRAHMANDA (Dimensi monade kosmik Brahma (abhasara cs, vehapala cs, suddhavasa cs) < LOKUTTARA (Dimensi nibbana, advaita, paramatta ?) < ETC ( Hyang melampaui eksistensialitas diri < universalitas alam< transendentalitas inti  )

Dalam Mystic Radha Soami Tuhan bisa disebutkan(Varnatmak) personal atau tidak mungkin disebutkan(Dhunyatmak)transpersonal / impersonal ?. 
Mystik  Yogi Sufi Radha Soami : 
5 Holy Names.pdf (1 Alakh Niranjan astral surgawi, 1 Omkar Brahm mental kausal, 3 layer Brahmanda Lokuttara ?)

 2) WISDOM = Kemantapan metanoia (K) :
prolog : kearifan ?(kemajemukan pendapat; keberagaman pandangan ; keterbatasan kemampuan)
1) Khilafiyah Theologi : kemustahilan membatasi Tuhan ? → kecerahan paradigma diantara Rimba Pendapat (keIlahian ; keberadaaan; ketentuan)
2) Problema Theodice : kemustahilan membela Tuhan?® kebijakan metanoia diantara faham pandangan (fanatisme/mistisme ; atheisme/vitalisme ; agnostisme /heuretisme)
3) Masalah Theosofi: kemustahilan mencintai Tuhan ?®kebijakan apologia diantara ragam kenyataan (kegaiban Tuhan ; penderitaan/kezaliman ; ananiyah/nafsiyah) epilog : keimanan ?ketentuan awal > kepastian final → aktualisasi penempuhan & realisasi pembuktian

Well, sejujurnya tinggal selangkah lagi Saddhamma ini untuk menjadi Paramattha Sanatana Dhamma yang memuliakan kebenaran & keilahian secara murni & sejati sebagai Theosofi Panentheistik tauhid yang merengkuh seluruh paradigma yang ada ... Idea Buddha Shiva ? But, skenario samsarik  (termasuk sunnakalpa & era Buddha Maeteya, Lokabyuha & siklus pralaya, etc) tampaknya memang tetap perlu berlanjut demi keberlangsungan keseluruhan pelangi biasan keberagaman dari Satu mentari yang samaAcinteya yang telah direalisasi & tetap dijalani Buddha walau tanpa dipublikasi dalam simsapa sutta  ini apa juga difahami & disadari Savaka-Nya ?
Kami tidak memaksakan/mengharuskan self term mystics Adhyatma atau apapun juga untuk final phase Impersonal Reality paska lokuttara ini. Anda bisa menyebutkan dengan apapun saja (Sentra, Causa etc) atau siapapun juga (bahkan ... walau mungkin memang tampak kurang etis agak 'asal klaim' terhadap personal god tataran kamavacara (di level fisik/ eteris/ astral/ mental), brahmanda, lokuttara etc) untuk penyebutan varnatmak yang lebih familiar, menghindari disharmoni label eksistensialitas keberadaan diri dalam kebersamaan dengan lainnya dan kenyamanan / kemantapan bagi progress pemberdayaan melayakkan keniscayaan  (sinergi / evolusi/ harmoni).
Mendiang Ashin Jinarakhita pada saat ditanya jika Buddha adalah guru agung saja maka siapa "Tuhan " dalam agama Buddha ? Untuk sekedar melegitimasi pengakuan formal prasyarat keberagamaan di Indonesia saat itu Beliau tampaknya cukup tanggap untuk beradaptasi dengan 'memperkenalkan' term kepada negeri ini. Sang Hyang Adi Buddha (mungkin istilah ini lebih tepat daripada self term kami jika merujuk dari hierarki evolusi tertinggi Impersonal Reality yang telah tercapai dari rekaman historis sampai saat ini dibandingkan istilah kami yang mungkin dipandang hanya dalam tataran konsep filosofis untuk melampaui idea keberagaman & memperbaiki etika kebersamaan yang masih berlevel transpersonal bahkan bisa jadi hanya berlayer personal saja) untuk term "aneh/asing"  ajatan abhutan tsb 

Lanjutkan dulu  ...
KAIDAH TERTIB KOSMIK =

2. Niyama Dhamma = Kaidah Kosmik 
See :AN 3.136: Uppādā Sutta Sering disebut DhammaNiyama Sutta (?). 
Dhamma tetap ada walau Buddha muncul atau tidak (pada masa Buddhakalpa dan atau Sunnakalpa)
Dalam kitab suci Tipiṭaka pada Uppādāsutta bagian Aṅguttara Nikāya 3.136:
Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ, ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā aniccā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā aniccā’ti.
“Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah tidak kekal.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’
Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā dukkhā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe saṅkhārā dukkhā’ti.
Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena terkondisi adalah penderitaan.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’
Uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe dhammā anattā. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānīkaroti: ‘sabbe dhammā anattā’”ti.
Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menerobosnya, dan kemudian Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menetapkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’”
Dalam agama Buddha, kelima hukum tersebut adalah sebagai berikut.
Utuniyāma, hukum kepastian atau keteraturan musim. ; Bijaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan biji.
Kammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kamma.; Cittaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan kesadaran.
Dhammaniyāma, hukum kepastian atau keteraturan dhamma.
Link Media:
Keberagamaan  yang sesuai secara eksistenstial, selaras dengan kaidah universal dan mengarah dalam tataran transendental .
 

3. Kamma Vibhanga = Kaidah Ethika 
3. KAMMA VIBHANGA 
Secara simple bolehlah dikatakan  hukum karma adalah jika perbuatan baik dilakukan maka akan menghasilkan kebaikan juga kepada pelakunya demikian juga keburukan. Namun demikian kaidah nyata berlakunya hukum karma sangat kompleks tidaklah berjalan sederhana instant, direct & identik sebagaimana yang secara naif kita perkirakan. Ada 4 variasi kemungkinan dari kaidah kosmik hukum karma ini secara empiris menurut Buddha paska keterjagaan pencerahan samsarikNya 
Link data utama : Piya Tan untuk bahasan Mahakammavibhanga sutta
atau Link Video  berikut :

 
Ashin Kheminda DBS Playlist  = Hukum Kamma  Cula Kamma Vibhanga - Maha Kamma Vibhanga


Tentang Paska Kematian / Aneka Keberadaan =

Setiap dimensi samsarik memiliki faktor persyaratan karmik & kehandalan kosmik (untuk mengalami & mengatasinya) Walaupun fenomena mandala ini memang beragam level & labelnya (terpilah > terpisah ?) namun secara realitas terpadu adanya (esensi>energi>materi). Bersedia untuk senantiasa terjaga  menjaga  berjaga (apapun juga hasilnya ... jangan susah apalagi menyusahkan lagi di alam ini ) 
Terlepas dari pembenaran kebanggaan keakuan & kepentingan kemauan , dalam perspektif keEsaan apapun alamnya itu memang seharusnya adalah baik (setidaknya adil ... tepat bukan hanya sesuai dengan level batin zenka penghuninya namun juga demi keberlangsungan dimensi mandala alam tersebut). Misalnya begitu menderitanya seorang puthujjana yang masih sakau, galau & kacau dengan kesombongan, keserakahan &  kebencian jika harus berada di level kemurnian nibbana (Well, para Asekha di dimensi ini harus melampaui niraya eksternal baru juga, lho dengan keberadaan penghuni baru ini demikian juga wilayah ini). Ini juga berlaku di level samsarik kamavacara juga, lho. Terkadang sangat memprihatinkan para guardian niraya yang mengurus jasa laundry pemurnian jiwa dari dosa mereka yang mengotori dirinya sendiri (So, sesungguhnya siapa menyiksa siapa, bro?) ketimbang para guardian svarga yang hanya melayani pengumbaran lobha kenikmatan atas pahala kebaikan jiwa hingga batas akhir depositonya. Well, penangguhan mungkin memang bisa diterima jika demikian (too risky for all ...jadi perlu alam antara pra pralaya?).  So, biarkan advaita niyama dhamma melayakan keniscayaan yang tepat bagi semuanya secara transenden impersonal termasuk juga siklus pralaya (demi penyegaran atau pemusnahan ?) .
Sebagaimana dimensi samsarik lainnya ( apaya, surga bahkan alam Brahma sekalipun), dunia ini hanyalah terminal transit bagi evolusi spiritualitas diri berikutnya.  Peluang kesempatan / tanggung jawab sebagai manusia dsb dalam membawa keberkahan diri dan lainnya ... tidak sekedar berlibur, terhibur dan dikubur sebagai manusia untuk hanya kembali calon mayit/ demit ?  

jadi, inget kata  Buddha & para Suci lainnya : kelaziman ( kebodohan atau kewajaran?) kita cenderung menjadikan apaya menjadi rumah tinggal  berikutnya  (walau sesungguhnya bukan itu sangkaan pandangan & harapan keinginannya ... ironis atau tragis ?) 
Well, jika tiada faktor non-operative mahakammavibhanga ... walau tidak dimaksudkan sekalipun by product kelayakan pemurnian sila bukan hanya bisa lampaui apaya (alobha x petta, adosa x neraka, amoha x tirachana  ... asura ?) namun juga layakan investasi deposito kebajikan untuk digunakan liburan sementara kapling dimensi surgawi jika diperlukan (just refreshing penyegaran atau malah recraving pengumbaran ?) ; yang lebih penting jika mampu pencapaian meditatif bisa bereffek pada peningkatan intelgensi kecakapan yang lebih baik apalagi ditunjang panna kebijaksanan yang berkembang . 

AS /IF Petta apaya etc
Walau ini dianggap ‘wajar’ bagi lokiya dhamma namun termasuk apaya bagi saddhama (walau tampak ironis namun tidak menutup kemungkinan dikarenakan akumulasi kelayakan kamacitta sebagaimana kemelekatan akan memory figure bhava, obsesi ditthi dan tanha pengharapan status symbol berada di dimensi eteris ditengah ekspansi dewa label jatuhan asura & ekstensi dewa level rendahan yakkha ini)  
Case : pettavathu
Niraya ? jika terdampar di apaya  hidup sbg peta maka dengan upekkha kembangkan mudita (sikap apresiatif/positif atas niatan tindakan kebaikan lainnya) brahma vihara walau sulit. jika terlempar di apaya lainnya maka dengan upekkha kembangkan metta brahma vihara (kewajaran kosmik untuk aktualisasi kesadaran kasih universal sebagaimana kesedemikianannya kaidah impersonal transenden niyama dhamma  atas personal imanen terus berlaku walau tak butuh diakui dan tak sekedar bisa diyakini ) walau jelas sangat sulit.
Dalam Buddhisme Apaya adalah kemungkinan MLD ( Moha - hewan tirachana, Lobha - petta kelaparan , Dosa - niraya 'laundry' ) 
Plus Idea : 
Barzah eteris juga untuk umat beragama & bertuhan tidak hanya yang sekuler ? karena kemelekatan kehidupan sebelumnya & selanjutnya ?
 

AS /IF Surga Kamadeva etc
surga ytcrash
Walau ini sangat didambakan bagi lokiya dhamma (walau tanpa perlu alam antara ?) namun (tanpa merendahkan) tidak bagi saddhama ? (walau tidak menutup kemungkinan dikarenakan akumulasi kelayakan kamacitta 'hanya' bisa berada di dimensi astral ini )
Case : jaminan nanda & bhikkhu surga Link Video : 1 & 2 
Jika surga & neraka tidak ada akankah Tuhan dipuja dalam kebaktian, kebajikan dan kebijakan ? Bukan karena  deficiency atau  sekedar transaksi (Sufi wanita Rabiah Adawiyah ... Mahabah cinta kepada TuhanNya bukan hanya mengatasi kecintaan kepada siapapun /Nabi, Surga ?/ namun juga kebencian kepada apapun termasuk kepada  /iblis & neraka?/). 
Plus Idea : 
Mengapa bisa segera melampaui ke surga tanpa harus penangguhan pralaya dunia ?


AS /IF Brahma etc
buddha brahma
Walau ini sangat didambakan bagi mystics pantheist namun tidak bagi saddhama (walau tidak menutup kemungkinan dikarenakan bukan hanya kelayakan/kecakapan namun juga kemantapan/kemapanan kamacitta dan samadhi bhavananya)
Case : batin mencari & menjadi "tuhan" yang lebih sejati ? , dilemma antara kenyamanan 'transendensi' nama ke anenja (terlelap? alara kalama & Uddhaka ramaputta eks guru dengan tataran ilmu yang telah dikuasainya pra Uruvela ) vs keberadaan 'immanensi' rupa ke samsara (terjatuh? Brahma Baka yang terprovokasi Mara ? ).
(Fake story ?)  Buddha ditanya keberadaan Tuhan .... Dia menjawab akan keberadaanNya kepada yang mengingkariNya namun menyangkal keberadaanNya kepada yang meyakiniNya. (bukan kepercayaan namun keberdayaan ... memastikan tataran fakta bukti  penempuhan/penembusan dalam kemurnian yang utama bukan sekedar meyakini gagasan internal/ wawasan eksternal. 
Plus Idea : 
real story Buddha & Tuhan : Brahma Baka , Mara, Tusita , Saka, Yakkha & asura ? (khanda paritta + attanatiya sutta +  ratana sutta + Karaniya metta sutta )


AS /IF Nibbana etc
pencerahan Buddha

Walau keterjagaan dalam dvaita kesunyataan ini dipandang ‘sangat sempurna’ bagi buddha dhamma namun dalam 'kebersahajaan' akan advaita kesedemikianan ini ‘cukup bijaksana’ bagi saddhama (Holistik melampaui Nivritti negative & harmonis melampaui Pravritti positive )
(Fake story ?)  Buddha diam ketika ditanya apakah Dia mencapai Nibbana .... Jika Dia menjawab "Tidak", Dia berdusta akan realisasi pencapaian keterjagaanNya , Jika Dia menjawab "Ya" , Dia berdusta karena Nibbana mustahil tercapai jika masih ada 'keakuan" samsarik.
Plus Idea : 
real story : kepada Sopaka , Panca Vagiya (Dhammacakka ~  'patanjali astanga yoga?' + anattalakkhana sutta  !) 
sakshin : Bahiya & Malunkya ( panduan taktis Mahasatipathana & risalah teknis Abhidhamma )
Ovada pattimokkha ke 500 asekha arahat ?(keterjagaan level vs kelengahan label spiritual materialism magga phala arahat ?)  

TENTANG PERSONAL GODS AGAMA 

SADDHAMMA (BUDDHISM ?) , MYSTICS  & AGAMA 

KRITIK 

KRITIK BUDDHISM 

See : Konsideran dilematika plus minus romantisme monastik intensif  Sambuddha & realisme holistik swadharma pacceka : 
Sejujurnya kami merasa tidak nyaman mengutarakan ini. Well, ada etika kosmik seeker (walau tidak formal tertulis namun secara aktual perlu dijalani sebagai truth seeker apalagi  true seeker .... praktek latihan katanu kataveddi < pubbakari ?) yang tidak boleh dilanggar yaitu amanah untuk tidak sekalipun berkhianat bukan hanya atas keberadaan eksistensialitas dirinya namun atas kepercayaan nara sumber referensi/ media guru realisasinya. Namun demikian demi keberdayaan yang lebih sejati kami merasa perlu jujur untuk mengutarakan pandangan kami (walau mungkin saja tidak sepenuhnya benar & bisa mencerahkan sebagaimana yang kami harapkan namun bisa jadi sebaliknya salah & justru menyesatkan walau sesungguhnya tidak kami maksudkan). Semoga kami cukup mampu berjaga untuk senantiasa tetap terjaga agar bisa menjaga bukan hanya diri sendiri namun juga lainnya.
Kami memahami kebijakan Buddha untuk bersegera secara intensif meniscayakan pencerahan keterjagaan Savaka beliau sejak dini yang juga diterima kultur budaya spiritual eksistensial pada saat itu dalam ordo monastik sangha (sebagai pembabar/pelestari Dhamma & ladang kebajikan yang subur dikarenakan pelayakan kemurniannya). Maaf, bukan ingin mengacau tradisi Saddhama yang memang tetap harus ada sebelum masa sunnakalpa tiba ; berikut alternatif  pencerahan yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan terutama bagi para saddhaka penempuh spiritual yang berada di luar sasana saat ini (atau bahkan umat Buddha sebelum menjadi bhikkhu ?). Spiritualitas adalah aktualisasi untuk mengatasi/melampaui bukan untuk menjauhi/membenci (walau tidak  untuk melekati/menguasai juga, lho). Ini dimaksudkan untuk menjaga bukan sekedar kuantitas statistik populasi namun kualitas autentik 'prestasi' bagi tetap "lebih?" lestarinya Dhamma yang masih memungkinkan terjadinya pencerahan bukan saja di setiap zaman namun juga seharusnya bisa juga di setiap alam kehidupan 31 nanti jika juga dibabarkan/teringatkan untuk dilaksanakan dalam keselerasan sesuai dengan keterbatasan dan pembatasan yang ada (just joke, termasuk alam apaya petta /asura/niraya/tirachana nanti ....  kami tunggu lho). 

1. samana :  terlampauinya social catur asrama Hinduisme (brahmacari - grahasta - vanaphrasta & sannyasa bhikkhu).
Brahmacari perlu dilakukan memadai sedini mungkin (pemahaman pariyatti komprehensif , kecakapan patipatti yang terarah ke pativedha disamping kecerdasan taktis pengetahuan & ketrampilan kehidupan/penghidupan dan juga kebijaksanaan mensikapi/menjalani kompleksitas interaksi dalam kebersamaan/ kesemestaan yang senantiasa seimbang/berimbang dalam keselarasan/keterarahan dengan Saddhamma). Well, sebagian besar manusia bukan hanya memboroskan waktu & energi namun sering justru merusak amanah/peluang pemberdayaannya dalam keterpedayaan dirinya bahkan pemerdayaan lainnya. Sebagaimana dimensi samsarik lainnya (apaya, surga bahkan alam Brahma sekalipun) , dunia manusia ini hanyalah terminal transit bagi evolusi spiritualitas diri berikutnya.
Perlu grhasta dalam jumlah yang seharusnya jauh lebih besar bukan hanya untuk mandiri dan sukarela menyangga/ menjamin kehidupan eksistensial diri, keluarga dan para bhikkhu namun juga demi pengembangan spiritualitas sendiri & bersama dan pelestarian Dhamma.
Menjadi samana (pertapa) ? aktualisasi atas kesadaran, dengan kecakapan dan dalam kewajaran  (paska kesungguhan realisasi/aspirasi anagami arahata /ingat : celaan konstruktif  rekan bhikkhu atas 'jaminan 'selera rendah'  surgawi  Nanda Thera / > jaminan kemapanan / pensiun dini ? atau backing donasi kapiya / > kebutuhan umat /kontribusi profesi ?/ > keinginan sendiri (obsesi internal atau ambisi eksternal ?/ > keadaan fase/ usia  / untuk cittakhana husnul khotimah  pra maut / ?) . 

2. selibat  : terlampauinya arketipe seksual anima/animus kosmik (replika suddhavasa ? anagami ) 
Adalah Brahma Sahampati yang tanggap karena pencapaiannya sebagai anagami akan level kemurnian dimana bukan hanya delusi gender samsarik namun juga tidak terlekatinya lagi 5 samyojana 10 permainan samsarik sehingga beliau memohon pembabaran Dhamma dari Samma Sambuddha Gautama, bhikkhu aritha. Itulah sebabnya selibat menjadi satu sendi pokok vinaya monastik bagi para penempuh untuk mampu melampuinya ... tidak lagi tertarik bukan sekedar tidak ingin tertarik birahi. Bukan hanya lobha kamaraga keterlekatan indrawi kamavacara namun juga dosa byapada membenci apapun/ siapapun juga paska realisasi terjaganya diri atas sakkaya-ditthi (delusi akan keakuan), vicikicha (keraguan atas Saddhamma Buddhism karena bukti pencapaian tidak sekedar kepercayaan semata), silabataparamasa (kesadaran kosmik akan kepercumaan kemasan ritual dalam transaksi personal untuk pembebasan > pemantasan? ) yang jelas terbuktikan realisasi magga-phala sotapana dan tegas ditingkatkan sakadagami ... Tinggal 5 samyojana lagi bagi anagami mencapai arahata untuk dilampaui (moha : ruparaga, aruparaga, manna, uddhacca dan avijja) dengan pancamjjhana kusala  & 5 indriya (saddha, viriya, sati, samadhi & panna) dipandang cukup untuk mengatasinya ?
Suddhavasa adalah alam antara paling aman/ pasti? untuk realisasi Nibbana bahkan jika dibandingkan alam dimensi samsarik lainnya (manussa >, surga,> apaya bahkan rupa brahma > arupa brahma ?). Walau di alam manapun upaya Saddhamma tetap perlu dilakukan bukan hanya demi ketertiban dimensi tersebut namun demi evolusi spiritual berikut. (tentu saja sesuai dengan keterbatasan & pembatasannya masing-masing ).    

3. pindapata :  terlampauinya defieiensi ekonomi mandiri & santuti ( dakhina bagi visuddhi arahata  nirodha samapatti ? )
Ada korelasi kosmik yang berkaitan dengan kualitas persembahan dalam desain kaidah kosmik ini .... perlakuan baik/ buruk tidak sekedar berkaitan dengan tindakan semata namun juga kualitas spiritual pemberi dan penerima. Walau tiada maksud memperbandingkan, kebaikan kepada yang suci/baik akan membawa manfaat anugerah besar demikian juga keburukan kepadaNya akan mengakibatkan mudarat musibah berat dibandingkan kepada yang biasa, buruk dst. Level aktual bukan sekedar label formal
semoga para Bhante dengan metta karuna melayakkan kesucian/kebaikan diri sebagai ladang subur penerima kebajikan demi umat dan para umat memberikan dana / menyangga dengan sukacitta tidak sekedar demi pamrih duniawi, pahala surgawi ataupun bahkan demi parami pengkondisi namun dengan kewajaran meng-esa & kesadaran anatta ( Taoism weiwuwei = action without actor / acting ?.... just process )

Konsideran di atas semoga tidak di salah-artikan sebagai upaya tersirat "Mara?" (mengumpat/ menghujat 'setan' eksternal typical agama ketimbang cara Saddhamma untuk memandang internal ke dalam lebih dulu ? ... masalah kita adalah asava internal bukan dunia eksternal, lho) untuk menghambat perkembangan Buddha Sasana apalagi  mempercepat kemusnahan Buddhisme Gotama (Sunnakalpa ?). No, Buddhisme sesungguhnya warisan spiritualitas tertinggi yang "(seharusnya tidak hanya?)" bisa dicapai oleh umat manusia di dunia ini untuk mampu terjaga dari mimpi samsara (bahasa duniawinya : kebanggaan/ keunggulan manusia di seluruh alam samsara .... di bawah alam antara sudhavasa anagami, tentu saja). Tampaknya prediksi inferential Buddha tentang Sunnakalpa tidaklah bersifat 'fixed' kuantitatif matematis (5000 tahun untuk masa Buddha sasana Gotama ?) namun lebih bersifat kualitatif ( kefahaman, kesadaran, kecakapan, kewajaran, kelayakan dalam merealisasi ajaran yang tersurat & tersirat ... "daun" simsapa Tipitaka Komplet  & "akar" acinteya bunga Udumbara Saddhamma) ... tanpa menafikan faktor internal (stock kualitas manusia 4 yang tersisa 2 : neyya padaparama , keberadaan Buddha sebagai factor Guru pemandu akurat, etc ) serta  faktor eksternal lainnya ( kemerosotan minat spiritualitas sejati Saddhamma, kecenderungan siklus kejatuhan ajaran : Saddhamma > mistik > lokiya > pseudo > addhamma ,dst).    

Menganalisis sakral kritik  : 
Ini masalah sulit karena berkaitan dengan sakralisasi tradisi ajaran ..... walau penting menentukan namun risih atau riskan diutarakan.

1. irreversible magga phala asekha ? 
See : tabel mandala transendental  (eksistensial nibbana < universal < transendental ) 
Celah keterjagaan adalah celah keterlelapan juga jika arahnya berlainan ( tanazul - taraqqi) : sebagaimana gunung keterjagaan yang didaki demikianlah juga jurang keterlelapan bisa menjatuhkan. Keterjagaan Nirvanik nantinya akan terrealisasi jika kemelekatan akan keterlelapan samsarik terlepaskan (via taraqqi proses kelayakan peniscayaan) sebagaimana keterlelapan samsarik dahulunya terjadi  (tanazul azaliah : avijja - mana - tanha dst). misalnya panna menjadi avijja,  anatta menjadi mana , metta karuna menjadi tanha sneha , etc.  Keabadian terus berlangsung hingga saat ini sejak keazalian yang tidak diketahui lagi bukan hanya awalnya namun juga akhirnya  menunjukkan bahwa desain ini bukan hanya dinamis (tdk statis / permanen) namun juga tertata suci transenden (eksistensial < universal < transendental) tidak hanya liar immanen .
tentang : Mistake of Mystics = Spiritual Materialism ? /see : Chogyam Trungpa - posting blog lalu/
Konsistensi  keberlanjutan Keterjagaan bukan sekedar telah pernah "merealisasi" Pembebasan  (kebebasan perayaan untuk terlelap lagi bahkan kesewenangan samsarik?   ) .......   Levelling forever not jut labelling. 
Lagipula banyak mistisi yang terjebak mengidentifikasikan lereng pencapaiannya sebagai 'puncak' pencerahan untuk dilegitimasikan  (pengakuan publik ) walau bisa jadi bukanlah Magga Phala namun 'hanya' pencapaian Jhana lokiya bahkan ternyata hanya  bhavanga atau bahkan halusinasi reflektif keinginan diri semata ?.
Well, tetaplah merendah walau dalam ketinggian dan jangan meninggikan jika masih rendah .... Anatta bukan atta, tetap wajar meng-esa bukan heboh meng-aku. (Itu urusan impersonal pribadi diri dengan Realitas kosmik .... atau konsultasikan dengan guru spiritualnya sendiri jika punya).  Diluaran perlunya kita baik dan tidak mengacau .... masalah sudah berlevel suci atau apapun itu tak perlu diekspose ke publik  ... orang lain tidak butuh bahkan bisa jadi malah justru risih/ kesal karena kekonyolan  ego atau kekurang-pantasan etika sosial bertenggang-rasa tsb ? (atau ingat ... tanggap akan paradoks intuitif : menyatakan rendah hati sesungguhnya  justru menunjukkan ketinggian hati yang tersirat demikian juga dengan pengakuan 'kemuliaan'  diri lainnya )
Dikarenakan begitu dalam/halusnya Saddhamma, Buddha Gautama sesungguhnya tampak lebih memilih untuk hanya menjadi paccekka walau tahu Dhamma yang ditembusnya bukan hanya tidak tercela namun bahkan sangat berguna. Namun karena saran ?/ permohonan ( x perintah) semesta yang diwakili Brahma Sahampati maka Beliau mengamati/  menyadari kemungkinan tercerahkannya juga lainnya sehingga kemudian bersedia membabarkanNya demi pencerahan dan kesejahteraan semua makhluk sebagai realisasi adhitthana Bodhisatta semula  . Well, tiada niatan menegakan ego pengakuan apalagi mengibarkan bendera kepentingan bagi dirinya sendiri & pengikutn/pendukungnya.   Hanya demi  aktualisasi welas asih Sammasambuddha tanpa defisiensi pengakuan / kepentingan apapun ( Apa artinya/gunanya kesemuan & keliaran samsarik yang memperdayakan dilakukan demi kejatuhan dibandingkan keberdayaan pencerahan & kebebasan nirvanik  yang telah dicapai untuk dijaga ?) 
Ah ... ini aja cara awam truth seeker padaparama luar sasana untuk mempermudah wawasan pemahaman/tataran kesadaran True Seeker Neyya Buddha Savaka : Dialog empati dengan Buddha Rupang. .       .............................................................

2. pemujaan keIlahian Buddha ? ( See : Internal critics Bhante Punnaji & Bhante Pannavarro di atas )
posting lalu :   Ariya Buddha sebagai personal god ?  
Hakekat KeIlahian: Level KeIlahian ?(advaita  transenden dvaita  immanen: Buddha ?- Brahma – Dewata – Asura -Atta ?) 
Moksha mysticism sant mat  Dimensi Ilahiah : Alakh Niranjan- Brahm - Par Brahm - sohang- sat purush (Anenja Brahma ?)
Buddhism : Brahmajala sutta , kasus Brahma Baka , etc. 
Buddha terjaga akan keakuan samsarik bahkan jikapun beliau lebih berhak menjadi cakkavati atas seluruh samsara ini (bukan hanya dunia karena bukan hanya jhana 1 & 2 bahkan jhana 8 atau 9 ? sudah beliau realisasi juga, Brahma Baka)  daripada lainnya (kualifikasi Brahma sd imaginasi atta).So, kami  berani bertaruh (ketahuan mantan penjudi juga, ya?) Dia tidak akan terjebak untuk tersekap dalam permainan samsarik lagi .....Beliau bukan hanya telah mantap mencapai nibbana keterjagaan transendensi eksistensialNya namun juga kebijaksanaan menyadari dimensi transendensi Dhamma Universal  & kesaksian dimensi transendensi transendental ajatan abhutan dalam transendensiNya) ... anatta bebas dari keakuan internal  apalagi dari  pengakuan eksternal.
Magga phala tidak irreversible karena bagaimana mungkin ada keterlelapan samsara jika puncak awalnya adalah keterjagaan Nibbana ( yang kemudian  telah dicapai dalam keterjagaan kembali ?) 
Bahkan okelah ... jikapun kemudian beliau jatuh juga (karena misidentifikasi, "pseudo" aktualisasi" etc ? ), jangan lakukan kebodohan ketidak-pantasan  dengan pembodohan mengharapkan/ mengusahakan kejatuhan yang terjaga untuk kembali tertidur nyenyak bermimpi indah & megah agar bisa di-eksploitasi ?! = pembodohan karena kebodohan eksternal atau kebodohan karena pembodohan internal ? ..... untuk semakin menjatuhkan /saling menyesatkan  terhadap saddhamma ? ) ... tegakah/sukakah  menjadikan Sang Ariya menjadi (maaf ... dalam kesetaraan mandala Ke-Esa-an sesungguhnya tidak layak ada perbandingan / peninggian yang satu & perendahan lainnya ) berlevel asura, dewata atau bahkan Brahma sekalipun ? (Walau sesungguhnya kebalikannya yang lebih mungkin terjadi karena bukan Buddha yang terjatuh namun .... maaf ... justru savakaNya. )  
Tuhan bukanlah bemper kebodohan/kemanjaan diri, media katarsis psikologis /transaksi pencitraan dan kloset pembenaran pemfasikan/ kezaliman kepada lainnya 
Perlu kebijaksanaan universal, keperwiraan eksistensial, dan  keberdayaan transendental dalam spiritualitas.
Demi saddha kebhaktian untuk aktualisasi paedagogis kerendahan-hati universal / harmonisasi andragogis kepantasan eksistensial diri  ..okelah ..Jadikan Buddharupang sebagai media perenungan kualitas keluhuran Buddha untuk diteladani & direalisasi (bukan sebagai mezbah berhala identifikasi kemuliaan  pencitraan eksternal belaka apalagi demi eksploitasi harapan pembenaran kepentingan saja ). 

3. pacceka di sunnakalpa ?
Dhammaniyama sutta  : ada atau tidak ada Buddha , Dhamma tetap ada 
Thus, Pencerahan tetap memungkinkan bagi siapa saja & kapan saja.(plus dimana juga?) ... maaf .... sesungguhnya bukan hanya "monopoli istimewa" Samma Sambudha dan para Ariya SavakaNya saja (plus Buddhist & Buddhism ?)  walau tentu saja untuk merealisasikannya tetap dengan penempuhan / penembusan / Pencapaian ke-Ariya-an dengan  keselarasan , keterarahan dan keniscayaan pemurnian kesejatian atas Saddhamma yang sama bagi semua ( KM4 , JMB 8 , etc ?).  
Tampak provokatif seakan pelaziman kezaliman : claiming wilayah personal (ala buzzer kadrun) ? Don't be childish of being Buddhist. (jangan konyol kekanakan untuk naif apalagi liar sebagai Buddhist)  Lihat senyum agung kearifan & welas asih Buddharupang ... Walau memang memuliakan yang memang mulia adalah kepantasan yang perlu untuk sadar dan tulus dilakukan (demi kebaikan si pelaku sendiri sebetulnya), namun Transendensi sejati (eksistensial, universal, transendental) seharusnyalah tetap mantap berimbang bebas dari keakuan internal apalagi demi pengakuan eksternal . Tanpa niatan memperbandingkan demi tetap menjaga kebaikan sendiri/ bersama agar tetap mennghargai kesetaraan dalam keberagaman, sesungguhnyalah kemurnian tetaplah kemurnian walau dicela - demikian pula ... maaf ...kepalsuan tetap kepalsuan walau dipuja. Kenyataan diutamakan bukan pernyataan. Aktualisasi tindakan tidak sekedar 'pemilikan'? pandangan. Realisasi autentik kelayakan tidak sekedar anggapan kemasan pelagakan . DLL. DST. DSB. Untuk kesekian kalinya .....  just for levelling (to reach) not only? labelling (to claim).  
See tentang Anatta : (kutipan komentar Vlog Bahiya, lagi)
Dari tilakhana, anatta adalah factor krusial pembeda yang membuat Ariya Dhamma ini bukan hanya melingkupi (bisa mencapai) namun juga mengungguli (bisa melampaui) lainnya (lokiya : asura dewata/ anenja brahma ?). Faktor Anicca dalam batas tertentu memang bisa difahami dan dilalui lokiya dhamma (norma duniawi – etika surgawi .. awas /ditthi + tanha/ dan sangat liarnya sensasi kemauan yang bisa menjerumuskan ke Lokantarika paska pralaya 2 ?) , factor dukkha pada level tertentu juga masih bisa disadari dan dicapai anenja dhamma ( unio mystica – pantheistics … awas /mana + avijja/ plus masih naifnya fantasi keakuan dimensi Abhassara untuk menyeret kembali dalam perangkap samsara paska pralaya 4 ? ) namun annata adalah factor penentu yang memungkinkan lokuttara dhamma ini mampu mengaktualisasi kemurnian penempuhan (> defisiensi kepamrihan & pencitraan) secara konsisten meniscayakan ‘peniscayaan/ keniscayaan’ dalam kelayakan realisasi pencerahan transeden (keterjagaan dari keterlelapan mimpi/ delusi samsara ini – keterbebasan ‘esensi murni’ ke-Buddha-an dari cangkang delusi ‘pancupadana khanda’ tanpa kebodohan identifikasi dan eksploitasi pembodohan dari keterpedayaan/ ketersesatan/ keterperangkapan intra-drama pengembaraan semu samsara ini kembali (singgah/pulang) ke ‘rumah sejati’ Nibbana.
Dalam mandala advaita kasunyatan abadi ini sebagaimana samma-panna nibbana yang perlu disadari dan ditembus daya sentrifugal kebijaksanaanNya demikian pula tanha-avijja samsara tampaknya juga perlu difahami dan dilampaui daya sentripetal kecenderungannya. So, sebagaimana harmoni musik peregangan senar kecapi walau viriya (saddha/samvega?) memang diperlukan untuk mensegerakan dan konsisten dalam penempuhan namun tampaknya perlu juga panna kebijaksanaan untuk menjaga keberimbangannya dalam kewajaran harmonisasi eksistensial maupun kesadaran transendensi spiritualnya. 
Singkat kata, Buddhism seharusnyalah tetap selaras dengan/sebagai Saddhamma yang berlaku dan berhasil ditembus Buddha hingga level Kebijaksanaan Eksistensial Transenden Nibbana ( < Kesemestaan Universal Transenden < Kesempurnaan Transendental Transenden ).  Ini pencapaian dimensi samsarik tertinggi 'pribadi' yang (jujur saja) mampu difahami/ diterima sampai sejauh ini dan memang tampak logis & sangat etis mengungguli lainnya.


We have something called as Sanathana Dharma. Sanathan means eternal, timeless. Dharma does not mean religion; Dharma means law. So they were talking about eternal laws which govern life and how we can be in tune with it. Right now, whether you’ve been to school or not, whether you’re a great scientist or not, still right now you’re complying by all the physical laws on this planet. Yes or no? Otherwise you couldn’t sit here and exist. So similarly there are other kinds of laws which are not physical in nature which govern the life process within you. So they identified these things and they said, ‘These are the laws which govern one’s life.’ But over a period of time, every enthusiastic person that came from generation to generation went on adding their own stuff according to the necessity of the day or according to the necessity of the vested interest of the day, in so many ways it’s happened, all kinds and people added many things. But essentially your sanathan dharma is just this. Sanathan Dharma identifies a human being cannot rest, do what you want, you… he cannot rest because he longs to be something more than what he is right now. You cannot stop it. You teach him any kind of philosophy, you cannot stop it. Whoever he is, he wants to be little more than who he is right now. If that little more happens, he will seek little more and little more.
Kami memiliki sesuatu yang disebut Sanathana Dharma. Sanathan berarti kekal, abadi. Dharma tidak berarti agama; Dharma artinya hukum. Jadi mereka berbicara tentang hukum kekal yang mengatur kehidupan dan bagaimana kita bisa selaras dengannya. Saat ini, apakah Anda pernah bersekolah atau tidak, apakah Anda seorang ilmuwan hebat atau bukan, saat ini Anda masih mematuhi semua hukum fisika di planet ini. Ya atau tidak? Jika tidak, Anda tidak bisa duduk di sini dan hidup. Begitu pula ada jenis hukum lain yang tidak bersifat fisik yang mengatur proses kehidupan di dalam diri Anda. Jadi mereka mengidentifikasi hal-hal ini dan mereka berkata, 'Ini adalah hukum yang mengatur kehidupan seseorang.' Tetapi dalam kurun waktu tertentu, setiap orang yang antusias yang datang dari generasi ke generasi terus menambahkan barang-barang mereka sendiri sesuai dengan kebutuhan hari atau sesuai dengan kebutuhan kepentingan hari ini, dalam banyak hal hal itu terjadi, segala macam dan orang menambahkan banyak hal. Tetapi pada dasarnya sanathana dharma Anda hanya ini. Sanathana Dharma mengidentifikasi bahwa manusia tidak dapat beristirahat, lakukan apa yang Anda inginkan, Anda ... dia tidak dapat beristirahat karena dia ingin menjadi sesuatu yang lebih dari dirinya sekarang. Anda tidak bisa menghentikannya. Anda mengajarinya filosofi apa pun, Anda tidak dapat menghentikannya. Siapapun dia, dia ingin menjadi lebih dari siapa dia sekarang. Jika itu sedikit lagi terjadi, dia akan mencari semakin lama semakin lebih .
So if you look at it, every human being unconsciously is longing to expand in a limitless way. So every human being unconsciously is looking for a boundless nature or a limitless possibility or in other words, every human being knowingly or unknowingly has an allergy for boundaries. When you threaten his existence, his instinct of self-preservation will bow… will build walls of you know, protection for himself. The same walls of protection, when there is no external threat, immediately he experiences it as walls of self-imprisonment. So they recognized this and said every human being is longing… limitless. So first thing that you must do, the moment a child becomes reasonably conscious, - the first thing that you must put into a child’s mind is, your life is about mukti, about liberation. Everything else is secondary because the only thing that you’re truly longing for is to expand in a limitless way. There is something within you which can’t stand boundaries. 
Jadi jika dilihat, setiap manusia secara tidak sadar ingin berkembang dalam suatu cara yang tidak terbatas. Jadi setiap manusia secara tidak sadar mencari sifat alami yang tidak terbatas atau kemungkinan yang tidak terbatas atau dengan kata lain, setiap manusia secara sadar atau tidak sadar memiliki alergi terhadap pembatasan. Ketika Anda mengancam keberadaannya, instingnya untuk mempertahankan diri akan tunduk ... akan membangun tembok sebagaimana anda ketahui (untuk) melindungi dirinya sendiri. Dinding perlindungan yang sama, ketika tidak ada ancaman eksternal, dia segera mengalaminya/mensikapinya  sebagai tembok pemenjaraan diri. Jadi mereka mengenali ini dan berkata bahwa setiap manusia merindukan… ketidak-terbatasan. Jadi, hal pertama yang harus Anda lakukan, pada saat seorang anak secara nalar menjadi sadar  - hal pertama yang harus Anda masukkan ke dalam pikiran seorang anak tersebut adalah, Kehidupan Anda adalah tentang mukti, tentang pembebasan. Segala sesuatu yang lain bersifat sekunder karena satu-satunya hal yang Anda benar-benar rindukan adalah berkembang dengan cara yang tiada batas. Ada sesuatu di dalam diri Anda yang tidak tahan akan keterbatasan.
So for this what are things you should do to head in that direction; they set up simple rules. If you do this, this and this, you will naturally move in this direction. You can’t call this a religion, okay? Because this is a place where you’ve been given the freedom - you can make up your own god (?!). 
Jadi untuk ini hal-hal apa yang harus Anda lakukan adalah untuk menuju ke arah itu; mereka membuat aturan sederhana. Jika Anda melakukan ini, ini dan ini, Anda secara alami akan bergerak ke arah ini. Anda tidak bisa menyebut ini agama, oke? Karena ini adalah tempat di mana Anda telah diberi kebebasan - Anda bisa menjadi tuhan Anda sendiri. (?!). 
Use : Googlre Translate (English - Indonesia) https://translate.google.com/
Then ?
Transkrip  Awaken Samadhi Trailer (Uniion Mystics )
AWAKEN SAMADHI TRAILER
(Original Source - Copy Right) https://www.youtube.com/watch?v=dqGdWoW-GT8

If you hold this feeling of “I” long enough and strongly enough the false “I”will vanish, leaving only the unbroken awareness of the real immanent “I” or consciousness itself ~ Sri Ramana Maharshi.
"Jika Anda memegang perasaan 'aku'  ini cukup lama dan cukup kuat, maka 'aku' yang semu akan lenyap, hanya menyisakan kesadaran tak terputus yang nyata, keberadaan imanen 'aku', atau kesadaran itu sendiri." ~ Sri Ramana Maharshi
Samadhi is an ancient Sanskrit word which means Union. It is the union of individual persona, the egoic self with something greater, something unfathomable to the mind. Samadhi is a surrendering, a humbling of Individual mind to the Universal mind. The purpose of Meditation, Yoga, Prayer, Chantings and all Spiritual practices is one and that is Samadhi. In the language of Christian mystics it is humbling oneself before God. Samadhi is realized through what Buddha called the middle way or what in Taoism is called the balance of ying and yang. In the yogic traditions it is called the marriage of Shiva and Shakti.
Samadhi adalah kata Sansekerta kuno yang berarti Persatuan. Ini adalah penyatuan persona individu, diri egois dengan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak terduga bagi pikiran. Samadhi adalah penyerahan, merendahkan pikiran Individu ke pikiran Universal. Tujuan dari Meditasi, Yoga, Doa, Nyanyian dan semua praktik Spiritual adalah satu dan itu adalah Samadhi. Dalam bahasa mistik Kristen, itu berarti merendahkan diri di hadapan Tuhan. Samadhi diwujudkan melalui apa yang disebut Buddha sebagai jalan tengah atau yang dalam Taoisme disebut keseimbangan ying dan yang. Dalam tradisi yoga, ini disebut perkawinan Siwa dan Shakti. 
When Samadhi is perfect, it is wisdom of the great ultimate reality. An understanding of the relationship between form and emptiness, relative and absolute, its a coming into one's true nature. Samadhi begins with a leap in to the unknown.
Ketika Samadhi sempurna, itu adalah kebijaksanaan dari realitas tertinggi yang agung. Pemahaman tentang hubungan antara bentuk dan kekosongan, relatif dan absolut, yang masuk ke dalam sifat sejati seseorang. Samadhi dimulai dengan lompatan ke hal yang tidak diketahui.
In order to realize Samadhi, one must turn consciousness away from all known objects, from all external phenomena, conditioned thoughts and sensations towards consciousness itself. Towards the inner source, the heart of  essence of one's being.
Untuk mewujudkan Samadhi, seseorang harus mengalihkan kesadaran dari semua objek yang diketahui, dari semua fenomena eksternal, pikiran dan sensasi terkondisi menuju kesadaran itu sendiri. Menuju sumber batin, inti dari keberadaan seseorang.
The source of all existence is not a thing or object that one can see like in these physical world we do. It is perfect emptiness or stillness itself. It is the emptiness which is the source of all things.
Sumber dari semua keberadaan bukanlah hal atau objek yang dapat dilihat seseorang seperti di dunia fisik yang kita lakukan ini. Itu adalah keheningan atau keheningan sempurna itu sendiri. Kekosongan itulah yang menjadi sumber segala sesuatu.
This union cannot be understood with the limited individual mind. It is only directly realized when the mind becomes still. There is no Self that awakens. There is just ‘you' that awakens. What you are awakening from is the illusion of the separate self from the dream of the limited ‘you'. The World that now you think you are living in is actually ‘you'. It is your higher self or the selfless self. Annata.... No Self.
Persatuan ini tidak dapat dipahami dengan pikiran individu yang terbatas. Itu hanya disadari secara langsung ketika pikiran menjadi tenang. Tidak ada Diri yang terbangun. Hanya ada 'kamu' yang terbangun. Dari mana Anda terbangun adalah ilusi dari diri yang terpisah dari impian 'Anda' yang terbatas. Dunia yang sekarang Anda pikir Anda tinggali sebenarnya adalah 'Anda'. Itu adalah diri Anda yang lebih tinggi atau diri yang tanpa diri/tidak mementingkan diri sendiri. Tanpa aku ... Tiada diri
Samadhi is so simple that when you are told that what is it and how to realize it, your mind will always miss it because the mind is what needs to be stopped before it is realized. It is not a ‘happening' at all. It is the surrendering of the individual mind to the higher mind or big mind..
Samadhi begitu sederhana sehingga ketika Anda diberitahu bahwa apa itu dan bagaimana merealisasikannya, pikiran Anda akan selalu merindukannya karena pikiran adalah apa yang perlu dihentikan sebelum disadari. Ini sama sekali bukan 'terjadi'. Ini adalah penyerahan pikiran individu ke pikiran yang lebih tinggi atau fikiran besar.
The most important teaching of Samadhi is perhaps found in this phrase:- “Be Still & get Know”.
Pengajaran paling singkat dari Samadhi mungkin dapat ditemukan dalam frase ini: "Diamlah dalam keheningan dan ketahuilah Hal tersebut."
Silence is the language of God. All else is poor translation. - Rumi
(Keheningan adalah bahasa Ilahi. Semua hal lainnya hanyalah 'terjemahan' belaka yang tidak memadai. – Rumi)
How can we use words and images to convey stillness? How can we convey silence by making noise? Rather than talking about Samadhi as an intellectual concept. this film is a radical call to INACTION. A call to stillness. A call to meditation and inner silence. A call to STOP.
Bagaimana kita dapat menggunakan kata atau gambar untuk menjangkau keheningan ? Bagaimana kita dapat menyampaikan keheningan dengan membuat kebisingan ? Film ini ditujukan sebagai suatu panggilan radikal untuk "tanpa-aksi". Suatu panggilan untuk menuju keheningan. suatu panggilan untuk meditasi dan keheningan di kedalaman. Suatu panggilan untuk Berhenti
Stop everything that is driven by the pathological egoic mind. Be still and know.
Hentikanlah segala sesuatu yang dibawa oleh fikiran diri yang sakit. Berdiamlah dan Ketahui
No one can tell you what will emerge from the stillness. It is a call to act from the spiritual heart.
Tidak ada yang bisa memberitahu Anda apa yang akan muncul dari keheningan. Ini adalah panggilan untuk bertindak dari jantung spiritual.
Samadhi is not some mystical 'altered' state of being. It is simply one's natural state of presence, of consciousness unmediated by thought, unmediated by an egoic identity.
Samadhi bukanlah sejumlah tahap perubahan keberadaan yang bersifat mistis. Ini hanyalah keberadaan alamiah kehadiran seseorang. yang kesadarannya tidak terpisahkan oleh fikiran, tidak terpisahkan oleh identitas suatu diri pribadi.
Most of humanity is in an altered state all the time... A state of egoic identification with form and thought. When one is in a state of natural presence and non-resistance, Prana flows more freely through the inner world. This pranic stream which is prior to the nervous system, prior to the senses and thinking,becomes a new interface with reality. Literally a new level of consciousness or new way of being in the world.
Sebagian besar umat manusia dalam keberadaan yang terpisahkan sepanjang waktu … Suatu keberadaan beridentifikasi diri dengan bentuk dan pikiran. Ketika seseorang dalam keadaan kehadiran alamiah dan tanpa tekanan, Prana mengalir lebih bebas melalui dunia batin. Aliran prana ini yang sebelumnya menuju ke sistem saraf. sebelumnya menuju indrawi dan fikiran, menjadi antarmuka baru dengan kenyataan, Secara harfiah suatu tingkat kesadaran yang baru atau cara baru keberadaan di dunia.
It is through the ancient teachings of Samadhi, the humanity will begin to understand the common source of all the religions and to come into alignment once again with the spiral of life …. Great Spirit, Dhamma, or the Tao.
Ini melalui pengajaran Samadhi kuno bahwa umat manusia akan mulai memahami sumber umum dari semua agama dan untuk datang ke dalam keselarasan sekali lagi dengan spiral kehidupan Roh Agung, Dhamma, atau Tao.
Samadhi is the 'gateless gate’ and ‘pathless path' and it is the identification with the self structure which separates our Inner and Outer worlds.
Samadhi adalah 'gerbang tanpa gerbang' dan 'jalan tanpa jalan' dan itu adalah identifikasi dengan struktur diri yang memisahkan dunia Batin dan Luar kita.


Video Chant : Gaiea Sanskrit _ Madalasa Upadesha
Lullaby Song of  Madalasa Upadesha from The Mārkaṇḍeya Purāṇa … 
Kidung Nina Bobo Ratu Madalasa kepada puteranya (Rshi Markandeya) 

Verse 1
śuddhosi buddhosi niraɱjano’si //saɱsāramāyā parivarjito’si// saɱsārasvapnaɱ tyaja mohanidrāɱ// maɱdālasollapamuvāca putram|
Madalasa says to her crying son:// “You are pure, Enlightened, and spotless. //Leave the illusion of the world // and wake up from this deep slumber of delusion”
Madalasa berkata kepada putranya yang menangis: //“Anda murni, Tercerahkan, dan tidak bernoda.// Tinggalkan ilusi dunia dan //bangun dari tidur nyenyak delusi ini "
Verse 2
śuddho’si re tāta na te’sti nāma // kṛtaɱ hi tatkalpanayādhunaiva|//paccātmakaɱ dehaɱ idaɱ na te’sti //naivāsya tvaɱ rodiṣi kasya heto||
“My Child, you are Ever Pure! You do not have a name. //A name is only an imaginary superimposition on you.//This body made of five elements is not you nor do you belong to it.//This being so, what can be a reason for your crying ?”
“Anakku, kamu Selalu Murni! Anda tidak punya nama.// Nama hanyalah lekatan khayal  yang dikenakan pada Anda. // Tubuh yang terbuat dari lima elemen ini bukanlah Anda dan bukan pula milik Anda. // Karena itu, apa yang menjadi alasan Anda menangis? "
Verse 3
na vai bhavān roditi vikṣvajanmā //śabdoyamāyādhya mahīśa sūnūm|//vikalpayamāno vividhairguṇaiste //guṇāśca bhautāḥ sakalendiyeṣu||
“The essence of the universe does not cry in reality. // All is a Maya of words, oh Prince! Please understand this. //The various qualities you seem to have are are just your imaginations, //They belong to the elements that make the senses (and have nothing to do with you).”
“Esensi alam semesta tidak menangis dalam Realitas kenyataan. // Semuanya adalah kata-kata Maya, oh Pangeran! Mohon mengerti ini. // Berbagai kualitas yang tampaknya Anda miliki hanyalah imajinasi Anda, // Mereka termasuk dalam elemen yang membuat indra (dan tidak ada hubungannya dengan Anda). ”
Verse 4
bhūtani bhūtaiḥ paridurbalāni // vṛddhiɱ samāyāti yatheha puɱsaḥ| // annāmbupānādibhireva tasmāt //na testi vṛddhir na ca testi hāniḥ||
“The Elements [that make this body] grow with accumulation of more elements, or//Reduce in size if some elements are taken away //This is what is seen in a body’s growing in size or becoming lean depending upon the consumption of food, water etc. //YOU do not have growth or decay.”
“Unsur-unsur [yang membuat tubuh ini] tumbuh dengan akumulasi lebih banyak unsur,//  atau Kurangi ukurannya jika beberapa elemen diambil  // Inilah yang terlihat pada tubuh yang membesar atau menjadi kurus bergantung pada konsumsi makanan, air, dll.//  KAMU tidak memiliki pertumbuhan atau kerusakan. "
Verse 5
tvam kamchuke shiryamane nijosmin // tasmin dehe mudhatam ma vrajethah| //shubhashubhauh karmabhirdehametat //mridadibhih kamchukaste pinaddhah||
“You are in the body which is like a jacket that gets worn out day by day. // Do not have the wrong notion that you are the body. //This body is like a jacket that you are tied to, // For the fructification of the good and bad Karmas.”
“Anda berada di dalam tubuh yang seperti jaket yang semakin hari semakin aus. // Jangan salah paham bahwa Anda adalah tubuh. // Tubuh ini seperti jaket yang diikat, // Untuk fruktifikasi dari karma baik dan buruk. "
Verse 6
tāteti kiɱcit tanayeti kiɱcit // aɱbeti kiɱciddhayiteti kiɱcit| // mameti kiɱcit na mameti kiɱcit //tvam bhūtasaɱghaɱ bahu ma nayethāḥ||
“Some may refer to you are Father and some others may refer to you a Son or //Some may refer to you as Mother and some one else may refer to you as Wife. // Some say “You are Mine” and some others say “You are Not Mine” // These are all references to this “Combination of Physical Elements”, Do not identify with them.”
“Beberapa mungkin menyebut Anda adalah Ayah dan beberapa lainnya mungkin merujuk Anda sebagai Putra atau // Beberapa orang mungkin menyebut Anda sebagai Ibu dan beberapa orang lain mungkin menyebut Anda sebagai Istri.//  Beberapa orang mengatakan "Kamu adalah milikku" dan beberapa lainnya mengatakan "Kamu bukan milikku"//  Ini semua adalah referensi ke "Kombinasi Elemen Fisik", Jangan identifikasi dengannya. "
Verse 7
sukhani duhkhopashamaya bhogan //sukhaya janati vimudhachetah| // tanyeva duhkhani punah sukhani //janati viddhanavimudhachetah||
“The ‘deluded’ look at objects of enjoyment,  // As giving happiness, by removing the unhappiness. // The ‘wise’ clearly see that the same object // Which gives happiness now will become a source of unhappiness.”
“Pandangan yang 'tertipu' pada objek kenikmatan, // Seperti memberi kebahagiaan, dengan menghilangkan ketidakbahagiaan. // Orang 'bijak' dengan jelas melihat objek yang sama // Yang memberi kebahagiaan sekarang akan menjadi sumber ketidakbahagiaan. "
Verse 8
yānaɱ cittau tatra gataśca deho // dehopi cānyaḥ puruṣo niviṣṭhaḥ| // mamatvamuroyā na yatha tathāsmin // deheti mātraɱ bata mūḍharauṣa|
“The vehicle that moves on the ground is different from the person in it //  Similarly this body is also different from the person who is inside! // The owner of the body is different from the body. // Ah how foolish it is to think I am the body!”
“Kendaraan yang bergerak di tanah berbeda dengan orang di dalamnya // Demikian pula tubuh ini juga berbeda dengan orang yang ada di dalam! // Pemilik tubuh berbeda dengan tubuh. // Ah betapa bodohnya menganggap aku adalah tubuh! "
just  image
Sanskrit : śuddhosi buddhosi niraɱjano’si //saɱsāramāyā parivarjito’si// saɱsārasvapnaɱ tyaja mohanidrāɱ// 
English : “You are pure, Enlightened, and spotless. //Leave the illusion of the world // and wake up from this deep slumber of delusion”//
Indonesian :“Anda murni, Tercerahkan, dan tidak bernoda.// Tinggalkan ilusi dunia dan //bangun dari tidur nyenyak delusi ini "
S (Sk) : Maɱdālasollapamuvāca putram|
E (Eng) : Madalasa says to her crying son://
I (Ina) : Madalasa berkata kepada putranya yang menangis:

Then ?
Sekilas sebagai seeker, kita memahami alur gnosis mystic di atas. Paska Bahasan Gnosis Anatta Saddhamma Buddhisme pada blog sebelumnya, berikut kita menggunakan referensi Sanatana Dhamma Mystics sebagai pijakan referensi awalnya. Secara filosofis & psikologis sebagai kebijaksanaan Orientasi Universal dengan tanpa menafikan akan aktualisasi/ harmonisasi eksistensial dalam keberadaan personal,(walau kami bisa saja tidak benar,(malah salah atau disalahkan ?)- namun kami tetap konsisten dengan kaidah theosofi panentheistik daripada kesadaran kaidah pandangan theologi monistik pantheisme tersebut ataupun kewajaran theodice akidah risalah monotheistik umumnya sebagai sikap yang tepat agar tetap senantiasa true, humble & responsible baik dalam pengetahuan maupun penempuhan sebagai jalan tengah yang menyeluruh untuk tidak jatuh dalam identifikasi (imaginasi?) ataupun eksploitasi (manipulasi?) yang bisa jadi akan menggoyahkan keseimbangan dan mengacaukan keberimbangan dalam keseluruhannya. 
(cukup tanggap atau perlu bahasan lanjut berikutnya? .... ada transenden Hyang Mutlak > //baca: yang lebih besar/Maha agung atau tidak sekedar/ hanya sebatas // laten deitas immanenNya).... Aktualisasi meng-Esa tanpa keakuan bukan defisiensi meng-aku dengan ke-Esaan (B-love > D-love, Maslow ?).

KRITIK RELIGI
 
Kritik agama ? Hehehe .... nggak berani, bro. Dikira penistaan agama, lho. Untuk Saddhamma Budhisme & Pantheisme Mystics saja masih sungkan & riskan. Namun kami harap anda cukup tanggap arah idea paradigma gnosis kosmik panentheisme ini yang walau tidak tegas tersurat namun jika tanggap tetap jelas tersirat.
Jangan salah sangka ... kami tidak pernah anti dhamma (bahkan juga pandangan addhamma sekalipun) . Agama diperlukan di tataran eksistensial untuk ketertiban kosmik duniawi (+ ukhrowi) . Mistik diperlukan untuk penempuhan universal (kaidah kasih sesama & pemurnian energi in motion batin mutlak diperlukan ... jumbuhing karep > manunggaling kawulo gusti ?) . Finally, Saddhama perlu diperhatikan demi transendensi spiritual (kaidah 'anatta' dari nama rupa khanda demi pencerahan kebijaksanaan esensi murni) .
Well, bukan hanya tanha (pengumbaran kemauan 'karep') tetapi mana (pembanggaan keakuan 'anggep) penyebab kita sering semu, naif & liar dalam membadut dalam permainan peran samsarik selama ini ... avidya /ketidak-tahuan atau ketidak mau tahuan atau ketidak-mampu tahuan ?./ 
kegeden anggep kakehan karep (jw) = terlalu besar keakuan , terlalu banyak kemauan

kutipan : 3b) (Membicarakan soal Kebenaran dan Agama.docx). 

INPUT BLOG 1/G-DRIVE/Membicarakan soal Kebenaran dan Agama.docx

Membicarakan soal kebenaran dan agama, saya teringat sebuah kisah jenaka yang dituturkan oleh Anthony de Mello SJ. Kisahnya begini:
Pada suatu hari setan berjalan-jalan dengan seorang temannya. Mereka melihat seseorang membungkuk dan memungut sesuatu dari jalan.
“Apa yang ditemukan orang itu?” tanya si teman.
“Sekeping kebenaran,” jawab setan.
“Itu tidak merisaukanmu?” tanya si teman.
“Tidak,” jawab setan.
“Aku akan membiarkan dia menjadikannya kepercayaan agama.”
Pada akhir pengisahannya, mendiang Anthony de Mello menambahkan: Kepercayaan agama merupakan suatu tanda, yang menunjukkan jalan kepada kebenaran. Orang yang berpegang kuat-kuat pada petunjuk jalan itu, tidak bisa berjalan terus menuju kebenaran. Sebab, ia mengira sudah memilikinya.
Nah...sekarang bagaimana dengan kita, dengan Anda dan saya? Apakah Anda sudah merasa memiliki kebenaran itu, sehingga tak boleh ada kebenaran lain —walaupun sebetulnya lebih tinggi, lebih halus dan lebih mendalam— ketimbang yang Anda klaim sebagai milik Anda itu? Saya rasa kita tak mau sedungu itu bukan? Tak mau hanya jadi kelinci percobaan dan bahan ejekan dari setan dan temannya itu bukan?
Waspadalah dalam  idea berpandangan, gaya berpribadi dan cara berprilaku … bisa jadi apa yang kita puja sesungguhnya adalah yang kita cela, yang kita jauhi justru  yang sedang kita tuju . Segalanya terniscayakan sesuai akumulasi level kelayakann  impersonalya bukan karena harapan label kepercayaan & keinginan personal belaka. Ini berlaku semua bukan hanya untuk loka dhamma, lokiya dhamma namun juga bagi lokuttara dhamma.  (prinsip dhatu kesesuaian > saddha kepercayaan )

KUTIPAN  : See :  apa itu kebenaran  Bhante Pannavarro.
Lim, kalau kamu bertanya dan mencari kebenaran, kebenaran itu persis seperti panasnya lampu minyak yang barusan kamu rasakan. Ada namun tidak terlihat, terasa namun tak dapat digenggam, mengelilingimu dengan cahayanya namun tak dapat kamu miliki, semua orang merasakan hal yang sama, melihat pancaran lampu tersebut, namun saat ingin dimiliki atau disentuh dia tak tersentuh, namun dapat dilihat dan dirasakan, itulah kebenaran. 
Kebenaran itu universal Lim, milik penciptanya dan segenap dunia ini, namun saat kebenaran ingin dimiliki oleh satu orang saja atau satu kelompok saja, dia akan langsung menghilang tak berbekas, karena kebenaran itu untuk disadari, dijalani bukan untuk dimiliki oleh makhluk yang Annica ( Tidak kekal) ini, makhluk yang Lobha ( Serakah) ini, makhluk yang penuh Irsia ( Iri hati) ini, makhluk yang penuh dengan Moha ( Kebodohan) ini dan bukan pula punya makhluk yang penuh dengan Dosa (Kebencian) ini. Disaat sebuah kebenaran sudah di klaim oleh orang lain atau hanya milik sebagian kelompok saja, maka kebenaran tersebut akan berubah menjadi pembenaran, menurut dirinya sendiri, menurut maunya sendiri, menurut nafsunya sendiri. 
Jadi Lim anakku, berjalanlah diatas kebenaran, lakukanlah yang benar benar, namun jangan sekali kali muncul keinginan untuk memiliki kebenaran yang universal tersebut, karena kebenaran itu universal tidak dapat dimiliki oleh siapapun kecuali Sang Pencipta kebenaran itu sendiri. 
semoga dapat dipahami dan semoga semua makhluk berbahagia lepas dari penderitaan selamanya, Sadhu sadhu sadhu..

Memiliki peta sebenar apapun tidak serta merta kita sudah tiba di sana.

Kumārapañhā (1) -- Tanya-jawab di 1:28:25
https://www.youtube.com/watch?v=z1mMrR6Fwj8 Teguh Kiyatno 2 bulan yang lalu (diedit)
komentar vlog 
Anumodana , Bhante Santacitto dan DBS atas pembahasan mendalam lintas sutta plus kitab komentar tentang kumarapanha sutta cukup mengesankan dan sangat menegaskan kebulatan desain atas kandungan kompleks paradoks konsep terminologis ahara 4 (yang ternyata tidak sedangkal verse sutta seperti yang kami perkirakan sebelumnya). Kebijaksanaan transedental dalam faktisitas keterlibatan eksistensial tanpa perlu kemelekatan esensial khas Buddhisme kembali menunjukkan keunggulan klasnya yang walau tetap meliputi namun mampu melampaui delusi permainan konsep samsara ini. Buddha dan Buddhisme sungguh merupakan figure dan system yang sangat unik dan menarik. Buddha tanpa menafikan factor mistik parami dan level tihetuka pugala bawaannya secara genius mampu memanfaatkan keberadaan mediocre sugati-dugati alam dunia sebagai manusia dengan mampu men-triangulasi pengetahuan/pengalaman , merealisasi pencapaian/penembusan dan memformulasi kaidah paradigma yang bukan hanya terbuka (untuk realisasi pembuktiannya) namun juga terjaga ( dalam konsistensi kebenarannya ) jika telah difahami secara utuh dengan benar, bijak dan tepat. Besar harapan kami pada saat mendatang Alagaddupama sutta (sutta ular air) juga dibahas mengingat bukan hanya memahami idea pandangan benar namun juga cara mensikapi pandangan secara benar adalah kemutlakan yang perlu dijalani dalam selancar penempuhan lokuttara dhamma ini. Sehingga saddha (kebijaksanaan pandangan awal bagi realisasi pembuktian tidak sekedar sanna pembenaran indoktrinasi ‘blind faith’) yang dibangun sebagai pondasi pada JMB 8 dapat teraplikasi tumbuh berkembang berkelanjutan dalam Panna kesejatiannya (pra & paska pencerahan) serta terhindari kekonyolan eksternal militansi – fanatisme primordial, pembenaran eksploitasi identifikatif yang cenderung terjadi pada religi/mistik yang masih (sudah / memang?) berada di level lokiya dhamma.
ALAGADHUPAMMA SUTTA :
Well, Dhamma bukanlah ular berbisa simbol identifikasi/arogansi & sarana eksploitasi/ intimidasi bagi kebodohan internal diri sendiri & untuk pembodohan eksternal lainnya. (Waspadalah bukan hanya kemungkinan brain-washed dari logical / ethical fallacy sebagai pseudo /lokiya dhamma dalam pengetahuan/ penempuhan namun mungkin juga miccha ditti 62 brahmajala sutta dalam labirin penembusan/ pencapaian )
Fahami yang tersirat tidak hanya yang tersurat..

Fanatisme vs Saddha
Wedyanto Hanggoro
Ini adalah salah satu topik yang dalam aplikasinya masih sangat rancu. Kerancuan itu dapat terjadi karena batas diantara keduanya sangat tipis, namun bila yang satu menuju ke sebuah kebaikan maka yang lainnya akan memberikan sebuah kerugian besar. Tulisan ini didasarkan pada sabda-sabda Sang Buddha sebagaimana tercantum di dalam kitab suci Tripitaka namun dengan bahasa yang sederhana sesuai kapasitas pemahaman pribadi saya.
Keyakinan yang dinamakan Saddha, adalah iman atau kepercayaan yang berdasarkan kebijaksanaan. Keyakinan dalam ajaran Sang Buddha bukan berdasarkan atas rasa percaya semata atau bahkan rasa takut, tapi keyakinan yang didasarkan atas aebuah penyelidikan (ehipassiko). Kegembiraan tidak akan pernah dirasakan oleh mereka yang hanya memiliki keyakinan yang didasari atas rasa takut atau karena kepercayaan yang membuta. Karena sesungguhnya kegembiraan itu hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki pengertian benar dan kebijaksanaan. Seperti yang diungkapkan oleh Sang Buddha bahwa seseorang yang bermoral dan berwatak baik akan belajar bahwa demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa yang mematahkan kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru . Setelah ia sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup ini, lalu berpikir untuk melaksanakannya sendiri (Puggala-Pannatti, III, 1). Sariputra (salah seorang siswa utama Sang Buddha) juga mengungkapkan bahwa keyakinan yang baik itu harus diuji dengan mengendalikan indra. Dengan keyakinan ini, semangat, kesadaran, konsentrasi, dan kebijaksanaan berkembang terus menerus. “Sebelumnya aku hanya mendengar hal-hal ini, sekarang aku hidup dengan mengalaminya sendiri. Kini dengan pengetahuan yang dalam aku menembusnya dan membuktikan secara jelas” (Samyutta Nikaya . V, 226).
Setelah melihat uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa Saddha adalah sebuah keyakinan yang didasarkan atas sebuah penyelidikan dengan pengertian yang benar serta penuh kebijaksanaan. Iman semacam itu dikategorikan sebagai iman yang rasional (akaravati-saddha). Sebuah iman yang dewasa tentu saja akan berbeda dengan iman yang kekanak-kanakan atau membuta. Iman yang kekanak-kanakan atau membuta inilah yang dikenal sebagai Fanatisme. Sang Buddha juga pernah menyampaikan bahwa seseorang yang kuat dalam keyakinan tetapi lemah dalam kebijaksanaan akan memiliki keyakinan yang fanatik dan tanpa dasar. Sedangkan seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tetapi lemah dalam keyakinan akan mengetahui bahwa ia bersalah jika berbuat kejahatan, tetapi sulit untuk menyembuhkannya bagaikan seseorang yang penyakitnya disebabkan oleh si obat sendiri. Bila keduanya seimbang, seseorang akan memiliki keyakinan hanya bila ada dasarnya (Visuddhimagga. 129).
Dalam Brahmajala-sutta tercatat bagaimana Sang Buddha mengajarkan siswanya agar bersikap kritis terhadap penganutan agama Buddha sendiri: “Para Bhikkhu, jika ada orang berbicara menentang aku, atau menentang Dharma atau menentang Sangha, janganlah karena hal itu engkau menjadi marah, benci, atau menaruh dendam. Jika engkau merasa tersinggung dan sakit hati, hal itu akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika engkau merasa jengkel dan marah ketika orang lain mengucapkan kata-kata yang menentang kita, bagaimana engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau salah?… Jika ada orang yang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau Dharma atau Sangha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini atau itu, tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak diketemukan di antara kami dan bukan pada kami. Sebaliknya pula, Bhikkhu, jika orang lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sangha, janganlah karena hal tersebut engkau merasa senang atau bangga atau tinggi hati. Jika engkau bersikap demikian maka hal itu itu pun akan menghalangi perjalanananmu sendiri mencapai kemenangan. Jika orang lain memuji Aku, atau Dharma atau Sangha, maka engkau harus membuktikan kebenaran dari apa yang diucapkan dengan menyatakan berdasar hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian terdapat di antara kami, ada pada kami” (Digha-Nikaya. I, 3).
Setelah membaca semua sabda-sabda Sang Buddha di atas, apa yang sekarang muncul di dalam benak anda sekalian? Bagi saya pribadi, ajaran Sang Buddha lebih menitik-beratkan pada pengembangan religiusitas mental dan batin kita ketimbang sebuah keberAGAMAan. Sebagaimana dikatakan oleh Bodhidharma, bahwa Buddha tak dapat ditemukan dalam kitab suci. Ia mengajarkan untuk melihat ke dalam hati kita sendiri dengan kesadaran dan kesucian yang sempurna, karena di situlah kita akan bertemu dengan Buddha. Mungkin banyak diantara anda yang sering melihat orang-orang di sekeliling anda yang kuat menganut agamanya secara lahiriah, tapi tidak seiring dengan perkembangan religiusitas mental dan batinnya. Orang bisa saja sangat taat beribadah, namun di dalam rumahnya ia menyiksa istrinya dan di luar rumahnya ia seorang lintah darat. Boleh jadi orang gigih menganut agama dengan motivasi tertentu seperti dagang, karier atau tuntutan calon mertua. Orang yang militan dalam kegiatan organisasi agama, namun mengobarkan kebencian dan permusuhan, tidak peduli dengan kesulitan orang lain, tidak jujur, tidak adil, tentunya tidak religius. Sebaliknya ada orang yang tidak begitu cermat menaati aturan agama (bukan mengenai nilai moral yang universal) atau bahkan ia juga tidak mengenal agama sama sekali, namun ia cinta pada kebenaran, lurus, tidak munafik, tidak egois, tidak serakah dan suka menolong, maka ia bisa disebut religius.
Jadi sekarang pilihan berada di tangan anda. Karena sesungguhnya Sang Buddha sudah membabarkan secara lengkap dan sempurna mengenai perbedaan antara Saddha & Fanatisme. Artikel ini sendiri bersumber dari tulisan Bapak Khrisnanda Wijaya-Mukti dalam bukunya yang sangat indah dan berjudul “Wacana Buddha-Dharma”. Buku tersebut dan juga nasehat mama saya, telah sangat banyak membantu saya keluar dari kesalahan pandangan saya sebagai seorang siswa Sang Buddha. Saya sendiri mengenal Buddha-Dharma pada tahun 1997 (kemudian menerima Tisarana & Pancasila pada tahun yang sama). Namun bukan kedamaian yang saya temukan akan tetapi “debat kusir” yang tak perlu serta berkepanjangan dengan famili dan para sahabat yang kebetulan non-Buddhis. Puncaknya adalah tahun 2003, saat saya mendapat kesempatan menjadi seorang Dharmaduta, karena pada saat itu saya justru lebih banyak melakukan ADharma (dengan cara melakukan musavada tentang keyakinan-keyakinan selain Buddhis kepada para umat). Nasihat mama saya pun hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Tahun 2004 saya mendapatkan buku yang sangat berharga itu, yang juga kemudian menyadarkan saya akan kebenaran nasehat mama saya selama ini. Seperti Angulimala, saya akhirnya membuang “pedang” saya dan menggantinya dengan sebuah teratai kebenaran. Keindahan lain yang saya rasakan adalah saat saya bisa mengenalkan Buddha-Dharma kepada rekan-rekan non-Buddhis, karena kini saya datang kepada mereka dengan kedamaian
Teman-teman sekalian, jadikan Buddha-Dharma sebagai pembebasmu dan bukan sebagai belenggumu, karena sesungguhnya Sang Buddha pun juga sudah menguraikan bahwasanya kebanggaan (beragama Buddha) juga adalah salah satu penghalang kita dalam mencapai kemenangan (Nibbana). Selamat berbuat kebajikan dan semoga semua mahkluk selalu hidup berbahagia, Saddhu.
(sumber: Buku Wacana Buddha-Dharma karya Bapak Krishnanda Wijaya-Mukti)
Orientasi etika kosmik universal Swadika Paccekka untuk semuanya

see : 
Dalam sebuah wawancara dengan seorang tokoh renovator teologi pembebasan Amerika Latin asal Basil, Leonardo Boff, tokoh spiritual Budha dan pemenang nobel perdamaian serta penulis banyak buku, Dalai Lama, ditanya tentang "agama apa yg terbaik di dunia ini?"
Pertanyaan itu disampaikan Leonardo dalam sesi reses pada sebuah diskusi tentang agama dan kebebasan. Dan dengan sadar, pertanyaan agak nakal disampaikan Leonardo. "Saya kira dia akan menjawab, tentu saja Budha dari Tibet atau agama-agama timur yang usianya lebih tua dari Kristianitas," pikir Leonardo.
Mendengar pertanyaan itu, Dalai Lama berhenti sejenak sambil tersenyum, menatap langsung ke mata Boff dan secara mengejutkan menjawab pertanyaan-pertanyaan sambil tersenyum, "Agama terbaik adalah yang lebih mendekatkan Anda pada Cinta (TUHAN), yaitu agama yang membuat Anda menjadi orang yang lebih baik."
Leonardo Boff, tokoh Teologi Pembebasan asal Brasil Sambil menutupi rasa malu, Boff yang merasa bahwa pertanyaan itu cukup nakal bertanya lagi, "Apakah tanda agama yang membuat kita menjadi lebih baik?"
"Agama apa pun yang bisa membuat Anda Lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggungjawab, lebih beretika, agama yang punya kualitas seperti yang saya sebut adalah agama terbaik," ujar Dalai Lama.
Leonardo Boff terdiam sejenak dan terkagum-kagum atas jawaban Dalai Lama yang bijaksana dan tidak dapat dibantah.
Selanjutnya, Dalai Lama berkata, "Kawan, tak penting bagi saya apa agamamu, tak peduli Anda beragama atau tidak.Yang betul-betul penting bagi saya adalah perilaku Anda di depan kawan-kawan Anda, di depan keluarga, lingkungan kerja, dan dunia."
Dalai Lama melanjutkan, "Ingat, alam semesta akan menggaungkan apa yang sudah kita lakukan dan pikirkan. Hukum aksi dan reaksi tidak eksklusif hanya untuk ilmu fisika, melainkan juga untuk hubungan antarmanusia. Jika saya berbuat baik, akan menerima kebaikan. Jika saya jahat, maka saya pun akan mendapatkan keburukan yang sama."
Menurut Dalai Lama, apa yang sudah disampaikan kakek moyang kita adalah kebenaran murni. "Anda akan mendapatkan apa saja yang Anda inginkan untuk orang lain. Dan menjadi bahagia bukanlah persoalan takdir, melainkan pilihan," tegas Dalai Lama.
Akhirnya, Dalai Lama berkata,
Jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu
Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu
Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu
Jagalah kebiasaanmu, karena akan membentuk karaktermu
Jagalah karaktermu, karena akan membentuk nasib/kammamu
Jadi nasib/kammamu berawal dari pikiranmu...
dan tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran,"ujar sang guru.
evolusi pribadi &    harmoni dimensi 

Kutipan lengkap komentar vasala  :  DATA 01022021/PRIOR/KOMENTAR VLOG TQ SD 13012020 LAGI.pdf  p.12 
semua sama peran sebagai manusia (karma = taqwa) 
Khotbah tentang Paria (1) -- Tanya-jawab di 01:01:10
Anumodana Bhante Ashin Kheminda & Happy Anniversary DBS. Terima kasih sangat mengapresiasi & bermudita kembali atas aktualisasi kusala parami dhammadesana via media youtube ini. Banyak referensi dan refleksi atas kajian hingga saat ini. Semoga jika tidak memampukan kesegeraan realisasi (plan A) masih memungkinkan peningkatan kualifikasi (plan B) setidaknya pemantapan orientasi (plan C) bagi para penempuh Saddhamma ini untuk waktu selanjutnya.
"1:00:01" kalimat penutup ini sangat mengesankan dan cukup melegakan saya. Semula saya memperkirakan pembabaran Dhamma dengan gaya agama walau akan memperkuat kemantapan eksistensialnya namun cenderung akan memperlemah keterarahan transendentalnya. Papanca kecenderungan defisiensi pembenaran kepentingan via identifikasi untuk eksploitasi lokadhamma bisa menyimpangkan kemurnian pergerakannya. Tetap realistis tidak opurtunis (karena walau samsara ini delusif namun tidak terlalu chaotik ... Niyama Dhamma yang Impersonal Transenden cukup kokoh menyangga permainan "abadi" nama rupa di samsara ini ... perlu keselarasan, keberimbangan dan kebijaksanaan untuk tidak perlu melakukan penyimpangan, pelanggaran bahkan penyesatan yang akan menjadi bumerang kelak ... kemurnian diutamakan tidak sekedar "kelihaian" ). Buddhisme adalah Dhamma penempuhan yang mengutamakan keberdayaan autentik bukan agama penganutan yang mendoktrin kepercayaan fanatik. Saddha adalah awal keterbukaan untuk penempuhan bagi pembuktian kebenarannya (bukan hanya karena memang telah tercapainya Ariya magga namun dampak by product kedewasaan dan keberkahan yang didapatkannya dalam perjalanannya). Untuk penempuhan hingga pencerahan sangat diperlukan bukan hanya kebenaran idea pandangan, namun juga cara pensikapan , arah penempuhan dan mode pengarahan yang tepat dan layak hingga tujuannya. Semoga dengan ini kekhawatiran/keprihatinan alm YM Bhante Punnaji tidak (segera?) terjadi.
Be realistics to realize the real … level to reach > label to claim 

PENCAPAIAN
karena kelayakan kualitas akumulatif  untuk level evolusi & demi kebaikan maqom dimensi tujuan 
PENCAPAIAN AGAMA : kamavacara ? level kualitas hanya baru amal eksistensial 
dijanjikan jannah dipastikan barzah ? karena kelayakan kualitas evolusi & demi kebaikan dimensi tujuan dimensi eteris petta asura juga perlu orang 'baik' yang bisa dilayani keliaran obsesi kelekatan pengharapan/ penganggapannya  , dimensi astral surga perlu orang 'arif' untuk 'dilayani' kenaifan sensasi kebahagiaannya  , dimensi kausal triloka perlu orang 'suci' untuk 'dilayani' kesemuan fantasi kemurnian keilahianan dirinya 
PENCAPAIAN MYSTICS : brahmanda ? level kualitas energi batin mampu terarah universal 
dituju keilahian didapat 'layanan' sensasi & fantasi kemanunggalan Ilahiah yang masih semu dalam suddhavasa , naif dalam keterlelapan anenja bahkan bisa liar kembali samsarik abhassara untuk eksistensial  
PENCAPAIAN SADDHAMMA : lokuttara ? level kualitas esensi impersonal sudah mulai terjaga transendental 
dituju keesaan  advaita didapat baru ke'buddha'an ariya nibbana ( zarah diri pribadi < kaidah alam semesta< wihdah sentra segalanya .... faktisitas asymptot kesempurnaan panentheistics 10. .. ideal walau absurd  . figure < proses kaidah kosmik < tauhid, wihdat, etc )
memastikan kebenaran ? konsep dualitas keyakinan/keinginan < foto angle keseluruhan < video proses kesedemikianan 
Gunakan keahlian reversed inference (logika akal - tantien rasio) untuk keberlanjutan yang lebih mendalam  dengan memurnikan kepekaan empati kosmik gnosis wisdom untuk kemendalamannya  (logika hati - tantien emosi ) demi zazen pemahaman kebijaksanaan yang lebih benar, bijak & bajik (suci, arif & luas ... tantien pusat /solar plexus/ ?), seeker.

PENEMPUHAN 
PENEMPUHAN AGAMA
Transaksi Personal 
PENEMPUHAN MYSTICS :
Realisasi Personal 
the Guardian ... Elite Global KOsmik ? Sant Mat : 5 guardians 
Moksha mysticism sant mat  Dimensi Ilahiah : Alakh Niranjan- Brahm - Par Brahm - sohang- sat purush (Anenja/ vehapala  Brahma ?

PENEMPUHAN SADDHAMMA : 
Realisasi Impersonal 

Desain Global Dhammadhipateyya Buddhisme dalam transedensi penempuhan simultan (adiduniawi > duniawi) JMB 8 maksimal demi 10 kualitas arahata = Samma "panna" SADDHA 2 : Pandangan Benar (sammā ditthi), Pikiran Benar (sammā samkappa) – Samma Sila 3 : Ucapan Benar (sammā vācā), Perbuatan Benar (sammā kammanta), Mata Pencaharian Benar (sammā ājiva) – Samma Samadhi 3 : Upaya Benar (sammā vāyāma), Perhatian Benar (sammā sati), dan Konsentrasi Benar (sammā samādhi) /Dhammacakkhapavatana sutta/+ anattalakkhana sutta = Samma Panna 2: Pengetahuan Benar (samma nana) & Pembebasan Benar (samma vimutti) / Mahacattarisaka Sutta/).
Berikut adalah tabel alternative teparinama penempuhan "kontemporer" bagi etika pacekka (atau mungkin juga Buddha Savaka ?)

No

Level

Saddha  

(peningkatan kefahaman Dhamma : pengetahuan ,penmpuhan, penembusan)

Sila  revised

(pakati + pannati : varita & carita)

Samadhi

(Samatha Pemantapan keberimbangan + Vipassana pemurnian

Kebijaksanaan

Panna

Dhamma Vihara

(Kelayakan terniscayakan)

Prior Input

Final Output

1

Elementary

Suta maya paññā (intelek)

Pancasila

Appana & Khanika

Diba Vihara (surga ?)

Padaparama dihetuka

Neyya tihettuka

2

Intermediate

Cintā maya paññā (intuisi)

Atthasila

Jhana (lokiya & lokuttara)

Brahma Vihara   (Ilahi?)

Vehapala  (rupa + arupa?)

Gotrabu Anuloma

3

Advance

Bhāvanā maya paññā (insight)

Samanasila

Magga & Phala   (irreversible ?)

Ariya Vihara (murni?)

Sekha

Asekha ?

Mengenai cara penempuhan sudah banyak referensi yang diberikan bagi realisasi ini. Para Seeker bisa menanyakan langsung pada para Bhante atau Guru spiritual /Pemandu Meditasi yang bukan hanya lebih berkompeten namun juga sesungguhnya ini wilayah mereka yang sudah sepantasnya bagi kita yang di luar sasana untuk tahu diri, tahu malu dan tahu sila untuk tidak 'tranyakan' melanggar bukan hanya area kewenangan mereka namun juga wilayah kesemestaan bersama yang beragam ini. Walau sebagai seeker kita telah memahami akan proses saddha KM4/ JMB 8 dalam triade sila-samadhi-panna untuk dijalani,.  semisal : chart Pa Auk Sayadaw, etc (juga : Ajahn Chah, Bhante Punnaji, Bhante Vimalaramsi, dsb) 
 proses penempuhannya  & by product peniscayaannya (Sila- Samadhi-Panna untuk Vihara kelayakannya ). 

Tersenyum seperti Buddha
(Smile like a Buddha ... not as a Buddha ? ) 
Be Realistics to Realize the Real 

Tersenyumlah seperti Buddha walau itu memang masih 'fake' (semu) dan tidak 'real'(nyata).
Ini bukan dimaksudkan untuk 'memotivasi' diri bagi kesombongan pencitraan diri dengan melagakkan seakan pencapaian keniscayaan telah terjadi hanya dengan cara itu.
Ini dimaksudkan untuk mengarahkan diri untuk kebijaksanaan penyadaran diri dengan melayakkan peniscayaan keniscayaan yang secara murni dan alami seharusnya terjadi.
Senyum kearifan Ariya yang melampaui sikap positif apalagi negatif.

Bagi Dia yang sudah terjaga itu ekspresi authentik 
Bagi kita yang belum terjaga itu exercise holistik

Tersenyum seperti Buddha JMB 5
karena terfahami secara intelektual simsapa kebenaran spiritual
Kecakapan Pandangan benar akan mengarahkan fikiran benar (kesadaran notion batin)
Kecakapan fikiran benar akan mengarahkan tindakan bajik (ketulusan dana sila etc)
Kecakapan tindakan bajik akan mengarahkan asset mulia (kemurnian punna kusala )
Dhamma indah pada awalnya dengan terlampauinya tataran eksistensial diri
(harmoni dunia - terhindar apaya - terlayakkan surga = Dibba Vihara )

Tersenyum mengarah Buddha JMB 8
karena tercapai secara meditatif acinteya hakekat kenyataan spiritual
Paska asset mulia terus lanjutkan Adhi-Sila (alobha -adosa - amoha : tihetuka)
Paska Adhi-Sila terus lanjutkan Adhi-Citta (Samma Samadhi : Jhana Brahma )
Paska Adhi-Citta terus lanjutkan Adhi-Panna (Samma Vipasana: Gotrabu Nana?) 
Dhamma indah pada pertengahannya dengan terlampauinya tataran universal diri
(harmoni batin - terlampaui moksa - terlayakkan magga  = Dhamma Vihara )

Tersenyum sebagaimana Buddha JMB 10
karena terbukti secara insight advaita desain labirin permainan spiritual
Dengan masaknya Adhi-Panna layaklah Realisasi Keterjagaan (nibbana: pemurnian magga/phala  )
Dalam Realisasi Keterjagaan layaklah Realisasi Kebijaksanaan (panna: sabbanutta/ patisambhida?)
Dalam Realisasi Kebijaksanaan layaklah Realisasi Ketercerahan (kiriya: kusala  non karmik?)
Dhamma indah pada akhirnya dengan terlampauinya tataran transendental diri 
(harmoni - terbuka nibbana - terlampaui samsara  = Ariya Vihara )

Dhamma akan melindungi siapapun yang menempuhnya dengan benar, tepat dan sehat.
Teruslah memperjalankan 'diri' demi semakin terjaganya orientasi, kualifikasi & realisasi
Jalani saja proses penempuhannya secara murni tanpa perlu ambisi/obsesi yang menghalangi.
Layakkan diri sebagaimana kaidah Niyama Dhamma meniscayakan pelayakannya secara alami.
Terima, kasihi dan lampaui segala episode penempaan diri sebagaimana ariya nantinya.
Layakkan diri sebagai Ariya ... maka jikapun nibbana pembebasan belum (mampu/perlu?) tercapai , maka keterjagaan, kebijaksanaan dan ketercerahan akan membawa keswadikaan, keberdayaan, dan kebahagiaan dimanapun wilayah, bagaimanapun suasana dan apapun peran zenka keabadian yang dijalani .... Pada hakekatnya, Samsara hanyalah ilusi mimpi dari Nibbana bagi semuanya.

Note :  
Sita Hasituppāda  /Tersenyum seperti Buddha  = Kesadaran sakshin tandiri keterjagaan nirvanik dalam dagelan internal nama rupa diri dalam keterlelapan drama samsarik  (ini guyonan sastra semoga tidak diterima wantah )
Wacana di atas itu bahasa sastra, bro/sis. Jangan diterima wantah. (payah, deh?). Memang ada tehnik terobosan meditasi smile dari Bhante Vimalaramsi yang menggunakan metta bhavana sebagai alternative anapanasati umumnya. Smile digunakan untuk mengembangkan metta, ketenangan dalam kearifan batin, relax tidak tegang terobsesi mengharap hasil instan, etc. "Senyum kiriya" yang autentik & holistic tentu saja jika itu murni & alami sebagai asekha. 
Well, sekedar gambaran tambahan. Buddha factor (keberadan Buddha) yang sabbanutta atas pelayakan metode atas kemasakan indriya para savakaNya memang krusial. Sesungguhnya tidak hanya 40 kammathana yang dibabarkan. Saat ini memang ada banyak metode selain peta baku spiritualitas Buddhisme Realisasi penempuhan JMB 8 untuk pencapaian kualitas arahat 10 yang digunakan bagi para samana  selain  versi Myanmar,(Pa Auk Sayadaw, Mahasi Sayadaw ,etc ) ada juga metode terobosan lainnya yang kreatif kontemporer demi proses pelayakan umat dengan  tetap tidak meninggalkan pakem ajaran semisal metode bertahap Ariya Magga mendiang bhante Punnaji , metode TWIM bhante vimalarmsi bahkan locally ada juga dari Bhante Gunasiri, MMD Hudoyo belum lagi dari Tibetan Vajrayana / Mahayana / Zen  bahkan yang dianggap kontroversial semacam Dhammakaya dlsb. (Lihat dan nilai  uji sendiri referensi upload kami ). Apapun itu semua hendaklah dihargai sebagai upaya samvega spiritualitas para Neyya Buddhism dalam merealisasikan ajaran ... walau mungkin beda di permukaan namun semoga di kedalaman akan mecapai level pencerahan yang sama / setara juga (tentu saja jika dasar pengetahuan, penempuhan dan penembusannya benar, tepat dan sehat dalam kemurniannya ). Sebagai padaparama dihetuka di luar sasana kami ungkapkan ini dengan tanpa maksud intervensi "mengompori" keharmonisan sasana dengan mana pembenaran kesombongan untuk membela/meninggikan yang satu apalagi dengan mencela/merendahkan lainnya.  

PARADIGMA SEDERHANA  KEMBALI MEMBUMI 
Finally , 
Well, ini akan jadi menarik juga untuk kembali membumi sebagaimana sebelumnya menghadapi kompleksitas kenyataan hidup bersama lainnya dalam wisdom kewajaran eksternal dengan gnosis kesadaran internal tersebut.
Setelah mendaki bersama Buddha ini saatnya bagaimana menari bersama Shiva
Pesan Kesucian Buddha : Demi Evolusi Pribadi ... jauhi kejahatan namun dengan tanpa membencinyaJalani kebajikan namun dengan tanpa melekatinya dan Sucikan fikiran namun dengan tanpa mengidentifikasikan apalagi mengeksploitasikan diri padanya .
Pesan Kearifan Shiva : Bagi Harmoni Dimensi...dengan tanpa membencinya Jauhi kejahatan, dengan tanpa melekatinya jalani kebajikan dan dengan tanpa mengidentifikasikan apalagi mengeksploitasikan diri padanya  sucikan fikiran. 

Tiga Pesan Abadi keheningan kosmik yang diungkapkan para Buddha : Jauhi kejahatan, jalani kebajikan, sucikan fikira
https://www.youtube.com/watch?v=tig-9g5RYrc&list=PLZZa2J4-qv-bpW9lgcl0XfLNL7tfMzZZD&index=63&t=34m55s
Link Data: www.tiny.cc/dhammapada-183Bro Billy Tan (p. 12 - 20)
Jauhi kejahatan namun dengan tanpa membencinya, Jalani kebajikan namun dengan tanpa melekatinya dan Sucikan fikiran namun dengan tanpa mengidentifikasikan apalagi mengeksploitasikan diri padanya (Dhammapada : 183). Itulah paradigma (yang walau tampak terdengar "sederhana" namun sesungguhnya sangat sempurna / bijaksana ) wejangan para Buddha untuk bukan hanya melalui namun juga melampaui samsara menuju Nibbana yang direalisasikan dalam keterarahan /keselarasan simultan triade pemurnian Sila - Samadhi - Panna.
Keselarasan dalam Saddhamma .... Inilah cara untuk menjalani kebenaran itu dengan tanpa syarat apapun   Well, bukan hanya "sekedar' demi membawa level evolusi pribadi yang lebih baik (eksistensial), menjaga harmoni dimensi  yang semakin kondusif (universal) namun karena memang demikianlah amanah keselerasan yang ditetapkan untuk dijalani (transendental).... sinkronisasi peniscayaan berkah yang memang seharusnya dilakukan atas keniscayaan berkah yang sudah digariskan pada keberadaan, dalam kesemestaan oleh kesunyataan Impersonal Transenden ini.
Jadilah media kebaikan yang murni x media keburukan yang kacau bagi diri sendiri, makhluk lain dan living cosmic ini baik transendental, universal, eksistensial . senantiasa terjaga sebagai media impersonal akan figur personal samsariknya sehingga memungkinkannya untuk bukan hanya berjaga dari keterpedayaaan bahkan semakin memberdaya diri namun juga mampu menjaga untuk tidak hanya memperdaya lainnya namun justru memberdaya lainnya..... tetap orientasi berpandangan, berpribadi, berprilaku ariya apapun peran, dimanapun dimensi dan kapanpun situasi kondisinya. Menerima tanpa perlu kebencian, mengasihi tanpa perlu pelekatan , melampaui tanpa perlu merendahkan. So, jika keniscayaan pembebasan/ pencerahan/ pemberdayaan belum mampu tercapai, keselarasan tertib kosmik yang holistik, harmonis dan sinergik akan kebenaran, kebajikan dan kebijakan masih terjaga .... bagi diri sendiri, makhluk lain dan living cosmic ini.

Ditrigger musik dulu ... Agama Cinta - Puisi Ibnu Arabi (Terjemah Indonesia)

Link video :https://www.youtube.com/watch?v=-lSS29FbZNc&list=PLZZa2J4-qv-b6ehpPHIIT57Myzehhv2A5&index=10
Link data :https://lsfcogito.org/kidung-cinta-ibn-arabi/0

WAHDAT AL-ADYAN (Unity of Religion = Kesatuan Agama ?)

Laqad shara qalbi kulla shuratin,
fa mar'a li ghazlaanin wa dairun li ruhbanin,
wa baitun li autsaanin wa ka'abu thaifin
wa alwahu tauratin wa mushhafu Qur`anin,
adinu bi diinil hubbi anni tawajjahtu 
rakaibahu fad dinu dini wa imani
My heart became open to all forms:/
A pasture for gazelles and a cloister for monks,/
 A house of idols and circling the Ka'ba*,/
The tablets of Torah and the Book of Qur'an./
 I profess the religion of love, wherever its caravans lead.../
In love is my religion and my faith.
Sungguh hatiku telah terbuka menerima segala realitas
Padang rumput bagi rusa juga kuil para pendeta
Rumah aneka berhala dan kabah bagi orang yang tawaf
Juga lembaran- lembaran Torah dan mushaf Qur’an
Aku menganut agama cinta kemanapun Dia mengarah
Cinta adalah agamaku dan dia adalah imanku

adinu bi diinil hubbi anni tawajjahtu 
rakaibahu fad dinu dini wa imani
My heart became open to all forms:/
A pasture for gazelles and a cloister for monks,/
Sungguh hatiku telah terbuka menerima segala realitas
Padang rumput bagi rusa juga kuil para pendeta

Upaya konversi, heretisasi, syncretisasi atau hybridisasi ajaran ? NO. Panentheisme memandang segala fenomena di permukaan hanyalah adalah cerminan gradasi layer dimensi dari realitas di kedalaman yang menjangkau progress interconnected dari desain homeostatis kesedemikianan ini dalam equilibirium keseluruhan sebagaimana mentari merengkuh putra putri pelanginya. Inferensi intuitif menuju kedalaman (bukan sekedar analogi intelek di permukaan)  kita gunakan bukan hanya agar kebijaksanaan pengetahuan kita tidak menyimpang dari kaidah kosmik peniscayaanNya  (awas ! labirin paradoks pandangan / penganggapan/ pengharapan!) namun juga agar kita tidak stagnan untuk progress capaian maqom penempuhan tetap dinamis tumbuh berkembang tanpa batas dalam asymptot keTidak-TerhinggaanNya.
SEE: Inferensi Dimensi di atas 

REKAP IDEA AKHIR ? 


SUDAH FINALE

POSTING AWAL TQ 2014
KOMENTAR VLOG SD 11052022 (15052022)
REHAT _ RELAX _ RESET : Dhamma Mantra
HALAL BI HALAL 05052022 (BAHAS) KONSEP & REVISED 
Let's go 


POSTING AWAL TQ 2014

POSTING AWAL ... Nostalgia 2014, ah


Posting lama tentang Figure Jokowi ini dahulu tahun 2014-an sangat populer VIEW STATISTICS  ... Bahkan tidak nyangka hingga saat ini masih dibicarakan terutama para rekan Kadruners di wilayah kami .... asyik juga mengamati kekonyolan & keberingasan manuver mereka. Sementara di Group lain para rekan yang memerankan sebagai Buzzer tidak kalah hebohnya juga dalam dagelan politik inio. saling menebar kesombongan dan kebencian ke segala forum yang ada ( fakta atau fiksi ... terserah,  ghibah atau fitnah .. entahlah) .... meniscayakan diri dan terkadang juga provokasi memaksakan & menyeret lainnya ke peran berikutnya kelak ?
Kutipan ini memang kami persembahkan lagi kepada mereka .... (para Seeker bisa menyimak tanpa terlibat ... istilah spiritualnya sebagai Sakshin .... mengamati & memahami saja untuk kemudian menerima dan melampaui kebodohan & pembodohan kehidupan ini  dengan kewajaran tanpa harus kehilangan kesadaran ).
Pro : Kadrun .... juga Buzzer
ANTARA JOKOWI, KADRUN & BUZZER
Foto : ?
POSTING LAMA = 3 PRIBADI INSPIRATIVE & PILPRES JOKOWI 2014 

POSTING 

Senin, 05 Mei 2014

3 PRIBADI INSPIRATIF 2013ku

Prolog
Amor Dei – Amor Fati. Dua istilah tersebut sering dipertentangkan secara naïf dan liar oleh para konseptualist religius dan juga pemuja hedonis. Amor Dei (cinta Tuhan) berasal filsuf kearifan theosofi dari Baruch Spinoza sedangkan Amor Fati (cinta garis) berasal dari kenaifan filsuf eksistensialis Friedrich Nietzhe. Namun demikian kehidupan yang digelarNya sesungguhnya tidaklah selalu suram antara hitam dan putih. Hidup bagaikan pelangi yang kaya warna yang membiaskan aneka ragam paradigma kebenaran yang tersirat dari kenyataan yang tersurat. Kesejatian yang merefleksikan keaslian dan juga kesemuan, kebenaran dan juga kepalsuan tergantung dengan cara bagaimana kita memandangnya.
Disadari atau tidak sesungguhnya kita semua adalah para Truth Seeker (pencari kebenaran) dan Dharma Sekha (penempuh keabadian) yang belajar dari Tuhan - Satya Guru Abadi- melalui siapapun juga dan apapun saja dalam perjalanan kehidupan ini. Permasalahannya adalah seberapa baik kita mampu untuk senantiasa memahami kenyataan, menghayati kebenaran dan menjalani ketaqwaan pada garis cintaNya. Kehidupan dunia sesaat mungkin saja hanya memandang apa yang kita miliki dan nikmati namun demikian progress keabadian akherat sesungguhnya mengutamakan bagaimana cara kita mensikapi dan tindakan apa yang perlu untuk menjalaninya. Keberkahan in process yang diupayakan lebih utama dari sekedar by product kesuksesan yang didapatkan. Tuhan adalah Dzat Mutlak yang imanensi keluhuranNya melingkupi segala sesuatu walaupun memang transendensi kekudusanNya tak akan mampu terjangkau siapapun juga. Dunia dan akherat hanyalah terminology peristilahan bagi Fenomena dimensi yang terpilah bukanlah Realitas esensi yang terpisah. Pada hakekatnya (baik disini maupun disana - baik sekarang ataupun nanti) kita senantiasa berhadapan denganNya. Segalanya berproses, berlanjut dan juga berdampak pada saatnya. 
Episodes
Menjelang akhir tahun 2013 lalu (saya bersyukur) Tuhan telah menunjukkan hikmah keabadianNya yang tersirat melalui hibrah kehidupan 3 (tiga) pribadi yang (bagi saya – tentu saja) sangat menginspirasi, yaitu: Moez Massoud, Joko Widodo dan Jeff Gutt. Sebagaimana kita semua setiap pribadi tersebut mengalami dan menjalani garis kehidupan mereka masing-masing. Tiga orang tersebut memang tidak berkaitan satu sama lain dan tentunya akan disikapi secara berbeda oleh setiap penempuh keabadian. Namun ada satu mandala kebenaran yang dapat dibentuk dari mozaik kenyataan dalam perjalanan hidup mereka untuk kita jadikan hibrah persepsi dan sekaligus hikmah orientasi, bahwa hidup tidaklah layak hanya dipandang secara naïf dan liar untuk sekedar menjadi, memiliki dan menikmati keduniawian belaka namun yang paling utama perlu kearifan dan kebenaran untuk senantiasa mensikapi, menjalani dan mengatasi segalanya agar berada dalam garisNya.
Berikut sharing artikel beserta referensi data dan media yang saya usahakan untuk segera saya reload dan upload dari berbagai sumber untuk anda browsing dan download.
Moez Massoud : Hakekat kebersamaan, kesemestaan dan KeRobbanian.
Jeff Gutt : Perjuangan Divine Phoenix Warrior 
Joko Widodo : Figur Perwiro,dan Prasojo

Ad.1. MOEZ MASSOUD = TRUE MESSAGE OF ISLAM
PRAKATA =

Moez Massoud merupakan seorang pembawa acara pada show TV dan Radio berbahasa Inggris dan bahasa Arab. Dia berasal dari keluarga yang biasa saja dalam kehidupan beragama Islam. Dia masuk sekolah Amerika selagi tumbuh berkembang dewasa di Mesir dan Kuwait.
Selagi dia di Universitas, sejumlah rekannya meninggal (terbunuh?) sementara diapun sekarat karena menderita tumor. Berkaitan dengan penyakit yang dideritanya tersebut, dia bernazar kepada Tuhan : "Let me survive this and I will dedicate my life to you." (Biarkan aku bertahan hidup dan aku akan persembahkan kehidupan ini untukMu.”) Peristiwa tersebut kemudian mengubah kehidupan manjanya.  Dia kemudian mulai belajar bahasa Arab resmi dan Qur’an serta juga rajin beribadah ke masjid yang semula dikhawatirkan ibunya bahwa dia akan terpengaruh oleh kelompok extremis. Hal yang kemudian hari ternyata tidak demikian adanya walaupun dia memang sangat aktif menyebarkan nilai Islami kepada public sebagaimana yang dijanjikan kepadaNya.
Berdasarkan cara pandang yang diungkapkannya pada program acara atau wawancara, Moez Massoud tampak mendekati Islam dengan cara yang utuh namun unik. Tidak sekedar pemahaman konseptual intelek sebagaimana taqlid liberal para fundamentalis umumnya, namun juga melalui penghayatan kontekstual intuitif pada hakekat nilai Islami yang sesungguhnya (Apakah mungkin juga melalui penembusan spiritual insight dikarenakan pengalaman mendekati kematiannya ? …. Walloohu ‘alam). Terasa nuansa realisasi autentik ke-Esaan yang terpantul arif dari kedalaman tidak sekedar identifikasi artificial pencitraan yang naïf di permukaan. Dalam usia yang relative muda, dia mampu menghayati inti kebenaran (nyaris?) tanpa noda kefasikan yang bisa dan biasa memperdaya para pemberdaya awal setiap pencari kebenaran. Agama sebagaimana metoda Dharma yang lain adalah formulasi untuk realisasi diri bukan sekedar untuk identifikasi semu. Diperlukan kesadaran tinggi dan ketulusan mendalam untuk merengkuh hidayah Ilahiah dan tetap beristiqomah dalam GarisNya. Kepicikan apalagi kelicikan adalah penghalang, penghambat sekaligus penyesat utama untuk itu.
Moez Massoud antara lain menyatakan bahwa melaksanakan ritual Islami hendaklah dilakukan bukan sebagai beban kewajiban yang diharuskan sehingga hanya dijalankan dengan terpaksa sekedar gugur kewajiban atau sebagai kepatutan belaka. Ritual eksternal tersebut adalah refleksi suatu keinginan, kesadaran, ketulusan dan bahkan kerinduan internal untuk mengingat Allooh (Remember Me – inward) di kedalaman yang berdampak pada penegakan ibadah di permukaan (Establish Prayer – outward). Kearifan dan kecintaan kepada Tuhan (ma’rifatullah dan mahabatullaah) sebagai dasar murni dari segala peribadahan.
Dia juga menekankan perlunya pilar agama ke tiga, Ihsan (kemurnian hati) disamping Iman dan Islam. Ihsan adalah kesadaran diri senantiasa berhadapan dengan Tuhan di setiap saat di segala tempat (baik kini maupun nanti, baik disini maupun disana). Suatu upaya pendekatan akhlaqiyah diri secara pribadi dan sejati kepada Tuhan disamping akidah keimanan dan fiqih keislaman. Ihsan sering disisihkan bahkan diabaikan dalam kehidupan beragama pada umumnya. (Mungkin ini sebabnya yang membuat umat beragama walau mungkin bisa terbebas dari konsepsi kekafiran namun tetap bisa saja fasik dalam refleksi kehidupannya). Nilai spiritualitas actual dan global yang intens di kedalaman perlu diperhatikan tidak sekedar ritual formal saja di permukaan. Bukan sekedar pemahaman ilmu tetapi juga tindakan laku mutlak diutamakan sebagai kebenaran realisasi dan bukan sebagai identifikasi pembenaran.

MONOLOG =
Disini saya akan melampirkan pidatonya yang berjudul "The True Message of Islam" (Pesan Sejati Islam) pada konferensi The Search for Mutual Understanding (Mencari Pengertian yang Saling Menghargai) tahun 2006. Semoga saya tidak begitu salah dengar dalam memahami maksud yang dia ungkapkan baik yang tersurat terucapkan maupun yang tersirat dimaksudkannya

"The True Message of Islam" (Pesan Sejati Islam)

I would like to start by …. saying something that I came to stand right next to you to make you cut the interest short (?) because I wanted to speak from my heart and not through any particular position that … this temporary world may have given me. I’m also being very challenged right now although I am a public speaker because I want to say meaning that…. is very sincere. I think sincerity is something that is very difficult and very rare commodity nowadays .. and I’m speaking for myself. 
Saya akan memulai untuk …. mengatakan sesuatu sehingga saya datang mendekat kepada anda untuk menyela/menengahi pembicaraan menarik anda sekalian … karena saya ingin berbicara dari hati saya sendiri dan tidak melalui segala jabatan khusus yang …. dunia fana/sementara ini mungkin saja sudah berikan kepada saya. Saya juga sangat tertantang saat ini ~ walaupun saya adalah pembicara public  ~ karena saya akan mengatakan suatu pengertian yang … sangat tulus. Saya fikir ketulusan adalah sesuatu yang sangat sulit/rumit dan merupakan hal (komoditas) yang sangat langka saat ini .. dan saya berbicara untuk diri saya sendiri
.I think that the very word ‘personality’ finding its root in the Latin word ‘persona’ means ‘mask’ …and I just don’t want to have a mask as I speak. and I’m hoping before we all leave ~ as I am sure all of us have already done we’ve shared our mask and trully looked at each other’s faces trying to genuinely understand what each of us on the other side truly represent. 
Saya fikir inti kata ‘personalitas’ (kepribadian) ditemukan berdasarkan akar dalam kata Latin ‘persona’ yang berarti ‘topeng’… dan saya tidak ingin memiliki sebuah topeng sebagaimana saya bicarakan. Dan juga saya berharap sebelum kita pergi meninggalkan (tempat ini) … sebagaimana saya yakin kita semua sudah lakukan dengan saling berbagi topeng kita masing-masing dan kemudian sungguh-sungguh saling melihat wajah-wajah tersebut dan mencoba secara murni memahami apa yang masing-masing dari kita pada sisi yang lain sebenarnya wakilkan/ ungkapkan. 
I would like to read a verse from the qur’an in personal pursuit of inspiration for what it is I would like to say in following maybe two or three minutes if you allow me too. Those who believe in Qur’an are going to listen to it seeing what Allaah the creator is saying to them. But those who don’t don’t be abandoned. I’m not patronizing you. Just listen to it as to worship for me to listen in Him. 
Saya akan membacakan sebuah ayat dari Qur’an dalam cita inspiratif pribadi sebagaimana adanya yang akan saya katakan mungkin dalam dua atau tiga menit mendatang jika anda memperbolehkan saya. Bagi yang meng-imani Qur’an (semoga) akan mendengarkannya dengan memandang Allooh Hyang Pencipta sesungguhnyalah yang berkata kepada mereka. Tetapi bagi yang tidak (mengimani), janganlah meninggalkannya. Saya tidak akan merendahkan anda. Dengarkan saja ini sebagaimana ini merupakan bentuk pemujaan bagi saya untuk mendengarkan firmanNya.
(QS Al Hujuroot : 13 ) Audzubillaahi minasy syaithoni rojiim. Bismillaahir rohmanir rohiim Yaa ayyuhan naasu, inna kholaqnaakum min dzakarin wa untsa ; (wa ja’alnaakum ….) wa ja’alnaakum syu’uuban wa qobaila ~ li ta’aarofuu.  Inna akromakum ‘indalloohil atqookum. Innallooha ‘aliimun khobiir(un)Shodaqolloohu Robbik(a). O Mankind, We have created you from a male and female. And We made you peoples and tribes that you may know one another. Surely the most honourable of you with God is the most God conscious. God knows everything and is All aware. 
Aku berlindung kepada Allaah dari syetan yang terkutuk. Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara mu Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Maha benar Allooh – Tuhan(mu).
A quick translation of this would … allow me to say crude because  it is  very difficult to try and interprete for you (to) believe (that it) is ultimate truth … in another language:  O People, O humanity, O mankind. We … and this is the Royal we have power ; it’s not plurality. We-God- … We have created you from a pair from male and female, and we made you into people and tribes that you may know one another …. that you may know one another.
Terjemahan cepat/singkat dari (ayat) ini .. izinkan saya menyatakannya secara kasar karena adalah sangat sulit untuk mencoba dan menafsirkannya bagi anda untuk mempercayainya sebagai kebenaran utama …. dalam bahasa lain : Wahai manusia, Kami .. ini adalah istilah keMuliaan dari kekuatan yang kita miliki bukan suatu bentuk penjamakan. Kami – (yaitu) Tuhan. Kami telah menciptakan kalian dari suatu pasangan laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal …. supaya kamu saling kenal mengenal.
I think that I would like to leave it off saying that to me in this context Allah, God is if I am allowed to say synomyous in this context with truth, beauty, justice,and a sovereign good.  and I think that everybody here in one way or the other believes … and I’ve met pretty much everyone here …  that everybody here believes that there is something true. You wouldn’t be here if you believed that nothing can be true. and there is something beautiful one way or the other again. and there is something good because everybody has good in them, and that there is justice. But the only difference between us is how we define respectively justice, truth, beauty and good. So let me just tell you that Wallaahi by Allah I swear to you that all is semantic.
Saya berpikir bahwa saya sebaiknya menyatakan … bagi saya dalam kontek wacana ini … bahwa Allooh – Tuhan – jika saya diizinkan untuk mengatakannya sepadan dalam konteks ini dengan kebenaran, keindahan , keadilan,  dan kebajikan Utama. Dan saya berpikir bahwa semua orang di sini dengan satu cara atau lainnya percaya … dan saya telah bertemu baik dengan banyak orang di sini … bahwa semua orang di sini percaya bahwa ada sesuatu benar. Anda tidak akan di sini jika anda mempercayai bahwa tiada yang mungkin benar. Dan ada sesuatu yang indah dalam satu cara atau lainnya lagi. Dan ada sesuatu yang baik karena setiap orang memiliki kebaikan dalam mereka. Dan ada keadilan (juga). Tetapi satu-satunya perbedaan diantara kita sesungguhnya hanyalah bagaimana kita mengartikan secara berurutan istilah keadilan, kebenaran, keindahan dan kebaikan. Dengan demikian ijinkan saya untuk menyatakan kepada anda semua … Walloohi, Demi Allooh,…. Saya bersumpah kepada anda semua bahwa itu hanyalah peristilah semantic belaka .
And who sit down enough and talk we will understand one another. Ultimately everyone will see what is destined for him or her to see. But what ever it is not only will we see through the veils but we will also love one another as has happened and based on that give each other the respect that we have agreed to give each other not because anybody forced anybody but because we love each other and have become friends. Because ta’arofna and because we have gotten to know one another.
Dan bagi siapa saja yang cukup duduk dan berbicara kita (tentu) akan memahaminya satu sama lain. Pada hakekatnya setiap orang akan melihat apa yang digariskan untuknya untuk dilihat. Tetapi apapun juga kita tidak hanya akan melihat melalui cadar (secara tersamar) tetapi juga kita akan juga mencintai satu sama lain sebagaimana yang telah terjadi dan berdasarkan itu memberikan satu sama lain penghargaan bahwa kita sudah menyetujui untuk memberikan satu sama lain tidak karena sesorang memaksakan seseorang tetapi karena kita mencintai satu sama lain dan sudah menjadikannya sebagai kawan/sahabat. Karena ta’arofna (Kami telah saling mengenalkannya) dan karena Kami sudah membawanya untuk mengetahui/mengenal satu sama lain.
I think that Al – Sheik Bouti said : Rubadaratil nafiha (?)That perhaps a harmful thing can bring up benefit. I think that a lot of benefit that has come out of this and I am very happy to live in this world in this time to experience this amazing human possibility of taaruf of knowing on another and recognizing the common ground between us we all have a common denominator are numerous different. That’s all. if I can use a mathematical example.
Saya berfikir bahwa sebagaimana Al Sheik Bouti katakan : ‘rubadarotil nafiha’. Bahwa mungkin saja hal yang menyakitkan akan dapat menghadirkan suatu manfaat. Saya fikir banyak manfaat yang dapat didatangkan dari ini dan saya sangat bahagia untuk hidup di dunia ini pada saat ini untuk mengalami kemungkinan insaniah yang menakjubkan dari ta’aruf (saling mengenal) ini dan mengakui/bersaksi dasar umum di antara kita semua yang mana kita semua memiliki penyebut umum yang (tampak) berbeda ragamnya.  Demikianlah. Jika saja saya dapat menggunakan contoh (peristilahan) matematis.
May we all in hope ~ for those who are religious I say a prayer and for those who are not let just say we hope ~ … we look forward to understanding more deeply what truth is in whatever way we believe it to be living a life of beauty, living a life of truth, living a life of justice, living a life of good, and therefore living a life of harmony and therefore having serenity in our heart not living in agitation. May none of us ever be a source of agitation for one another ever again.
Semoga kita semua berharap ~ untuk mereka yang beragama saya katakan sebagai berdoa dan bagi yang tidak izinkan saya mengatakan sebagai kita berharap (saja) ~ … Kita mengharapkan untuk memahami lebih dalam lagi apakah kebenaran tersebut dalam apapun cara yang kita percayai untuk (senantiasa) hidup dalam kehidupan yang indah, hidup dalam kehidupan yang benar, hidup dalam kehidupan yang baik, dan oleh karena itu hidup dalam kehidupan yang harmoni/selaras, dan oleh karenanya (kita selayaknya) memiliki ketulusan dalam jantung hati nurani kita untuk tidak hidup dalam permusuhan. Semoga tak seorangpun dari kita yang akan pernah menjadi sumber permusuhan bagi sesamanya satu sama lain lagi selamanya.
 I thank you very much for listening and I apologize for talking too long
Saya ucapkan terima kasih banyak kepada anda untuk mendengarkan dan saya minta maaf dikarenakan (saya) berbicara terlalu lama.

Dengan segala hormat, mohon anda fahami apa yang dikatakannya baik yang tersurat maupun tersirat (dan tentu saja pada terjemahan saya juga yang mungkin agak ‘kacau’). Pemahaman kontak lisan yang sering spontan agak berbeda dengan wacana tulis yang terencana, terarah dan teratur . Perlu kepekaaan daya tanggap untuk memahami keseluruhan pembicaraan (yang tidak selalu lengkap terungkap) disamping keahlian daya tangkap atas apa yang (sanggup) disampaikan. Terlebih lagi perlu disadari bahwa suatu kebenaran absolute sesungguhnya bersifat translingual (melampui kapasitas kebahasaan kita), transrasional (melampaui rengkuhan penalaran kita) dan transcendental (melampaui keberadaan fana kita).

PENUTUP =
Massoud sering membicarakan universalitas ketauhidan cinta dan kebenaran dalam ceramahnya sebagaimana pesan di atas. Walau agak sedikit mengembang dari faham monotheisme Ilmu kalam fuqoha (Asy’ari?) ke Pan-entheisme sufistik (Araby ?) namun syukurlah masih tetap tidak tersesat ke pantheisme mistik (Al Halaj ?). Saya salut walau dalam usianya yang relative muda (30-an) namun kebijaksanaan Robbaniahnya telah cukup dewasa melampaui usianya.
Bhineka Tunggal Ika – tan hana Dharma mangrwa. (Pada hakekatnya segalanya satu adanya – sesungguhnya tiada dharma yang berbeda.) Prinsip Tauhid semacam ini memang sangat universal tersurat/tersirat pada hampir semua Dharma Wacana dan Risalah Agama di dunia ini (jika difahami, diselami dan dihayati secara utuh dengan intelek, intuisi dan insight). Katakanlah ini semacam kaidah dasar yang mengembalikan titik pandang pembiasan keragaman cahaya prisma pandangan keyakinan ke dalam satu mandala tunggal kepastian akan satu realitas kebenaran dalam aneka fenomena kenyataan. Hanya ada satu cahaya putih yang terbias dalam prisma menjadi ragam cahaya pelangi yang dipandang berbeda dan dianggap istimewa. Demikianlah Realitas kebenaran Ilahiah itu terjadi dalam aneka cara/tingkat kecermatan pandangan kita pada fenomena kenyataan yang ada dalam pandangan saya (berdasarkan pengamatan saya sebagai seeker terhadap sejumlah agama, aliran mistik , system filsafat dan kultur budaya sejak masih muda hingga usia senja ini).
Ada banyak hal lagi yang akan tumpang tindih dan tidak jelas jika semua saya utarakan di sini. Oleh karenanya saya akan menyudahinya dengan menyimpulkan pesan tersebut di atas sebagai ajakan Moez Massoud agar kita semua menyadari bahwa perbedaan cara pandang kita sebenarnya hanyalah ilusi belaka. Kesemuanya pada hakekatnya mengarah ke satu kebenaran yang sama namun masing-masing perlu saling memahami, mengisi dan melengkapi mosaic pandangannya ke dalam satu mandala kebenaran yang lebih utuh. Oleh karena itu perlulah kita semua untuk saling menghargai cara pandang orang lain dan menyadari keberadaan kita sebagai media (ayat/alat) bagi Tuhan untuk menjaga dan membina kesemuanya dengan kebersamaan, dalam keselarasan dan untuk keberdayaan semua.

NB =
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtul khalqa fabi ‘arafu-ni,” (= “Aku pada mulanya adalah harta tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”, Hadits Qudsi ?). Tuhan adalah Dzat Mutlak yang keluhuranNya (kuasa dan kasih) melingkupi apapun juga namun kekudusan (wujud dan DiriNya) tak terjangkau siapapun juga. Tuhan adalah wajibul wujud (Dzat dengan keberadaan mutlak) sedangkan makhluk hanyalah mumkimul wujud (Sesuatu yang keberadaannya sekedar diadakan atau bahkan bisa saja ditiadakan olehNya). Kita sesungguhnya hanyalah media fana yang sekedar memantulkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dimana sekedar merealisasi fitrah kerobbanian diri (mewujudkan kesadaran akan kewajaran tersebut) dengan tanpa terlalu mengindentifikasi untuk ‘memancarkan’ ananiyah nafsani maupun berdefisiensi ‘mengharuskan’ kepamrihan duniawi. Ketawadhuan dan keikhlasan memang suatu kelayakan untuk merealisasikan rasa Syukur akan kesempatan untuk keberadaan dengan rasa Shabar (istiqomah – mantap mensikapi, menjalani dan mengatasi  permasalahan yang ada sebagai sarana tarbiyah pemberdayaan diri) .
Laa Ilaaha Illallooh  – Huwa Maujud. (Al Kholq)  Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya) Maha Ada. Dialah Hyang Maha Wujud dari segala keberadaan; Hyang Maha Kuasa pada setiap kenyataan ;  Hyang Maha Kasih dalam semua kebenaran. BagiNya segala wujud keberadaan, ibadah persembahan dan tujuan pengarahan.
Laa ilaaha illalloohu – Huwa Ma’buud. (Al Haqq). Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya layak dan harus) disembah. Segala tindak peribadahan (zahiriah/batiniah) hanya dipersembahkan dari, oleh, dan untuk kemuliaanNya. Para arif yang sadar keberadaan dirinya sebagai pengembara keabadian sekaligus pemberdaya kehidupan senantiasa memandang baik disini maupun disana, sekarang ataupun nanti dia selalu berhadapan dengan kemuliaan, pengawasan dan perawatanNya. Dunia dan akherat hanyalah dimensi yang terpilah bukan esensi yang terpisah. Segala yang dilakukan (baik batiniah, lisan atau tindakan) akan selalu dinilai dan kembali kepadanya juga /entah disini atau disana, entah saat ini maupun nanti./
Laa ilaaha illalloohu – Huwa Maqshud. (al Baq) Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya layak dan harus) dituju. Segala tindak peribadahan (zahiriah/batiniah) hendaklah dilaksanakan secara lillaah, billah dan fillah. Lillaah maksudnya hanya untuk Allaah (Rodhiyah = keikhlasan diri). Segala amalan hendaknya dilakukan hanya untuk mencari keridhoan Allah. Hindari dari kefasikan untuk men-dua-kanNya dengan kepamrihan nafsaniyah untuk bermegahan di majlis dunia yang fana. Ilallooh (untuk Allooh) bukan ilayya (untuk kebanggaanku), ilainaa (untuk kepentingan golongan kami), ilaihim (untuk kepentingan mereka). Billaah maksudnya hanya dengan Allaah (Mardiyah = Allloh meridhoi). Terhindar dari kefasikan untuk men-dua-kanNya dengan kebanggaan nafsaniyah diri untuk bermegahan di majlis dunia yang fana. Hanya dengan karunia panduan hidayah dan bantuan segala amalan usaha kita bisa terjadi. Seandainya Allaah tidak memberikan anugerah kehidupan, inayah kesempatan dan hidayah kesadaran mustahil amalan bisa dilakukan. Fillaah maksudnya dalam Allaah (Kamilah ?= ketawadhuan sejati merasa sekedar media biasa bukan sebagai figure sempurna?). Terhindar dari kefasikan akan kemelekatan diri. Tanpa kita sekalipun Tuhan sesungguhnya mampu merealisasikannya melalui media lain yang dikehendakiNya. Kesadaran Realisasi reflektif (perwujudan – sekedar media pemantulan) bukan identifikasi ananiyah (kebanggaan pengakuan untuk pembenaran) apalagi defisiensi duniawi (kepamrihan perolehan dalam kepentingan).

Yaa ayyuhalladziina aamanut taqullooha ; wal tanzhur nafsum maa qoddamat lighod(in);  wat taqullooha inallooha khobirun bimaa ta’maluun; wa laa takuunu kalladziina nasullooha fa ansahum anfusahum ~ ulaa-ika humul faasiquun; Laa yastawi ashabun naari wa ashabul jannati/h ~ Ashabul jannati humul faa-izuun. (QS 59 : 18 -20) = Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. 

Berdasarkan cara pandang yang diungkapkannya pada program acara atau wawancara, Moez Massoud tampak mendekati Islam dengan cara yang utuh namun unik. Tidak sekedar pemahaman konseptual intelek sebagaimana taqlid liberal para fundamentalis umumnya, namun juga melalui penghayatan kontekstual intuitif pada hakekat nilai Islami yang sesungguhnya (Apakah mungkin juga melalui penembusan spiritual insight dikarenakan pengalaman mendekati kematiannya ? …. Walloohu ‘alam). Terasa nuansa realisasi autentik ke-Esaan yang terpantul arif dari kedalaman tidak sekedar identifikasi artificial pencitraan yang naïf di permukaan. Dalam usia yang relative muda, dia mampu menghayati inti kebenaran (nyaris?) tanpa noda kefasikan yang bisa dan biasa memperdaya para pemberdaya awal setiap pencari kebenaran. Agama sebagaimana metoda Dharma yang lain adalah formulasi untuk realisasi diri bukan sekedar untuk identifikasi semu. Diperlukan kesadaran tinggi dan ketulusan mendalam untuk merengkuh hidayah Ilahiah dan tetap beristiqomah dalam GarisNya. Kepicikan apalagi kelicikan adalah penghalang, penghambat sekaligus penyesat utama untuk itu.
Moez Massoud antara lain menyatakan bahwa melaksanakan ritual Islami hendaklah dilakukan bukan sebagai beban kewajiban yang diharuskan sehingga hanya dijalankan dengan terpaksa sekedar gugur kewajiban atau sebagai kepatutan belaka. Ritual eksternal tersebut adalah refleksi suatu keinginan, kesadaran, ketulusan dan bahkan kerinduan internal untuk mengingat Allooh (Remember Me – inward) di kedalaman yang berdampak pada penegakan ibadah di permukaan (Establish Prayer – outward). Kearifan dan kecintaan kepada Tuhan (ma’rifatullah dan mahabatullaah) sebagai dasar murni dari segala peribadahan.
Dia juga menekankan perlunya pilar agama ke tiga, Ihsan (kemurnian hati) disamping Iman dan Islam. Ihsan adalah kesadaran diri senantiasa berhadapan dengan Tuhan di setiap saat di segala tempat (baik kini maupun nanti, baik disini maupun disana). Suatu upaya pendekatan akhlaqiyah diri secara pribadi dan sejati kepada Tuhan disamping akidah keimanan dan fiqih keislaman. Ihsan sering disisihkan bahkan diabaikan dalam kehidupan beragama pada umumnya. (Mungkin ini sebabnya yang membuat umat beragama walau mungkin bisa terbebas dari konsepsi kekafiran namun tetap bisa saja fasik dalam refleksi kehidupannya). Nilai spiritualitas actual dan global yang intens di kedalaman perlu diperhatikan tidak sekedar ritual formal saja di permukaan. Bukan sekedar pemahaman ilmu tetapi juga tindakan laku mutlak diutamakan sebagai kebenaran realisasi dan bukan sebagai identifikasi pembenaran.
Demikian kutipan ayat muhasabah Firman Ilahi; Jadi, Gnoti Seauton (Kenalilah dirimu /sebagai makhluk ?/) karena Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu hanya dengan mengenal diri (dengan segala keterbatasan makhlukiyahnya betapapun hebat pencapaian dan megah pengakuannya) maka kita akan mengenal Tuhan (Hyang Maha Sempurna dan SegalaNya). Ini adalah orientasi keyakinan awal dan juga realisasi kebenaran akhir. Dr. Ali Shariati melambangkan 1 adalah Hyang Esa, 0 adalah makhlukNya.  Meminjam istilah beliau ; berikut adalah paradigma kerobbanian yang menjadi orientasi awal bagi ketawaddhuan yang juga akan kembali menjadi  realisasi akhir bagi kecerdasan manusia. (*) = 1 tetap bernilai walau 0 tidak ada. 0 tidak bernilai jika 1 tidak ada. Maksudnya = Tuhan tetap ada walaupun makhluk ada ataupun tidak ada. Tuhan (kholik) adalah wajibul wujud yang keberadaanNya mutlak adanya ; selain itu (makhluk) adalah mumkimul wujud yang keberadaannya relatif adanya ~ bisa ada, bisa juga tidak ada ~ terserah dan berserah kepada kehendakNya. Tanpa Tuhan, segalanya tidak akan pernah ada. Tanpa segalanya sekalipun, Tuhan tetap ada.  Dia adalah  Hakekat yang merupakan penyebab dan kembali segala yang ada (baca: diadakan untuk mengada jadi tidak perlu terlalu meng-ada ada). (*) = 1 di depan 0 jauh bernilai dibanding 0 di depan 1 . Maksudnya = Jadilah pribadi 10; Pribadi yang mengedepankan Tuhannya diatas segalanya (termasuk dirinya sendiri). 0 didepan 1 dibelakang hanyalah bernilai 1 (satu) – ini gambaran pribadi yang mengedepankan selainNya pada kehidupan. Amaliah menjadi tak sempurna karena syirik, pribadi tidak konsisten karena terombang-ambing kepentingan duniawi/ kebanggaan berpribadi. Bahkan jika pada akhirnya yang satu (1) itu menjadi hilang, maka seluruh kehidupan kita tinggal 0 (baca: nol besar). (*) = 1 dibagi 0 tak terhingga ; 0 dibagi 1 tak berharga. Maksudnya = Pribadi yang berkarakter kuat dan cerdas adalah pribadi dengan kekuatan dan kecerdasan yang tumbuh berkembang karena ketawadhuan bukan dengan ketakaburan. 0 dibagi 1 tetaplah 0 – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri dengan ketakaburan. (Lemah dan rapuh karena sesungguhnya :Tiada daya upaya tanpa izinNya.)  Namun … 1 dibagi 0 adalah tak terhingga – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri karena ketawaddhuan. (Senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keridhoan dan petunjukNya). 
Dalam pemberdayaannya (kesadaran, kecakapan, kemapanan dan ketaqwaan), sejumlah manusia mungkin saja mampu berkembang mendahului lainnya bukan hanya secara intelek (yang popular didewakan saat ini), namun juga intuisi (sayang sudah agak diabaikan sekarang) dan insight (sudah langka dan terlupakan?). 9 kecerdasan mungkin tercapai ( 3 tataran intelek =1. AQ /Adversity Quotient - ketahanan berjuang/, 2. EQ /Emotional Quotient - keluwesan interaksi/, 3. IQ /Intelligence Quotient - kepandaian kognitif/; 3 wawasan intuisi = 4. ISQ /Intelligence Spritual Quotient - keterarahan sati/, 5. ESQ /Emotional Spiritual Quotient - keihsanan ummi/, 6. ASQ /Adversity Spiritual Quotient - kemantapan yogi/; 3 penembusan insight = 7. ADQ /Adversity Divine Quotient- mukasyafah/, 8. EDQ /Emotional Divine Quotient - Mahabatullooh/, 9. IDQ /Intelligence Divine Quotient - Ma'rifatullooh/) namun demikian jika tidak dibarengi dengan orientasi kesadaran 10 maka itu semua tanpa makna. Realisasi Kecerdasan tingkat 10 (baca: sepuluh) atau orientasi kesadaran 10 (baca: satu-nol) ini mungkin yang dimaksudkan sebagai insan kamil, homo novus (New Man) atau apapun istilahnya – suatu pencapaian kesempurnaan manusia dalam keterbatasannya. Namun sebagaimana proses pemberdayaan dan orientasi ketawaddhuan sebelumnya inipun harus dianggap hanya sebagai proses berkelanjutan bukan maqom penghentian. Inilah perbedaan yang mendasar antara kesejatian pencerahan bijak seorang panentheist, keimanan sejati para monotheist atau bisa jadi pencarian murni kaum heretis dengan kesemuan ‘pencerahan’ pantheist, ‘wawasan’ agnostic, maupun ‘pandangan’ atheist. Keberkahan dan pemberkahan hanyalah dari, oleh, untuk dan kembali kepadaNya. Realisasi kebenaran bukan identifikasi pembenaran. Dalam keikhlasan bukan dengan kepamrihan. Senantiasa memberdaya diri secara berkelanjutan dalam JalanNya (sesuai fitrah yang ditentukanNya) dan tidak terperdaya setinggi apapun perolehan yang dicapainya (menurut anggapan kerdil terhadap diri sendiri maupun pengakuan semu dari orang lain). Hanya mereka yang telah menghayati surga di hatinyalah (karena hidayah kuasa kasih yang terpancar dari wujudNya telah melingkup hati hambanya - bukan sebaliknya ?) yang kemudian akan menghadirkan surga di dunia ini (memberkahi kehidupan dengan kuasa kesejahteraan dalam kebersahajaan kasih dan tidak melakukan pembenaran akan pengrusakan dan bermegah dengan kesombongan apapun bentuknya) sehingga layak mendapatkan surga di sisiNya kelak. Tanah (baca: jasad) memang kelak akan kembali ke bumi (baca: mayat) sebagaimana harusnya namun demikian cahaya (baca: ruh atau sekedar jiwa ?) sebagaimana layaknya kembali (untuk selalu menghadap) ke Sumbernya (Tuhan).
Yaa ayyatuhaan nafsul muthmainah; Irji’ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah ; Fad khulii fii ‘ibaadii; Wad khulli jannati (Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. QS 89: 27 – 30)

Ad.2.  JEFF GUTT = THE PHOENIX WARRIOR


(original link  ?)
JAG PLAYLIST :  

Every time I look in the mirror 
Setiap kali aku melihat di cermin
All these lines on my face getting clearer
Semua garis-garis ini di wajahku semakin jelas
The past is gone
Masa lalu hilang
It went by, like dusk to dawn
Itu pergi berlalu, seperti senja hingga fajar
Isn't that the way
Bukankah itu jalannya
Everybody's got their dues in life to pay
Semua orang punya iuran mereka dalam hidup untuk dibayar.

Yeah, I know nobody knows
Ya, aku tahu tidak ada yang tahu
Where it comes and where it goes
Di mana ia datang dan di mana ia pergi
I know it's everybody's sin
Aku tahu itu dosa semua orang
You got to lose to know how to win
Kau kalah untuk tahu bagaimana untuk menang 

Half my life's
Setengah hidupku
In books' written pages
Dalam halaman buku ditulis
Lived and learned from fools and
Tinggal dan belajar dari orang-orang bodoh dan
From sages
dari yang bijak
You know it's true
Kau tahu ini benar
All the things come back to you
Semua hal datang kembali kepadamu

Sing with me, sing for the year
Bernyanyi denganku, menyanyi untuk tahun ini
Sing for the laughter, sing for the tear
Menyanyi untuk tawa, bernyanyi untuk air mata
Sing with me just for today
Nyanyikan denganku hanya untuk hari ini
Maybe tomorrow, the good lord will take you away
Mungkin besok, Tuhan  yang baik akan membawamu pergi 
Yeah, sing with me, sing for the year
Ya, bernyanyi denganku, menyanyi untuk tahun
Sing for the laughter, sing for the tear
Menyanyi untuk tawa, bernyanyi untuk air mata
Sing with me, just for today
Bernyanyi denganku, hanya untuk hari ini

Maybe tomorrow, the good Lord will take you away
Mungkin besok, kebaikan Tuhan akan membawamu pergi 

Dream On Dream On Dream On
Bermimpilah
Dream until your dream comes true
Bermimpi sampai mimpimu terwujud
Dream On Dream On Dream On
Bermimpilah
Dream until your dream comes through
Bermimpi sampai mimpimu datang melalui

Dream On Dream On Dream On
Dream On Dream On
Dream On Dream On, AHHHHHHH
Mimpikanlah, Ahhhh

Sing with me, sing for the year
Bernyanyi denganku, menyanyi untuk tahun
Sing for the laughter, sing for the tear
Menyanyi untuk tawa, bernyanyi untuk air mata

REHAT TARAWIH DULU 

Jeff Gutt (Jeffrey Adam Gutt) mungkin nama yang asing bagi rekan pembaca di Indonesia. Sekedar info singkat, dia adalah salah satu peserta X factor USA tahun 2013. Memang dia ‘hanya’ mencapai runner-up berdasarkan voting pilihan mayoritas suara dalam kontes sehingga gagal meraih hadiah rekaman 1 milyar. Satu pertanyaan mungkin terlintas di benak anda: lantas apa istimewanya figure ini diekspose jika ia bukan juara pertama (walau juara ke-dua toh tetap pecundang) ?
Disadari atau tidak, pada dasarnya kita semua belajar dari Tuhan lewat apapun juga ,melalui siapapun saja. Setiap makhluk adalah truth seeker (pencari kebenaran) dan sekaligus Dharma Sekha (penempuh kenyataan) dalam hidup ini. Senantiasa ada hikmah ilahiah (yang sejati sebagai ilmu dan laku) dibalik hibrah alamiah (yang tampak samar bahkan terkadang semu) akan maksud kebijaksanaan Tuhan yang mungkin kita terima namun tidak kita mengerti. Tidak semua yang kita inginkan terwujud dalam kenyataan. Apa yang baik bagi kita belum tentu baik bagi Tuhan ; demikian sebaliknya. Hidup adalah amanah bukan sekedar anugerah apalagi musibah. Tampaknya memang ada perbedaan mendasar bagaimana dunia ini memandang dengan cara Tuhan menilai. Kita dinilai bukan sekedar dari kesuksesan yang kita terima dan miliki di permukaan, namun dari keberkahan dari cara kita men-sikapi kenyataan dan cara kita menjalani kehidupan di kedalaman. Coram Deo (Hidup yang selalu sejati dalam pandangan Tuhan) tidak sekedar coram geo (hidup yang mungkin semu dalam kelaziman duniawi) apalagi coram ego (hidup yang bisa liar dalam kenaifan diri). Dengan cara demikian kita senantiasa bisa memilah dan memilih hikmah kebenaran tidak sekedar hibrah kenyataan apalagi hijab kesemuan yang mungkin akan menyesatkan pandangan kita sebagai pengembara keabadian.
Melalui sebuah titik perjalanan garis keabadian ini (pengalaman pribadi sendiri, kejadian orang lain, dan aneka peristiwa) kita mengkaji kebenaran yang tersirat pada kenyataan yang tersurat pada hidup ini sebagai introspeksi dari masa lalu, untuk realisasi pada waktu ini dan sebagai orientasi bagi saat nanti untuk tetap selalu memberdaya diri (kesadaran, kecakapan, kemapanan dan ketaqwaan). Jeff adalah figure sederhana ke-dua yang saya ajukan, sesudah Moez Massoud dan sebelum Jokowi nanti. 
EPISODES
TAHUN 2012
Jeff Gutt adalah vokalis band dry cell dan kemudian BWNN (band with no name). Karirnya sebagai musisi tidaklah sebagaimana yang diharapkan. Kejadian tersebut sangat  mengecewakannya sehingga membuatnya frustasi dan berhenti dari kegiatan music yang dicintainya sejak kecil. Namun demikian kehadiran seorang anak (Talon) membuat single parent ini bangkit untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk kembali ke jalur musik.
1. Haleluyah
20 September 2012 Jeff mengikuti audisi dan membawakan lagu Hallelujah dari Leonard Cohen yang sangat unik (versi Rock bukan gospel). Salah satu audisi music terbaik yang saya dengar selama ini (disamping : Susan Boyle – UK , Choi Sung Bong - korea , dan Wudamu- China). Histeria penonton dan pujian para juri (Simon Cowell, Britney Spears, Demi Lovato dan L.A. Reid.) layak diberikan baginya. Bahkan (sekedar bercanda) Tuhanpun akhirnya menyuarakan gemuruh menyambutnya.
NB = tentang lagu Haleluyah. Haleluyah berasal dari bahasa Ibrani Aleluyah yang berarti terpujilah Tuhan (Alhamdulillaah?). Pada mulanya saya mengira ini adalah lagu gospel gerejani. Namun kemudian setelah memahami makna lirik di dalamnya ditambah sejumlah referensi, saya berpandangan lain. Lagu ini mengisahkan perjalanan hidup manusia dalam menghayati arti cinta. Kejatuhan Samson dan terutama duka penyesalan Daud atas ternodanya cinta dia kepada Tuhan karena terlena akan cinta birahi yang menyebabkan dia berdosa sebagai manusia (kisah cinta segitiga Daud, Betsheba dan Uria). Agape (cinta kepada Tuhan) seharusnya memang diletakkan sebagai pemberdaya paling utama bagi orang beriman agar manusia lebih mementingkan kebenaran yang lebih luas dan abadi (walau tidak mudah) dan tidak sekedar membenarkan kepentingan sesaat yang bersifat pribadi (walau tampak indah). Kesadaran nurani untuk tidak menjadi naïf dan liar terhadap naluri untuk tidak mudah terjatuh bukan saja perselingkuhan birahi namun juga kesewanangan insani sehingga Agape (Cinta KeIlahian) dapat menjadi benteng utama eros (nafsu birahi) dan media luhur bagi filia (cinta kemanusiaan). Bandingkan versi asli lagu Leonard Cohen tersebut dengan lagu Jeff menjelang konser amal call of Angel di station televisi 
2. Kandas di Bootcamp
Namun demikian Jeff Gutt akhirnya tereliminasi di bootcamp. Lagu duet “If I Die Young" dari The Band Perry tidak menghantarkannya lolos ke babak selanjutnya. Hal yang sangat mengecewakannya saat itu. Beberapa waktu kemudian, di Access Hollywood seorang juri Simon Cowell menyatakan satu penyesalannya adalah memulangkan (potensi sehebat Jeff) terlalu dini. 29 Maret 2013, Jeff Gutt merelease lagu "Hallelujah" melalui vimeo. Jeff sesungguhnya bukan hanya seorang pembawa lagu namun juga pencipta lagu. Stay adalah salah satu lagu yang dia cipta bersama BWNN.   
TAHUN  2013
3. Welcome Back, Phoenix.
18 September 2013 dia kembali mengikuti audisi. Lagu pertama “I Don't Want to Miss a Thing" dari Aerosmith dihentikan. Sehingga ketika diberikan kesempatan untuk mencoba lagi, dia kemudian mengajukan lagu ke-dua "Creep" dari Radiohead.
NB: perhatikan expresi kekecewaan kala Simon Cowel menghentikan lagu pertama Jeff. Kedewasaan menerima penghentian, kesantunan menerima alasan dan kesediaan mencoba kesempatan ke-dua. Walaupun agak ragu di awal,Jeff kembali menunjukkan keautentikannya mengekspresikan lagu sebagaimana diharapkan dan hasilnya sangat sensasional … sesuatu yang bahkan tidak dinyana olehnya. Pujian juri dan histeria penonton kembali mengiringi kelolosannya pada audisi tahun ini. Selamat datang kembali, phoenix ~ burung yang lahir dan bangkit kembali dari kematian. 
4. Memulai Kompetisi
2 Oktober 2013 dia kembali mempesona dengan penghayatan lagu Amazing Grace" dari John Newton melalui power voicenya. Jeff lolos bersama sejumlah kontestan lain dalam 4 kategori (Boys, Groups , Girls, Over 25 ). Di kategori over 25 Jeff berada dengan mentor Kelly Rowland eks personil Destiny’s Child.
NB: Lagu Amazing Grace mengisahkan kesungguhan pertobatan seseorang untuk kembali ke Jalan Tuhan setelah ketersesatannya.Walau singkat, Jeff menyanyikannya sangat impresif.  
5. Melanjutkan Kompetisi
Kompetisi penyisihan berlanjut. Pada mulanya lewat tayangan televisi local B-Chanel saya sesungguhnya lebih memperhatikan Carlos dari peserta lainnya (termasuk Jeff yang saat itu belum saya ketahui track recordnya). Namun sayang, penderita Tick syndrome yang sesungguhnya sangat impresif dalam berjuang ini harus tereliminasi dini.  
29 October 2013 = "Try” dari Pink
6 November 2013 = "Say You, Say Me” dari Lionel Richie
7 November 2013 = "In the Air Tonight" dari Phil Collins
13 November 2013 = "(I Just) Died in Your Arms" dari Cutting Crew
20 November 2013 = "Bohemian Rhapsody" dari Queen
Jujur saja, terkecuali untuk 2 lagu awal, secara pribadi saya kurang begitu terkesan dengan perfoma Jeff pada mulanya. Walaupun sesungguhnya dia sudah tampil maksimal untuk tampil sempurna, namun terlihat seakan dia berusaha memaksakan diri sehingga kurang impresif. Ekspresif (mungkin) ya, namun autentik (sayangnya) tidak. Simon Cowel mengkritisi secara jeli bahwa keinginan yang berlebihan untuk tampak sebagai Rock Star justru menjadi penghalang utama Jeff dalam mewujudkan potensi dirinya. Realisasi autentik yang sejati bukan sekedar identifikasi artificial yang semu diharapkan baginya. Untunglah dia kemudian kembali lolos ke babak selanjutnya untuk membuktikannya. 
6. Great Favorite
Akhirnya Jeff Gutt menemukan dirinya yang sejati sebagai universal singer melalui panduan sang mentor Kelly Rowland (dan juga kursus singkat Michael Buble).
27 November 2013 "Feeling Good" dari Anthony Newley and Leslie Bricusse
NB = Lagu Feeling good – persembahan Jeff Gutt kepada ayahnya Greg Gutt - mengingatkan saya tentang perlunya bersyukur menerima apapun juga dengan perasaan baik (The Secret – Bryan Rhodes ; The Law of Attraction).
Jeff sungguh membawakan lagu tersebut dengan sangat mantap luar biasa. Autentik, masculine, dan mempesona baik dari power voice maupun stage act. Disamping itu, saya sangat terkesan dengan perkataan Greg Gutt yang begitu tulus menyentuh sebagai seorang ayah yang sangat bahagia (dan bangga?) dengan keberadaan anaknya yang sedang berjuang di kompetisi tersebut: “Saya bukanlah orang kaya, saya tidak mempunyai banyak uang (sebagaimana juga dia – Jeff). Tetapi ketika saya menyaksikannya di pentas (pujian juri dan pemirsa) … saya (merasa) sayalah orang paling kaya di dunia ini.”
7. Great Competitor
4 December 2013  "Without You" dari Mariah Carey & "Daniel" dari Elton John
NB = Walau dari segi artistic penampilan,lagu "Without You" dari Mariah Carey lebih bagus dan memukau, namun secara pribadi (bukan kritisi seni atau komentar para juri) saya lebih menyukai kesederhanaan lagu akustik "Daniel" dari Elton John. Terdengar wajar dan tulus sebagai persembahan Jeff kepada saudara sepupunya – Dan, seorang marinir. Kelihaian permainan gitar Jeff tampak pas mengiringi lagu tersebut. Disamping itu, saya sangat terkesan dengan perkataan Dan Gutt yang begitu bijak sebagai seorang kakak (sepupu) dalam menerima keberadaan saudaranya apapun juga yang terjadi: “Jeff, tidak masalah apa yang akan terjadi (nantinya). Kamu akan selalu memiliki X factor bagiku.” Pernyataan yang sangat bijak untuk tetap menerima keberadaan seseorang apa adanya dan mengharapkan selalu kebaikan atasnya. Tak perduli berhasil atau gagal, menang atau kalah …. Keberkahan perjuanganlah yang diharapkan. Kebenaran Kasihlah yang diutamakan.  
8. MENUJU FINALE
11 December 2013 Jeff melantunkan lagi lagu favorit pemirsa Hallelujah dari Leonard Cohen; duet dengan Restless Road "Every Breath You Take" dari The Police & lagu spektakuler "Demons" dari Imagine Dragons. Bravo, Jeff.
12 December 2013 Jeff dinyatakan lolos dalam kompetisi tersebut. Lagu "Open Arms" dari Journey dia nyanyikan kemudian.
9. FINALE
18 December 2013 bersama kontestan lain Alex & Sierra dan Carlito Olivero, Jeff melantunkan lagu We Will Rock You dari Queen's. Kemudian dia menyanyikan lagu fantastis "Dream On" dari Aerosmith; "Iris" dari Goo Goo Dolls duet bersama John Rzeznik dan terakhir lagu "Creep" dari Radiohead.
Sesungguhnya malam itu secara kualitas adalah malam Jeff dikarenakan tema Rock diajukan. Lagu bersama yang dinyanyikan bersama sudah cukup untuk membuktikan kualitas ke 3 kontestan tersebut di zona nyaman Jeff. Namun jujur saja saya kurang begitu suka sequens urutan 3 lagu terakhir. Seandainya urutan dibalik kemungkinan akan lebih baik lagi. Lepas dari komentar para juri. Dream on adalah lagu rock murni terhebat yang dibawakan Jeff selama ini. Namun lagu tersebut terasa sangat menguras energi dan seharusnya justru diletakkan di bagian akhir sebagai top klimaks. (Simak dampaknya di dua lagu berikutnya yang walaupun masih tampak bagus namun tampak kurang total ‘greget’nya). Pada akhir lagu Iris Jeff agak ‘telat masuk’ sedangkan Creep walaupun lebih ‘jangkep’ dan bergaya serta penuh penjiwaan daripada ketika audisi namun akhir makna liriknya terasa kurang pas sebagai lagu terakhir seorang True Warrior (pejuang sejati). Harapan terakhir Kelly yang walau terdengar baik namun terasa kurang tepat disimak. Tampak agak mengeksploitasi Talon (yang sesungguhnya tampak tidak suka). Jeff adalah pejuang hebat yang walau mungkin layak memenangkan kontes tersebut karena keunggulan kualitas dirinya dibandingkan yang lain namun tampak kurang kuantitas mayoritas pendukung (yang pastinya akan kalah dengan dasar statistic Itunes dan terbatasnya voting para pendukung di Amerika dibandingkan kontestan duet Alex & Siera). Namun demikian hendaklah kemenangan tidak juga berdasarkan iba empati orang lain (yang pastinya salah). Bagi seorang True Hero (pejuang sejati) bukan sekedar Fake Idol (idola semu) permasalahan Benar dan tidak salah adalah hal krusial yang mendasar untuk diutamakan ketimbang permasalahan Menang atau kalah sehingga harus menghalalkan segala cara (jor-joran voting,dsb). Keberkahan sejati hendaklah diutamakan mengatasi kesuksesan yang walaupun tampak megah di permukaan namun bisa saja semu di kedalaman. (Terdengar agak naïf, lebai atau idealis, ya ? )  
10. RUNNER UP
19 December 2013 adalah hari pengumuman pemenang X factor USA 2013. Voting sudah ditutup.
Jeff Gutt menyanyikan lagu religious "O Holy Night" dari Adolphe Adam. Kembali ini lagu terbaik yang dinyanyikan 3 kontestan yang tersisa walau sayang tidak berarti banyak karena voting sudah ditutup. Walau saya seorang Muslim (dan Insya Allooh selalu tetap istiqomah dengan keimanan saya), namun sebagai pemerhati segala Dharma Ilahiah - saya terkesan ketika mendengarkan keindahan penghayatan suara Jeff dalam menyanyikan lagu gospel gerejani ini. 
NB : JAG Army dan fans Jeff lainnya di Detroit sangat meriah menyambut Jeff lewat tayangan televisi. Namun demikian, saya sangat terkesan dengan perkataan anaknya, Talon yang mengharukan Jeff: I just want to be like you. You're the best daddy ever," “Aku hanya ingin menjadi sepertimu. Kau adalah ayah yang terbaik”. Pernyataan yang sangat polos dari seorang anak yang memandang keberadaan dan semangat perjuangan Jeff sebagai keteladanan adalah lebih daripada cukup baginya untuk senantiasa mencintai, menerima dan menghormatinya sebagai seorang ayah … alih-alih dengan memaksakan secara naïf ‘tuntutan’ keinginan (menjadi dokter?). Menjadi pribadi yang baik sebagaimana yang Tuhan kehendaki perlu diutamakan daripada profesi apapun juga yang Tuhan akan berikan padanya kelak. (Hidup adalah amanah)
Setelah Carlito Oliviero diumumkan tereliminasi (secara terhormat sebagai pejuang yang pantang menyerah sebagaimana Jeff nantinya), Jeff Gutt tampil bersama Alex & Sierra  dengan lagu Love Me Again dari John Newman. Dalam genre lagu yang sesungguhnya merupakan zona nyaman Alex & Siera inipun, Jeff tampak mampu mengimbangi bahkan mengatasinya pada akhir lagu. Namun agak berbeda dengan kala berhadapan dengan Restless Road sebelumnya, ini tidak berpengaruh sama sekali karena Voting memang sudah ditutup dan tinggal diumumkan hari ini.
Dan akhirnya sebagaimana yang telah diprediksi sebelumnya Alex & Siera memenangkan kontes ini dan berhak memperoleh hadiah rekaman berkontrak 1 milyar (selamat !). Sementara Jeff Gutt tereleminasi sebagai runner up (A&S= 8.27 juta vs JAG= 7.9 juta suara).
NB: Terlepas dari hasil final tersebut, saya kembali harus salut kepada Jeff dalam menerima kenyataaan ini dan mensikapi “kegagalannya” ini secara lebih dewasa dan sangat positif (daripada tahun lalu ?). Kepada pemenang Alex & Siera, Jeff mengucapkan selamat dan berharap akan dapat segera membeli album mereka. Jeff juga menghormati Simon Cowell - mentor mereka – yang walau mengakui ketangguhan Jeff namun tentu saja sangat menaruh harapan pada anak asuhnya sendiri (A&S) untuk memenangkannya. Jeff juga sangat berterima kasih kepada mentornya Kelly Rowland yang telah sangat membantunya keluar dari tempurung pembatas potensi dirinya selama ini. Kepada para fansnya, dia juga mengatakan: “I owe you guys everything and I'm not going to give up," (saya berhutang atas segala dukungan anda semua dan saya tidak akan menyerah /untuk berjuang kembali).
PENUTUP  =
Tahun 2014 ini saya tidak terlalu banyak membaca perkembangan Jeff Gutt melalui media. Namun dari sejumlah pemberitaan pada Facebook dan Twitternya, dia tampak mulai kembali bangkit menata hidupnya lagi dan merintis kembali karir sebagai musisi. Merekrut crew band, tour, dan merelease promo baru. Di Youtube dia juga meng-upload lagunya sebagaimana lagu sebelumnya. Ada kedewasaan filosofis yang terasa dari tahun sebelumnya (Hope).  
Well, Dream on till all come true. Whatever it happens, always be a True Divine Warrior. (Baiklah, bermimpi/ berusahalah terus hingga semuanya akan menjadi nyata. Apapun yang terjadi, tetaplah selalu sebagai Pejuang Ilahiah yang Sejati.)

Ad.3. JOKOWI


(broken link now ?)
Ganti sama intinya : Simple/Nature
 Wisdom Quotes of Sutarti's  : ts; 5,10

Tanya : Bu Sutarti, apa yang ingin disampaikan …. Atau Gimana … baiknya pak Jokowi… gimana,sih ?
Jawab :  Ini jujur, ya ? (tawa semua). 
Nggak maksudnya gini … kalau orang .. apa namanya… didorong-dorong cepet jadi gini jadi gini … itu kan yang ngomong gampang. Yang melakukannya kan juga nggak mudah. Bagi kita .. yang deket ya … kita cuma berdoa . kalau itu memang KEHENDAK TUHAN dia ini harus jadi presiden … ya, BIARIN  AJA.
(Dikapitalkan hurufnya .... supaya tidak ada misunderstanding .... kadruners vs cebongers? ) 

PRAKATA =
Almarhum Romo Mangun (YB Mangunwijaya) pernah menyatakan bangsa ini perlu transformasi tidak sekedar reformasi. Karena, sebagaimana Burung yang perlu dua sayap untuk terbang dan Manusia yang perlu dua kaki untuk melangkah; demikian juga bagi bangsa ini yang memerlukan Transformasi dan Transparansi untuk menjalani dan mengatasi kehidupannya. Transformasi adalah pemberdayaan keseluruhan diri,suatu proses metamorfosis perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Dia bukanlah sekedar reformasi,suksesi pergantian di luar namun tanpa perbaikan di dalam.(Sehingga: Walau bentuk system permukaan tampaknya berubah, namun kultur kedalaman agaknya sama saja. Tokoh berganti tetapi tetap tanpa fungsi.) Tampaknya memang Perlu Transformasi pemberdayaan yang sejati bukan hanya untuk kebaikan tetapi juga kemajuan negeri ini. Perlu Transparansi keterbukaan yang sejati bukan hanya untuk kepercayaan tetapi juga untuk keteladanan di negeri ini. Agar dengan demikian Transendensi keberkahan Robbani akan segera terjadi dan kesuksesan duniawi juga Insya Allooh akan mengikuti.
Namun demikian kita para anak bangsa agaknya terlalu naïf untuk memahami hal ini dan (bagaikan lingkaran setan ~ siklus Polybius) sangat sering mengulangi kesalahan sejarah yang sama. Ketika absolutisme demi stabilitas menampakkan dibiarkan maka tampak jelas sisi keburukan kezaliman yang membuat kita muak dan beralih kepada  kebebasan. Ketika liberalisme demi stabilitas kebablasan dan menampakkan sisi keburukan keliaran ; kita kembali muak dan beralih ke kemapanan. Demikian seterusnya terjadi di dunia ini. Manusia memang berpotensi baik (arif & asih) namun cenderung buruk (naïf & liar). Mandala kebersamaan manusiawi yang tidak berlandaskan tiga pilar transformasi, transparansi dan transendensi tampaknya memang telah digariskan oleh-Nya untuk tidak akan menerima keberkahan abadi. Rhetorika visi program walau terkemas (sangat) sempurna namun tanpa realisasi aksi tindakan yang terwujud (walau) sederhana akan percuma. Istighotsah permohonan tetap mutlak memerlukan istiqomah pelayakan agar tidak menjadi sia-sia. Bangsa ini walaupun memang secara alamiah telah terus beranjak tua namun kelihatannya tak akan pernah menjadi dewasa.
Harapan akan mitos Satrio Piningit, Noto nagoro, dan Ratu Adil semula diekspose dan diotak-atik dan dipolitisir pada waktu itu. Wah .. tidakkah kita sadari bahwa tokoh tersebut adalah seluruh putra bangsa. Karena bangsa ini hanya akan bangkit untuk menjadi baik dan maju jika semua putra bangsa (tidak hanya satu satrio atau ratu adil saja) terjaga untuk memberdayakan diri dan bangsanya. 
EPISODES =
Semula saya akan mengutarakan Jokowi - tokoh unik dan aneh (istilah Abraham Samad) baik ketika dia menjabat sebagai wali kota Solo dan gubernur DKI jaya. Saya merencanakan akan menuliskannya bahwa pejabat public yang “Genah tapi Nglumrah” (karena konsisten blusukan bukan pencitraan hanya untuk memikat saja?) – “Mantep tanpo anggep” (potensi tidak sekedar ambisi) dan memandang tugas jabatan sebagai amanah keberkahan bukan musibah kerepotan atau anugerah kewenangan sesungguhnya bukanlah pribadi yang unik dan aneh jika dipandang tersirat dari kedalaman tidak sekedar yang tampak dipermukaan. Politik tidaklah sesuram kutipan pandangan akademisi ataupun intrik kekuasaan politisi birokrasi sebagai sekedar conflict of interest yang dibenarkan untuk kekuasaan belaka. Tidak ada yang salah dengan istilah ‘dharma’ apapun juga karena kesalahan umumnya dilakukan oleh pelaku dalam memandang dan bertindak. Kemasan sistem yang baik bisa saja buruk jika kultur pelaksanaanya tidak baik dengan tidak mementingkan kebenaran namun hanya membenarkan kepentingan saja. Dengan akalnya manusia bisa menjadi mulia dengan 'ngakalke' pemberdayaan bagi dirinya dan kebersamaan secara sadar dan tulus namun dengan akalnya juga manusia bisa menjadi nista dengan 'ngakali' dirinya sendiri dan orang lain secara picik dan licik. Konteks Ihsan Coram Deo (merasa selalu berhadapan dengan Tuhan yang begitu jeli mengawasi bukan saja sebatas pencitraan di permukaan namun hingga lintasan batin di kedalaman) memang mutlak ditekankan ketimbang coram deo (pencitraan duniawi karena merasa hanya berhadapan di dunia ini saja saat ini) apalagi hanya coram ego (pengumbaran nafsu diri untuk berkuasa dan memperdaya sesama). Rela berkorban (waktu dan tenaga) di Jalan AmanahNya bukan tega mengorbankan (kesejatian diri dan orang lain) perlu disadari mereka yang 'terpanggil' menjadi pemimpin bangsa bukan penguasa belaka. 
Namun demikian terpaksa saya harus menunda sementara ini dikarenakan keberadaan 'mas' Jokowi menjadi kandidat di Pilpres mendatang. Agak sungkan menuliskannya dalam waktu ini karena bisa saja walaupun saya hanya ingin mengajukan sisi kemanusiaannya saja (sebagaimana dua pribadi sebelumnya) namun artikel ini bisa disalah-tafsirkan sebagai kampanye politik.
PENUTUP =
Tentang Jokowi mungkin akan saya utarakan lain kali saja. Sementara ini biarkan saja orang lain baik yang pro dan kontra (sekedar kepentingan politik bukan untuk perhatian sisi kemanusiawiannya ?)  yang membicarakannya. (Tasamuh atau Taqiyah = toleran menghargai hak berpandangan orang lain walaupun mungkin tampak berbeda namun semoga saja tetap tersampaikan dengan Haq - Sunni ~ Syiah) 
EPILOG =
Membicarakan kebaikan (bukan mengidolakan) orang lain sebelum tiba saatnya dia berada dalam situasi dan kondisi negatif dalam kehidupannya (tidak sekedar pada situasi kondisi positif belaka) bahkan hingga menjelang akhir kematiannya sebetulnya beresiko juga. Karena manusia walaupun berpotensi baik namun juga cenderung buruk. Bisa saja yang kita puja sekarang akan kita cela pada masa mendatang karena kekhilafan (keburukan dan kesalahan yang bersifat pribadi bukan semata kemalangan atau kegagalan yang bersifat kompleks) selalu saja akan bisa terjadi. Nobody but God is perfect.
Namun demikian, sebagai seeker pembelajar kehidupan kita memang harus selalu membiasakan memandang sesuatu secara berimbang dan tidak berlebihan (Istilah orang jawa = 'ora gampang ngentahke /ora langsung mandheke' = tidak mudah mencela, tidak segera memuja ~  seperti kezaliman kaprah yang menjadi kelaziman lumrah saat ini). 
Setiap pribadi yang berperan dan segala peristiwa yang berlangsung adalah ayat media pembelajaran dari Tuhan untuk memberdaya kita sebagai pengembara keabadian yang melintasi kehidupan dunia ini sesuai dengan amanahNya.  Diberkahilah bumi kebersamaan ini atas kehadiran mereka (yang baik tersirat atau tersurat , langsung ataupun tidak) yang memuliakan Dharma Tuhan melalui persepsi dan refleksi kehidupannya pada lintasan garis samsara perjalanan keabadiannya yang senantiasa berhadapan dalam pembelajaran dan pemberdayaan Tuhan di sini ataupun di sana , saat ini ataupun nanti).
Wasalam

POSTING 

Sabtu, 05 Juli 2014

PILPRES JOKOWI 2014

PILPRES JOKOWI 2014 



PILPRES 2014 JOKOWI


KONSEP PILPRES JOKOWI 2014 (belum jadi)
Sabtu, 05 Juli 2014
KONSEP PILPRES JOKOWI 2014 (revisi lagi)
Kamis, 17 Juli 2014
KONSEP PILPRES JOKOWI 2014 (selesai ah)
Sabtu, 19 Juli 2014

SALAM  ˅ damai  2 JARI ˅ 1 negeri
(Amanah Kepemimpinan Nasional)
Dari Sudut Desa di Pelosok Negeri


Prolog

Kita belajar segala sesuatu dari Tuhan melalui siapa saja dan apapun juga, termasuk internet. Kini adalah saatnya, dan disini adalah tempatnya bagi kita untuk saling berbagi. Tidak hanya sekedar menerima namun  juga untuk saling memberi demi pemberdayaan bersama dalam Wujud, Kuasa, dan Kasih-Nya. .Sejumlah orang, blog, websites melalui media Internet telah banyak membantu kita dalam pencarian dan perolehan data yang kita perlukan. Ini saat dan tempat kita untuk saling asah, asih dan asuh dengan saling berbagi (reload data penting) dan ‘membalas budi’ (upload karya pribadi) bagi kemanfaaatan pemberdayaan pengguna internet lainnya.
Pilpres 2014 ini ternyata cukup mengesankan bagi sebagian besar warga bangsa Indonesia lainnya karena baru kali ini tampaknya benar-benar bisa ‘buat rame’ berpartisipasi aktif tanpa perlu mobilisasi eksternal dari siapapun saja atau apapun juga. Ini bahkan terasa melebihi Pemilu 1998 pada awal reformasi dulu (ada kegairahan yang lebih besar ketimbang sekedar pengharapan belaka). Mau tidak mau akhirnya blog ini walau tidak dimaksudkan bersifat politik (secara pribadi saya memang kurang interest dengan masalah politik dan manuvernya dikarenakan saya sesungguhnya hanya tertarik dengan pencerahan kesadaran gnosis keabadian dan kecakapan wajar dharma pembumi saja) namun demikian karena ini juga berkaitan dengan totalitas perjalanan hidup pada garisNya, tanpa maksud provokatif terpaksa ikut-ikutan bikin rame juga,ah. Semoga jika walau tidak bisa membantu namun tetap tidak mengganggu. Semoga ini (keterlibatan tanpa kemelekatan sehingga tetap ada keberimbangan walau dalam keberfihakan) tidak membebani atsar kehidupan nanti. Saya akan berusaha adil dan arif dengan melandaskan pembahasan artikel ini pada sejumlah hadits arbain Imam Nawawi untuk maksud pemberdayaan dalam bulan suci Ramadhan ini dan semoga bukan untuk memperdayakan. Semoga Tuhan mengarahkannya dalam pencerahan karena saya dengan segala keterbatasan dan pembatasan yang ada (mungkin juga termasuk keberfihakan walau dalam keberimbangan sekalipun) sama sekali tidak berniat untuk melakukan penyesatan. 


A. Demi Keberkahan Untuk Jokowi
HADITS KEDUAPULUH SATU
عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ . قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
[رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث   :
“ Yaa rosuulalloohi, qullii al islaami ~ qoulaan laa as-alu ‘anhu ahadan ghoiroka.”
 “ Qul aamantu billaahi – tsummas taqim.”
Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- Abu ‘Amrah, Suufyan bin Abdillah Ats Tsaqofi radhiallahuanhu dia berkata, saya berkata : Wahai Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, katakan kepada saya tentang Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu. Beliau bersabda: Katakanlah: saya beriman kepada Allah, kemudian berpegang teguhlah.
(Riwayat Muslim).
1. IJTIHADAH
Ijtihad bukanlah hak para orang yang melabelkan diri dengan nama ulama saja tetapi bagi setiap hamba Allooh bahkan makhlukNya yang lain dalam membentang pandangannya untuk menentukan pilihan. Ijtihad (dalam pengertian lughoh ilmiah dan tidak selalu “syar’i fuqoha”) bukan hanya monopoli kelompok para ulama yang meng-klaim sesuai hadits sebagai “pewaris Nabi” (harusnya untuk amanah kebenaran bukan untuk label pembenaran kekuasaan) apalagi jika memiliki maksud tersirat walau tak terungkap secara picik dan licik dengan mengharamkan pasangan capres/cawapres tertentu hanya dikarenakan memiliki pandangan yang berseberangan. Ditambah lagi sejumlah kampanye hitam yang bukan hanya menyudutkan namun sudah menjurus pembunuhan karakter yang sadis dan sistematis dengan ghibah dan fitnah yang sama sekali jauh dari nilai-nilai Islami dari sejumlah tokoh/ ormas partai berlabel islam. Secara pribadi (yang seharusnya juga tetap Robbani – untuk kaffah dengan menjalani kebenaran ilmuNya), saya sangat menyayangkan hal ini. Empati kemanusiaan tentunya akan mengusik nurani kita semua jika kita jujur mengakuinya. Jokowi (dan juga JK) adalah pribadi yang tentu saja (sama sebagaimana kebanyakan kita manusia lainnya) bukanlah figure sempurna (dimana senantiasa ada kelemahan disamping kebaikannya … selalu ada kekurangan disamping kelebihannya). Namun demikian bukankah mereka adalah pribadi yang relative lebih baik dari yang ada  sehingga rakyat kemudian membela, meminta dan mendukungnya ketika mereka kemudian ‘terpaksa/suka-rela’ bersedia  menerima amanah kepemimpinan nasional yang ditawarkan kepada mereka). Track record mereka sebagai pribadi-pun pada kenyataannya sesungguhnya (jika kita mau jujur mengakui) tidak seburuk yang kita ingin anggapkan kepada diri kita dan orang lain ~ asalkan dilakukan tanpa adanya tekanan akan kepentingan atau desakan untuk kebanggaan diri saja. Pengharapan akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari rakyat (yang memilih atau tidak memilihnya) juga tidak bisa disalahkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka maju sebagai kandidat pilpres 2014 ini. Dengan tanpa menafikan kehadiran kandidat lainnya (yang akhirnya resmi: Prabowo – Hatta) dan juga tiada maksud untuk mengabaikan keberadaaan tokoh lainnya (yang belum ‘beruntung’), simpati kepribadian, empati kemanusiaan dan pengharapan perbaikan akhirnyalah yang kami jadikan tiga alasan utama untuk membelanya untuk kebaikan bersama, menjaganya demi keberkahan nantinya dan memilihnya untuk memulai keberhasilan perjalanannya.
Besar harapan kami (baca: yang tetap istiqomah dalam pengharapan kepada Tuhan untuk menjadi media ‘pengantar’ bagi keterpilihan mereka) bahwa mereka akan bersegera melakukan 3 (tiga) hal besar bagi bangsa dan negeri ini: Transformasi perbaikan, Transparansi keterbukaan dan Transendensi keberkahan.
a. Transformasi Perbaikan
Transformasi perbaikan memang bisa dilakukan oleh siapa saja namun demikian akan relative bisa segera dilakukan jika dilakukan oleh ‘orang baru’ yang belum tercemari, terbebani serta tersandera oleh kelompok kepentingan politis tertentu. Walaupun mungkin baru sebatas wacana, kerja sama tanpa syarat tampaknya lebih memberikan jaminan akan adanya kesegeraan bagi pemberdayaan dan bukan menundanya untuk keterpedayaan. Paradigma ideal ini walaupun diakui ‘populis’ oleh sebagian besar rakyat namun pastilah tidak “popular” bagi para ‘wakil rakyat’ (yang karena beaya politik dan mesin partai yang relative besar dalam peraihan suara yang mengantarkan mereka maka dirasa perlu untuk balen ‘balik modal’ dan baten ‘keuntungan fasilitas financial dan jabatan structural’ selanjutnya.) Jika konstelasi politik kemudian menjadikan fihak ‘koalisi rakyat’ yang akan menjadikannya kuat nantinya namun akan “lemah” pada awalnya itu sudah dapat diprediksi sebelumnya (karena bukankah kecenderungan politik yang menjadikan kekuasaan sebagai obyek dan bukan kebenaran sebagai subyek memang akan menjadikan demikian halnya ?). Saya justru memandang problematika ini sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan politik dari Tuhan yang baik bagi bangsa ini karena akan ada perimbangan kekuatan di legislative dan eksekutive nantinya.
 Jika transformasi berjalan benar, maka mungkin akan ada ‘quantum leap’ (lompatan perbaikan) yang akan mengatasi otoritarianisme ‘rezim’ presidential dan oportunisme ‘mafia’ parlementer dan menggesernya kepada demokrasi kerakyatan yang sesungguhnya (mufakat demi kemaslahatan rakyat, bangsa dan Negara ini bukan sekedar ‘adu voting kekuatan’ apalagi perselingkuhan/ penyelewengan yang bukan hanya mengakibatkan chaos politik tetapi juga respek publik terhadap kepentingan mereka masing-masing). Untuk itu diperlukan unsur ke-dua yang sangat vital dimana rakyat ‘perlu tahu’ dan ‘ambil bagian’ dalam pembelajaran dan pemberdayaan bangsa dan negaranya melalui media massa yaitu Transparansi keterbukaan.    
b. Transparansi Keterbukaan
Peristiwa itu adalah fakta yang terjadi namun sejarah bisa saja tercipta  - sehingga dalam dinamika perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara terkadang sesuatu bisa direvisi atau dirubah berdasarkan sudut pandang kepentingan yang berbeda tergantung pada siapa yang ‘berkuasa’ saat itu (His-story bukan History ?).  Dusta publik bisa saja terjadi sementara dampak karmic – mau tidak mau -  harus dialami (bukan hanya pada pelaku namun juga termasuk mereka yang di luar lingkaran kepentingan namun berada pada bahtera yang sama). Walaupun terkadang kami bisa menerima kerahasiaan (selama itu memang demi kemaslahatan bersama dan bukan sekedar untuk pengelabuan sesama) namun demikian keterbukaan sebagai suatu kebijakan (baca: ‘kebijaksanaan’ yang mementingkan kebenaran dan bukan ‘kebijaksinian‘ untuk membenarkan kepentingan belaka) tampaknya lebih ‘fair’ untuk dilakukan (agar upaya ‘amar ma’ruf – nahi munkar‘, saling asah, asih dan asuh  bisa dilakukan bersama dalam kepercayaan, demi keberdayaan dan untuk kebersamaan kita semua sebagai putera bangsa/ warga negara).
Saya rasa ini bukan sekedar mimpi yang indah belaka jika saya mendambakan keberadaan demokrasi dalam control langsung oleh rakyat disamping pemanfaatan fasilitas  mass media dan kotak saran yang ada jika negara ini juga  menghadirkan cyber area/ digital city yang memungkin rakyat berhak segera tahu dalam meng-akses regulasi program (atau proyek?) yang akan dibuat /dijegal (?), budgeting/ auditing yang sedang berlangsung, informasi pembangunan/penyelewengan yang terjadi, dlsb.  Untuk kemudian mereka diberikan kesempatan juga untuk sumbang saran demi kebaikan dan perbaikan negerinya. Ini  bukan berarti rakyat meragukan para wakilnya  namun hanya mengingatkan, menegaskan dan bahkan menguatkan  agar mereka  tidak  melupakan atau mengabaikan amanah kepercayaan yang diberikan kepadanya. Besar harapan generasi muda (pelajar, mahasiswa,pemuda, dsb) diberi kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran dan pemberdayaan bagi kesiapan dan persiapan bagi estafet kepemimpinan nasional nantinya. Namun demikian itupun harusnya ada filter kategorisasi dari saran rakyat yang masuk (apakah hanya asal bunyi saja ataukah memang saran nyata adanya, apakah sarat dengan pembenaran kepentingan tertentu ataukan memang semata untuk mementingkan kebenaran bersama, apakah hanya sekedar impian utopis ataukan memang cukup realistis untuk dilaksanakan secara effektif, effisien dan ekonomis) 
Transparansi publik sangat diperlukan terutama pada saat reformasi ini dimana ada celah kesenjangan ke-tata-negaraan dalam keberimbangan penyelenggaraan pemerintahan paska amandemen UUD 1945. Para pendiri bangsa secara bijaksana sesungguhnya sudah memperkirakan kemungkinan pemilahan kekuatan (bukan sekedar pemisahan kekuasaan politis belaka atas ‘trias politica’: legislative, eksekutif dan yudikatif) ini sebelumnya. Kalaupun ada ‘penyelewengan’ di kemudian hari (masa ‘demokrasi terpimpin’ orde lama dan masa ‘rezim presidensiil’ orde baru) sebetulnya itu lebih dari kenaifan penafsiran ‘hukum’ dan keliaran pelaksanaan ‘etika’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya kedaulatan MPR (sebagai perengkuh Haq amanah bagi seluruh ‘wakil’ rakyat bukan hanya DPR namun juga DPD disamping media suara rakyat lainnya untuk menjaga parlemen agar tidak terjerumus sebagai ‘mafia’ mesin politik belaka dalam perselingkuhan transaksional yang walau sesungguhnya tidak halal untuk dibenarkan secara etika tetapi tampak ‘legal’ tidak disalahkan secara hukum dalam era demokrasi liberal paska kemerdekaan dan setelah reformasi) dan kewibawaan DPA (sebagai penasehat Haq amanah pemerintahan seluruh ‘wakil’ rakyat bukan hanya pada level kepresidenan namun juga bagi jajaran ‘raja kecil’ kepemimpinan di tingkat bawahnya seperti gubernur, walikota, bupati hingga tingkat desa agar tidak terjerumus sebagai ‘rezim’ mesin politik belaka dalam penyelewengan terlegitimasi yang serupa dalam era demokrasi terpimpin orde lama dan bahkan orde baru walau berlabelkan ‘demokrasi pancasila’). Dalam setiap dharma (walaupun itu politik ) aktualisasi nilai kebenaran adalah lebih utama daripada sekedar pembanggaan identifikasi label, defisiensi kepentingan apalagi eksploitasi pembenaran. Senantiasa ada Haq tanggung jawab yang besar dari setiap hak wewenang yang diberikan rakyat kepada para wakilnya (baik ditingkat parlemen maupun kepresidenan dan produk jabatan sebelum dan sesudahnya).  Walaupun keberadaan lembaga baru yudikatif (Mahkamah Agung yang kemudian secara inovatif dipilah menjadi Mahkamah konstitusi, komisi yudisial disamping mahkamah agung sebelumya) tetap dihargai kedudukan dan peranannya namun demikian walaupun berkoridor ‘legalitas’ hukum yang terlegitimasi sekalipun jika tanpa ethika ‘good will’ yang benar inipun akan rentan dengan penyelewengan, perselingkuhan bahkan penyesatan selama berada di pemangku jabatan yang tidak/kurang benar. Pada setiap jabatan sangat diperlukan pengembanan amanah yang bukan hanya ‘qualified’ dari segi keahlian namun juga ‘bonafide’ dalam hal kearifan dan berintegritas dalam kebaikan agar pengamanan kebaikan bisa terjaga dan kemajuan perbaikan bisa terlaksana. Agar tiada lagi arogansi kepicikan dan rasionalisasi kelicikan maka transparansi publik yang sesungguhnya berperanan besar tidak hanya sebagai gerbang pertama namun juga benteng terakhir haruslah dihargai (tidak diabaikan) keberadaannya dan diberdayakan (tidak diperdayakan) kedaulatannya. Vox populi, vox Dei …. Pada hak suara rakyat yang diberikan ada Haq suara Tuhan yang harus ditegakkan. Dan ini mengantar kita pada ketinggian pandangan dan kedalaman landasan setelah keharusan transformasi perbaikan dan keperluan transparansi keterbukaan yaitu Transendensi keberkahan.
c. Kebijakan Transendensi
And .. finally … the last but not the least (dan akhirnya yang paling akhir walau bukan yang paling remeh – karena inilah sesungguhnya muara dari ke dua hal di atas) adalah Transendensi keberkahan. Revolusi Mental , restorasi nasional atau apapun istilahnya nanti haruslah melandaskan pada transendensi keberkahan Ilahi.  Tentang hal ini saya pernah posting artikel pada blog ini, antara lain sebagai berikut:
Almarhum Romo Mangun (YB Mangunwijaya) pernah menyatakan bangsa ini perlu transformasi tidak sekedar reformasi. Karena, sebagaimana burung yang perlu dua sayap untuk terbang dan Manusia yang perlu dua kaki untuk melangkah; demikian juga bagi bangsa ini yang memerlukan Transformasi dan Transparansi untuk menjalani dan mengatasi kehidupannya. Transformasi adalah pemberdayaan keseluruhan diri,suatu proses metamorfosis perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Dia bukanlah sekedar reformasi,suksesi pergantian di luar namun tanpa perbaikan di dalam.(Sehingga: Walau bentuk system permukaan tampaknya berubah, namun kultur kedalaman agaknya sama saja. Tokoh berganti tetapi tetap tanpa fungsi.) Tampaknya memang Perlu Transformasi pemberdayaan yang sejati bukan hanya untuk kebaikan tetapi juga kemajuan negeri ini. Perlu Transparansi keterbukaan yang sejati bukan hanya untuk kepercayaan tetapi juga untuk keteladanan di negeri ini. Agar dengan demikian Transendensi keberkahan Robbani akan segera terjadi dan kesuksesan duniawi juga Insya Allooh akan mengikuti.
Namun demikian kita para anak bangsa agaknya terlalu naïf untuk memahami hal ini dan (bagaikan lingkaran setan ~ siklus Polybius) sangat sering mengulangi kesalahan sejarah yang sama. Ketika absolutisme demi stabilitas menampakkan dibiarkan maka tampak jelas sisi keburukan rezim kezaliman yang membuat kita muak dan beralih kepada kebebasan. Ketika liberalisme demi stabilitas vitalitas kebablasan dan menampakkan sisi keburukan mafia keliaran; kita kembali muak dan beralih ke kemapanan. Demikian seterusnya terjadi di dunia ini. Manusia memang berpotensi baik (arif & asih) namun cenderung buruk (naïf & liar). Mandala kebersamaan manusiawi yang tidak berlandaskan tiga pilar transformasi, transparansi dan transendensi tampaknya memang telah digariskan oleh-Nya untuk tidak akan menerima keberkahan abadi. Rhetorika visi program walau terkemas (sangat) sempurna namun tanpa realisasi aksi tindakan yang terwujud (walau) sederhana akan percuma. Istighotsah permohonan tetap mutlak memerlukan istiqomah pelayakan agar tidak menjadi sia-sia. Bangsa ini walaupun memang secara alamiah telah terus beranjak tua namun kelihatannya tidak mau menjadi dewasa. Pengalihan harapan akan kehadiran tokoh mitologis Satrio Piningit, Noto nagoro, dan Ratu Adil semula diekspose dan diotak-atik dan dipolitisir pada waktu itu (bahkan hingga saat ini ternyata). Perlu difahami dan disadari bahwa tokoh tersebut adalah seluruh putra bangsa. Karena bangsa ini hanya akan untuk menjadi baik dan maju jika semua putra bangsa (tidak hanya satu satrio atau ratu adil saja) terjaga untuk memberdayakan diri dan bangsanya.
Secara pribadi, sesungguhnya saya memandang Transendensi keberkahan ini hendaknya diletakkan pada posisi tertinggi mengatasi lainnya sebagaimana kelayakannya (sila pertama Dasar Negara Panca Sila adalah KeTuhanan Yang Maha Esa – Transendensi Kerobbaniahan yang mengatasi/melandasi sila berikutnya : Kemanusiaan (Kemanusiaan yang adil dan beradab) – Kebangsaan (Persatuan Indonesia) – Kerakyatan (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjaksanaan dalam permusyawaratn/perwakilan) – Keadilan (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Tentu saja transendensi ini (dan juga yang lainnya) lebih bersifat aktualisasi nilai dan bukan sekedar identifikasi label, defisiensi kepamrihan apalagi eksploitasi pembenaran belaka.  Kehidupan ini (termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara) pada dasarnya hanyalah media permainan keabadianNya belaka bagi pembelajaran dan pemberdayaan kita semua. Hanya dengan berorientasi pada keberkahanNya proses perjalanan bangsa ini akan mencapai kebaikan dan perbaikan yang sesungguhnya. Bukan berarti saya tidak menghargai konsep ideologis konstitusi dan regulasi perundangan yang telah susah payah difikir, dibahas dan diputuskan; namun jika saja itu tidak dilaksanakan benar-benar dengan sebenar-benarnya maka itu akan percuma saja. Permasalahan utama adalah bagaimana cara kepemimpinan nasional tersebut dilaksanakan bukan sekedar model pemerintahan atau kemasan perundangan yang di’pakem’kan sebagai yang ideal. Sesungguhnya tidak ada yang sempurna dari system artificial apapun (termasuk politik) di dunia ini – jika system tersebut sempurna maka dia tidak akan bisa berjalan. Setiap thesis pemikiran senantiasa menghadirkan antithesis di ujung lainnya dan karenanya senantiasa diperlukan synthesis penyeimbang pada triade dialektika pandangan di antaranya agar terjadi keseimbangan dalam pandangan dan keberimbangan dalam tindakan. Senantiasa ada celah dari setiap bangunan yang ada  karena ruangan hampa tersebut memang diperlukan bagi pergerakan unsur di dalamnya untuk memberdayakan kebersamaan dan bukan untuk memperdayainya. Sistem presidensiil memang memungkinkan pemerintahan yang stabil untuk melakukan pembangunan namun kenaifan otoritarianisme yang dimilikinya juga memungkinkan terjadinya rezim yang begitu kuat dan sangat rentan untuk penyelewengan (zaman demokrasi terpimpin orde lama dan era demokrasi orde baru). Demikian juga system ‘parlementer’ yang memberikan ruang gerak politik bagi “kemeriahan” cita-rasa demokrasi di permukaan namun keliaran liberalisme yang dimilikinya juga memungkinkan terjadinya mafia yang begitu kuat dan sangat rentan untuk penyelewengan (zaman demokrasi liberal awal kemerdekaan dan era demokrasi reformasi). Sementara jika keduanya dipadukan secara naïf mungkin saja timbul perselingkuhan demikian juga jika dipisahkan secara liar akan mengakibatkan perselisihan di antara ke duanya. Mandala kebersamaan manusiawi yang tidak berlandaskan tiga pilar transformasi, transparansi dan transendensi tampaknya memang telah digariskan oleh-Nya untuk tidak akan menerima keberkahan abadi. Dan inilah sebabnya disamping upaya transformasi perbaikan negeri dan transparansi keterbukaan bangsa sangatlah utama untuk meletakkan transendensi keberkahan Ilahi di atas segalanya. Dalam permainan keabadianNya yang disebut kehidupan ini, kita berada dalam biduk bahtera yang sama sebagai putera bangsa dan warga negeri Indonesia untuk saling memberdaya bukan saling memperdaya, untuk saling menguatkan bukan saling melemahkan, untuk saling mendukung bukan saling menjatuhkan demi kebersamaan dan untuk keberdayaan Indonesia sebagai negeri yang diberkahi oleh TransendensiNya dikarenakan transformasi perbaikan dan transparansi keterbukaan yang kita lakukan sesungguhnya hanyalah demi ridhoNya (ilallooh = lillaah, billaah dan fillaah – untuk, dengan dan dalam keIlahian). 

2. ISTIQOMAH
Umumnya untuk kampanye, slogan seperti Indonesia hebat atau Indonesia bangkit tampak begitu dahsyat .. mewah dan megah terdengar. Namun saya justru lebih terkesan dengan slogan kepemimpinan nasional Jokowi – JK yang bersih, merakyat dan sederhana walaupun terdengar bersahaja saja bagi orang lain namun bagi saya itu adalah terminology yang lebih bernuansa dan mengena ketimbang slogan bombastis sebelumnya. Dari pengamatan dan pengalaman , saya berasumsi bahwa kesempurnaan selalu lahir dari rahim kesederhanaan robbaniyah (bukan sekedar untuk membuai pembanggaan nafsaniyah saja) untuk kemudian secara alamiah hadir, hidup dan tumbuh berkembang dalam pelayakan keberkahan Ilahiyah (tidak sekedar pembenaran kepentingan belaka). Singkatnya, keistiqomahan diri dalam mementingkan kebenaran Ilahi hendaknya diletakkan di singgasana tertinggi daripada sekedar upaya pembenaran kepentingan belaka agar kemudian kita bisa mensikronisasikan niat, cara, hasil dan dampak keberkahan di JalanNya (lillaah, billaah, fiillaah) dan tidak melazimkan kezaliman dan membenarkan kesalahan dalam mencapai tujuannya (ilaya, ilainaa, ilaihim).  
NB = Pesan Sederhana tentang Kesederhanaan untuk Pak Jokowi
Saya menyadari bahwa Pak Anies Baswedan berkata benar (agar kita semua) jangan pernah bandingkan seorang Jokowi (ataupun yang lainnya termasuk diri kita sendiri) dengan kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan bukan milik kita para makhlukNya yang menjelajahi keabadian menempuh kehidupan dengan segala keterbatasan yang ada secara Ilahiah dan pembatasan yang di-ada-kan secara alamiah (terlebih pada saat dimana bapak banyak disudutkan dengan sejumlah “pembunuhan karakter yang sadis dan sistematis” dari fihak yang tidak menginginkan keberadaan, kehadiran dan kemenangan bapak dalam pilpres 2014 ini ditambah lagi sebagai ‘korban media’ yang sejak semula diidolakan karena aktualisasi ‘prestasi’ diri yang membuat ekspektasi publik untuk kesempurnaannya menjadi terlalu tinggi dan bisa dimaklumi jika itupun semakin mengundang kecemasan dan kedengkian di fihak lainnya.) Maafkan saya jika selama ini saya mungkin memang dipandang sebagai bukan pembela yang ‘baik’ sebagaimana yang diharapkan rekan saya para pendukung anda lainnya dikarenakan di permukaan tampak tidak ‘tulus’ untuk selalu membenarkan kepentingan bapak bukan hanya pada saat lalu namun mungkin juga akan demikian nantinya (seperti pada saat debat pilpres ke-dua: http://pemilu.metrotvnews.com/read /2014/06/16/253154/ soal-singkatan-jokowi-pemerintah-harus-ngerti-donk) saya mengatakan sebagai berikut:
Maaf ... jika saya agak berbeda pendapat demi keberkahanNya. Saya perlu membela yang dizalimi dan harus mencegah yang menzalimi (agar tidak terjadi lagi pelaziman kezaliman selanjutnya). Walau saya pendukung yang sering membela pak Jokowi kala dicela (masalah SARA, dll) saya perlu melakukan kritik berkaitan dengan 'penzaliman'/'kefasikan'/’kekhilafan’ akan perkataan (Kita ini kan mau pegang pemerintahan jadi harus tahu singkatan. Pemerintah harus ngerti donk. DAU, DAK, TPID harus tahu ) ini. Saya tidak meragukan keunggulan kualitas pengetahuan, pengalaman dan pembuktian pak Jokowi dalam pemerintahan daripada pak Prabowo. Walaupun banyak orang mungkin memandang bapak lebih tinggi (karena tahu singkatan, dll) namun adalah tidak haq bagi Pak Jokowi untuk merendahkannya. Walaupun memang kenyataannya demikian, namun perkataan itu adalah kesombongan (yang tersirat),pak. Istighfar, Islah dan kembalilah sederhana (Tawadhu) seperti dulu sebagaimana harusnya. Debat Pilpres bukanlah acara Cerdas Cermat. Pilpres bagi rakyat Indonesia adalah media demokrasi bukan hanya sekedar menghadirkan pemenang untuk berkuasa (dengan kebanggaan) tetapi haruslah melahirkan negarawan untuk memimpin (dengan keteladanan). Perlu empati kearifan yang mencakup keseluruhan agar bisa mengayomi kebersamaan. Keahlian dan ‘kebaikan’ tanpa kearifan akan membawa kenaifan berpandangan dan keliaran tindakan nantinya sebagaimana konsep keimanan dan ritual keislaman tanpa roh keikhlasan ihsan akan membawa diri dalam kefasikan dan kemunafikan belaka. Tuhan telah mengarahkan pak Jokowi melalui pembelajaran tersirat tentang kearifan dari sikap kenegarawanan ini melalui pidato Pak Prabowo saat deklarasi dan sikap sportifnya saat debat capres tadi (sesi ekonomi kreatif). Jangan tertekan untuk ingin jadi pemenang karena ini bukanlah persaingan dan tak perlu menghancurkan lawan karena ini bukan perang. Ketulusan dukungan dan keikhlasan sumbangan kami hanyalah untuk keberkahan perjuangan : Benar dan Tidak Salah (tidak masalah : menang atau kalah – karena itu adalah Haq Mutlak Tuhan melalui hak seluruh rakyat yang menentukannya. Segalanya adalah baik adanya jika disikapi dan dijalani secara arif). Kami khawatir bukan hanya simpati rakyat namun berkah Ilahi akan menjauh karenanya. Sehingga sebagaimana do’a Musa (QS 20: 25 – 28) sukses diterapkan pada debat sebelumnya , amanah ayat ini (QS 20: 44) perlu kami sampaikan kepada pak Jokowi demi keberkahanNya.
Kita semua sesungguhnya adalah makhluk spiritual yang menjalani amanah sebagai manusia ketimbang manusia yang menjalani tugas spiritual dalam kehidupan ini. Disana atau disini, saat ini ataupun nanti – kita selalu berhadapan dengan Tuhan (Sutradara Agung permainan keabadian yang disebut kehidupan ini). Segala peristiwa adalah media pembelajaran dan pemberdayaan kebijakanNya untuk kebajikan kita. Teruslah memberdaya diri, janganlah terperdaya apalagi berusaha memperdayai. (QS 59: 18 – 20). Jadilah tinggi namun jangan merendahkan. Siapkan diri dulu semoga garisNya layak diberikan.
Salam Pencerahan 2 jari – semoga pak Jokowi (tidak salah) mengerti.
QS 20 Thoha: 25 – 28 =
Qoola : Robbisy syrohlii shodrii ; wa yassirlii -amrii ; wahlul ‘uqdata(n/m) mi(n/l) lisaani ; yafqohuu qoulii (25. berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku 26. dan mudahkanlah untukku urusanku, 27. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, 28. supaya mereka mengerti perkataanku,)
Do’a ini konon berasal dari ibunda Pak Jokowi yang secara bijaksana mengharapkan Bapak untuk tetap tawadhu berdo’a kepada Tuhan kala menjalani debat pilpres ke-dua bukan hanya untuk kelancaran ‘pemenangan’ belaka namun juga memohon keberkahan di hadapanNya juga. Sedangkan QS Thoha : 44 adalah Firman Tuhan kepada Musa kala menghadapi/berbicara kepada Fir’aun:
QS 20 Thoha: 44 =
Wa qoulaa lahu qoulaa(n/l) layyinaa(n/l) la’allahu ~ yatadzakkaru aw yakhsyaa (44. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".)
Ini adalah ayat amar ma’ruf – nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran) yang sejati. Ayat ini digunakan oleh seorang umaro (Al Makmun) ketika menyadarkan seorang ulama yang selalu menghujatnya. Jadi jangan salah mengerti (karena walau saya memang tidak semulia Musa namun sebagai pendukung salahkah saya jika merasa perlu menjaga Haq anda untuk tidak menjadi takabur walau secara umum/awam anda dapat dibenarkan untuk menggunakan hak tersebut.). Sebagai sesama makhlukNya mementingkan kebenaran Ilahi (dengan tetap tawadhu di hadapan Ilahi dan karenanya kita juga perlu untuk tetap santun di hadapan manusia) adalah lebih utama daripada sekedar membenarkan kepentingan (termasuk pembanggaan kemenangan) kita semata, kan ?  Saya tetap menerima kecaman dari rekan pendukung lainnya saat itu  dan saya merasa bersyukur kala kemudian ternyata di media sosial internet akhirnya saya juga menemukan banyak rekan pendukung yang walau tetap istiqomah mendukung anda namun tetap bersedia dan  berusaha untuk kritis menjaga keberkahan kepemimpinan nasional bapak di hadapanNya jika terpilih kelak. Dengan tidak membabi-buta membela kepentingan diri semata (apalagi dengan cara mencela lainnya) setidak-tidaknya kami tidak akan melakukan banyak penzaliman yang akan memperdaya kita semua (diri kami sendiri, diri bapak dan diri fihak lainnya serta terutama bangsa dan Negara ini kelak).       
QS 59 Al Hasyr = 18 – 20: Ini adalah rangkaian ayat muhasabah & mujahadah
18) Yaa ayyuhalladziina aamanut taqullooha. wal tanzhur nafsum maa qoddamat lighod(in); wat taqullooha inallooha khobirun bimaa ta’maluun; 19) wa laa takuunu kalladziina nasullooha fa ansahum anfusahum ~ ulaa-ika humul faasiquun; 20) Laa yastawi ashabun naari wa ashabul jannati/h ~ Ashabul jannati humul faa-izuun.
18) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ; 19) Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. ; 20) Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.
Tentang Tadabur ayat = muhasabah & mujahadah
[59.18] Kehidupan saat ini hanyalah satu titik dari perjalanan keabadian diri.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtul khalqa fabi ‘arafu-ni,” (= “Aku pada mulanya adalah harta tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”, Hadits Qudsi ?). Tuhan adalah Dzat Mutlak yang keluhuranNya (kuasa dan kasih) melingkupi apapun juga namun kekudusan (wujud dan DiriNya) tak terjangkau siapapun juga. Tuhan adalah wajibul wujud (Dzat dengan keberadaan mutlak) sedangkan makhluk hanyalah mumkimul wujud (Sesuatu yang keberadaannya sekedar diadakan atau bahkan bisa saja ditiadakan olehNya). Kita sesungguhnya hanyalah media fana yang sekedar memantulkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dimana sekedar merealisasi fitrah kerobbanian diri (mewujudkan kesadaran akan kewajaran tersebut) dengan tanpa terlalu mengindentifikasi untuk ‘memancarkan’ ananiyah nafsani maupun berdefisiensi ‘mengharuskan’ kepamrihan duniawi. Ketawadhuan dan keikhlasan memang suatu kelayakan untuk merealisasikan rasa Syukur akan kesempatan untuk keberadaan dengan rasa Shabar (istiqomah – mantap mensikapi, menjalani dan mengatasi permasalahan yang ada sebagai sarana tarbiyah pemberdayaan diri) .
Laa Ilaaha Illallooh  – Huwa Maujud. (Al Kholq)  Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya) Maha Ada. Dialah Hyang Maha Wujud dari segala keberadaan; Hyang Maha Kuasa pada setiap kenyataan ;  Hyang Maha Kasih dalam semua kebenaran. BagiNya segala wujud keberadaan, ibadah persembahan dan tujuan pengarahan.
Laa ilaaha illalloohu – Huwa Ma’buud. (Al Haqq). Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya layak dan harus) disembah. Segala tindak peribadahan (zahiriah/batiniah) hanya dipersembahkan dari, oleh, dan untuk kemuliaanNya. Para arif yang sadar keberadaan dirinya sebagai pengembara keabadian sekaligus pemberdaya kehidupan senantiasa memandang baik disini maupun disana, sekarang ataupun nanti dia selalu berhadapan dengan kemuliaan, pengawasan dan perawatanNya. Dunia dan akherat hanyalah dimensi yang terpilah bukan esensi yang terpisah. Segala yang dilakukan (baik batiniah, lisan atau tindakan) akan selalu dinilai dan kembali kepadanya juga /entah disini atau disana, entah saat ini maupun nanti./
Laa ilaaha illalloohu – Huwa Maqshud. (al Baq) Tiada Tuhan selain Allooh – Hanya Dialah (yang sesungguhnya layak dan harus) dituju. Segala tindak peribadahan (zahiriah/batiniah) hendaklah dilaksanakan secara lillaah, billah dan fillah. Lillaah maksudnya hanya untuk Allaah (Rodhiyah = keikhlasan diri). Segala amalan hendaknya dilakukan hanya untuk mencari keridhoan Allah. Hindari dari kefasikan untuk men-dua-kanNya dengan kepamrihan nafsaniyah untuk bermegahan di majlis dunia yang fana. Ilallooh (untuk Allooh) bukan ilayya (untuk kebanggaanku), ilainaa (untuk kepentingan golongan kami), ilaihim (untuk kepentingan mereka). Billaah maksudnya hanya dengan Allaah (Mardiyah = Allloh meridhoi). Terhindar dari kefasikan untuk men-dua-kanNya dengan kebanggaan nafsaniyah diri untuk bermegahan di majlis dunia yang fana. Hanya dengan karunia panduan hidayah dan bantuan segala amalan usaha kita bisa terjadi. Seandainya Allaah tidak memberikan anugerah kehidupan, inayah kesempatan dan hidayah kesadaran mustahil amalan bisa dilakukan. Fillaah maksudnya dalam Allaah (Kamilah ?= ketawadhuan sejati merasa sekedar media biasa bukan sebagai figure sempurna?). Terhindar dari kefasikan akan kemelekatan diri. Tanpa kita sekalipun Tuhan sesungguhnya mampu merealisasikannya melalui media lain yang dikehendakiNya. Kesadaran Realisasi reflektif (perwujudan – sekedar media pemantulan X pancaran hakiki) bukan identifikasi ananiyah (kebanggaan pengakuan untuk pembenaran) apalagi defisiensi duniawi (kepamrihan perolehan dalam kepentingan).
[59.19] Jadilah pribadi 10 tidak sekedar 01 apalagi 0 belaka.
Dr. Ali Shariati melambangkan 1 adalah Hyang Esa, 0 adalah makhlukNya.  Meminjam istilah beliau ; berikut adalah paradigma kerobbanian yang menjadi orientasi awal bagi ketawaddhuan yang juga akan kembali menjadi  realisasi akhir bagi kecerdasan manusia. (*) = 1 tetap bernilai walau 0 tidak ada. 0 tidak bernilai jika 1 tidak ada. Maksudnya = Tuhan tetap ada walaupun makhluk ada ataupun tidak ada. Tuhan (kholik) adalah wajibul wujud yang keberadaanNya mutlak adanya ; selain itu (makhluk) adalah mumkimul wujud yang keberadaannya relatif adanya ~ bisa ada, bisa juga tidak ada ~ terserah dan berserah kepada kehendakNya. Tanpa Tuhan, segalanya tidak akan pernah ada. Tanpa segalanya sekalipun, Tuhan tetap ada.  Dia adalah  Hakekat yang merupakan penyebab dan kembali segala yang ada (baca: diadakan untuk mengada jadi tidak perlu terlalu meng-ada ada). (*) = 1 dibagi 0 tak terhingga ; 0 dibagi 1 tak berharga. Maksudnya = Pribadi yang berkarakter kuat dan cerdas adalah pribadi dengan kekuatan dan kecerdasan yang tumbuh berkembang karena ketawadhuan bukan dengan ketakaburan. 0 dibagi 1 tetaplah 0 – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri dengan ketakaburan. (Lemah dan rapuh karena sesungguhnya :Tiada daya upaya tanpa izinNya.)  Namun … 1 dibagi 0 adalah tak terhingga – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri karena ketawaddhuan. (Senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keridhoan dan petunjukNya). (*) = 1 di depan 0 jauh bernilai dibanding 0 di depan 1 . Maksudnya = Jadilah pribadi 10; Pribadi yang mengedepankan Tuhannya diatas segalanya (termasuk dirinya sendiri). 0 didepan 1 dibelakang hanyalah bernilai 1 (satu) – ini gambaran pribadi yang mengedepankan selainNya pada kehidupan. Amaliah menjadi tak sempurna karena syirik, pribadi tidak konsisten karena terombang-ambing kepentingan duniawi/ kebanggaan berpribadi. Bahkan jika pada akhirnya yang satu (1) itu menjadi hilang, maka seluruh kehidupan kita tinggal 0 (baca: nol besar). 
[59.20] Segalanya berdampak (Ihsan hadratullooh disini/disana; saat ini/nanti; ladang amal / panen akibat).
Dalam pemberdayaannya (kesadaran, kecakapan, kemapanan dan ketaqwaan), sejumlah manusia mungkin saja mampu berkembang mendahului lainnya bukan hanya secara intelek (yang popular didewakan saat ini), namun juga intuisi (sayang sudah agak diabaikan sekarang) dan insight (sudah langka dan terlupakan?). 9 kecerdasan mungkin tercapai ( 3 tataran intelek =1. AQ /Adversity Quotient - ketahanan berjuang/, 2. EQ /Emotional Quotient - keluwesan interaksi/, 3. IQ /Intelligence Quotient - kepandaian kognitif/; 3 wawasan intuisi = 4. ISQ /Intelligence Spritual Quotient - keterarahan sati/, 5. ESQ /Emotional Spiritual Quotient - keihsanan ummi/, 6. ASQ /Adversity Spiritual Quotient - kemantapan yogi/; 3 penembusan insight = 7. ADQ /Adversity Divine Quotient- mukasyafah/, 8. EDQ /Emotional Divine Quotient - Mahabatullooh/, 9. IDQ /Intelligence Divine Quotient - Ma'rifatullooh/) namun demikian jika tidak dibarengi dengan orientasi kesadaran 10 maka itu semua tanpa makna. Realisasi Kecerdasan tingkat 10 (baca: sepuluh) atau orientasi kesadaran 10 (baca: satu-nol) ini mungkin yang dimaksudkan sebagai insan kamil, homo novus (New Man) atau apapun istilahnya – suatu pencapaian kesempurnaan manusia dalam keterbatasannya. Namun sebagaimana proses pemberdayaan dan orientasi ketawaddhuan sebelumnya inipun harus dianggap hanya sebagai proses berkelanjutan bukan maqom penghentian. Inilah perbedaan yang mendasar antara kesejatian pencerahan bijak seorang panentheist, keimanan sejati para monotheist atau bisa jadi pencarian murni kaum heretis dengan kesemuan ‘pencerahan’ pantheist, ‘wawasan’ agnostic, maupun ‘pandangan’ atheist. Keberkahan dan pemberkahan hanyalah dari, oleh, untuk dan kembali kepadaNya. Realisasi kebenaran bukan identifikasi pembenaran. Dalam keikhlasan bukan dengan kepamrihan. Senantiasa memberdaya diri secara berkelanjutan dalam JalanNya (sesuai fitrah yang ditentukanNya) dan tidak terperdaya setinggi apapun perolehan yang dicapainya (menurut anggapan kerdil terhadap diri sendiri maupun pengakuan semu dari orang lain). Hanya mereka yang telah menghayati surga di hatinyalah (karena hidayah kuasa kasih yang terpancar dari wujudNya telah melingkup hati hambanya - bukan sebaliknya !?) yang kemudian akan menghadirkan surga di dunia ini (memberkahi kehidupan dengan kuasa kesejahteraan dalam kebersahajaan kasih dan tidak melakukan pembenaran akan pengrusakan dan bermegah dengan kesombongan apapun bentuknya) sehingga layak mendapatkan surga di sisiNya kelak.  Pada hakekatnya sesungguhnya kita bukanlah manusia yang menjalani spiritualitas tetapi sesungguhnya kita adalah makhluk spiritual yang menjalani tugas sebagai manusia. Hidup ini hanyalah  satu titik dari sebuah garis perjalanan keabadian diri. Di dalamnya kita berperan baik sebagai viator mundi (Peziarah Dunia : Hamba Allooh) yang memberdayakan individualitas diri dan sekaligus juga sebagai faber mundi (Pengelola Dunia: Khalifatulloh) yang memberdayakan universalitas diri. Amanah sebagai Pengelola bukan hadiah untuk berkuasa - karena hanya Dialah Penguasa Pemimpin dan Penentu segalanya. Peziarah bukan penetap - karena kita tak abadi di sini ; suatu saat (tepatnya : setiap saat karena baik disini/disana, saat ini/nanti kita selalu berhadapan denganNya. Dalam konteks keabadian = kehidupan dunia dan akherat sesungguhnya hanyalah esensi yang terpilah dan  tidaklah  terpisah – pen.) Kta harus kembali (tepatnya: berada)  ke hadapanNya dengan tanggung jawab kita atas segala pembelajaran dan perbuatan yang kita lakukan di dunia ini. Tanah (baca: jasad) memang kelak akan kembali ke bumi (baca: mayat) sebagaimana harusnya namun demikian cahaya (baca: ruh atau sekedar jiwa ?) sebagaimana layaknya kembali (untuk selalu menghadap) ke Sumbernya (Tuhan).
Jadi, sebagai pribadi yang tetap memandang keberadaan, kebenaran dan kebajikan sesungguhnya hanyalah sebagai pantulan Realitas kemuliaan Tuhan pada setiap/sesuatu media fenomena kenyataan yang ada, saya memang tidak haq menuntut kesempurnaan pada seseorang (bukan hanya untuk orang lain namun juga bagi diri sendiri) namun hanya mengharapkan kesederhanaan (bukankah: “inginnya sederhana dalam kesederhanaan” adalah keinginan tulus dari bapak dalam menempuh kehidupan ini?). Di sini ijinkan saya menggambarkan pandangan saya tentang kesederhanaan yang saya maksudkan bukan dalam kapasitas saya sebagai pendukung yang Insya Allooh akan tetap istiqomah memilih Pak Jokowi dan Pak JK untuk kepemimpinan nasional nanti (tepatnya : garis kebenaranNya yang mungkin saja masih terhijab dan akan tersibak dalam proses kesejarahan nanti) tetapi sebagai pribadi sesama makhlukNya yang menjalani permainan keabadianNya yang disebut kehidupan ini.

1. Sederhana adalah merakyat (Kesamaan diri di hadapan Ilahi)
Saya salut dengan pandangan autentik Pak Jokowi kala menyatakan ‘Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya’. Itu adalah bahasa ‘sederhana’ dari pemimpin yang sederhana untuk merakyat (jika tidak ingin dikatakan bijaksana karena di luar jangkauan intelektualitas para akademisi apalagi ‘empati’ para pendengki). Ini adalah bahasa hati nurani bukan paradigma logika akal apalagi sekedar komentar akal-akalan. Blusukan anda (pastilah) bukanlah pencitraan karena anda memandang rakyat bukan sebagai ‘obyek’ tetapi ‘subyek’. Bukanlah kepentingan sesaat untuk memikat tetapi keikhlasan murni untuk berbuat – sebagaimana Rosulullooh SAW pernah berkata: At taqwaa hahunaa – wa yusyiidru ilaa shodrihi tsalaatsa marrotin (Taqwa itu disini - seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Merakyat (antara lain dengan blusukan) adalah aktualisasi universalitas diri menjalani hidayah Ilahi /ketaqwaan/ sebagai jalan bagi setiap pemimpin (bagi dirinya sendiri dan orang lain) untuk  memberdaya hati agar senantiasa hidup tidak sakit apalagi mati. Ini adalah kesederhanaan yang alami bukanlah metode pendekatan ilmiah apalagi trick pencitraan ananiyah. Keautentikan itulah pembeda utama dengan lainnya. Siapapun mungkin akan bisa meniru anda dengan blusukan tetapi rakyat akan merasakan perbedaan yang nyata (walau tak terungkap) jika itu dilakukan dengan kepalsuan bukan dengan ketulusan. Kalaupun itu kemudian disadari sebagai suatu ‘keharusan’, perlu pembiasaan agar terbiasa menjadi ‘keterbiasaan’ nantinya.
Saya pernah menuliskan tentang kesederhanaan ini kala bapak kampanye pilpres dengan gaya blusukan pada sebuah media sosial internet (namun tampaknya saya harus arif menerima jika mereka tidak menganggapnya sebagai ‘layak’ adanya dan menghapusnya.)Saya katakan sebagai berikut :
Tetap ingin sederhana dalam kesederhanaan, ya pak ?
Nabi SAW meneladankan kita kala bertemu dengan umatnya : "seorang hamba yang faqir (bagi nabi : 'orang yang menyadari tidak memiliki apa-apa-. karena bukankah segalanya termasuk diri kita ini sesungguhnya milikNya yang hanya ada karena diadakan olehNya) bertemu dengan saudaranya yang faqir (bagi umat sering dimaknai sebagai wong cilik, rakyat jelata, dhuafa yang terus berkarya)."
Tetap tawadhu, merakyat, ya pak. Jelas akan ada perbedaan (walau samar di hadapan publik karena keterbatasan pengamatan indrawi namun sangat jelas bagi Tuhan untuk melihat yang tersirat di dalam hati) antara ketulusan dengan kepalsuan, keikhlasan dengan pendustaan dan keberfihakan dengan pencitraan. Kata kuncinya sederhana namun sulit tetapi harus dipertahankan sebagai orang yang mengimani Allooh SWT dan kebenaranNya yaitu istiqomah (seperti yang telah bapak lakukan selama ini dan dan yang tetap harus dilakukan seterusnya nanti).
Benar dan tidak salah untuk keberkahan dihadapanNya bagi seorang pemimpin (bagi diri sendiri dan orang lain) untuk tetap jujur, bersih, sederhana dan merakyat. Tidak masalah jika Tuhan memandang baik bagiNya untuk kita : menang atau kalah. Ini hanya permainan keabadianNya yang disebut kehidupan, pak.
Selamat memberdaya diri …. Jangan terperdaya, ya.
Kesederhanaan (tawadhu) sesungguhnya adalah bahasa dharma di setiap agama dan ethika dunia – kesederhanaan senantiasa lahir dari kearifan hati di kedalaman bukan sekedar hadir dari kenaifan hati di permukaan (nantinya akan terbimbing olehNya tidak hanya fundamentally authentic-monotheistic namun akhirnya akan juga universally holistic-panentheistic. So, Jalanilah ilmu yang difahami, maka Tuhan akan melimpahkan ilmu yang belum difahami jika wadah telah siap dan saatnya telah tepat.).
-      Kristen menyatakan :’Barang siapa meninggikan diri maka dia akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri dia akan ditinggikan.”( Mat: 23 – 12) karena ‘saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.’(Yoh 4 : 23 – 24).
-      Islam menyatakan: At tawadhu’u laa yaziidu illaa rif’ata(n) ; fa tawadho’uu yarfa’kumulloohu. Wal’afuu laa yaziidul ‘abdan illaa ‘izza ; fa’fuu yu’izzakumulloohu. Wash shodaqotu laa yaziidul maala illaa katsrotan – fa tashodaqoo yarhamkumullooh  (HR Dailami & Ashfihani : Rendah hati tidak menambah seseorang melainkan ketinggian; maka merendahlah maka Allooh akan meninggikanmu. Dan pengampunan tidak menambah seseorang melainkan kemuliaan; maka berilah pengampunan maka Allooh akan memuliakanmu. Dan bersedekah tidak menambah seseorang melainkan kelimpahan; maka bersedekahlah maka Allooh akan melimpahkan kasih sayang kepadamu.)
-      Hindu juga menyatakan (maaf saya sederhanakan bahasa mistiknya): Tat Twam Asi (kau adalah aku) karena Aum Sarvam kalv idam Brahman (Esalah – segalanya yang berada dalam kesamaan di hadapan Tuhan).
-      Buddha menyatakan: Dharma Vihara (menjadikan diri sebagai vihara/rumah bagi dharma/kebenaran dalam memberdayakan cinta kasih /metta dengan bersifat karuna – ikut bahagia dalam suka cita orang lain dan muditta – ikut merasakan kesedihan dalam duka cita sesamanya namun tetap dalam upekkha/ keseimbangan batin kala mengalami, mengamati dan mengatasinya). 
Dharma apapun juga (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dll) sesungguhnya adalah kemurnian aktualisasi nilai bukanlah ‘sekedar’ kefasikan identifikasi label, defisiensi kepentingan apalagi eksploitasi pembenaran. Kesederhanaan adalah aktualisasi keikhlasan amaliah tindakan untuk, dengan dan dalam Tuhan (Lillaah, billaah dan fillaah) dan bukan kedangkalan semu akan pembenaran/pembanggaan kepentingan ‘aku’, ‘kami’ atau ‘mereka’ belaka (ilayyaa, ilaina ataupun ilaihim).
Tanda zaman memang sudah semakin terbuka menampakkan kehendakNya. Apa yang menjadi kehendakNya akan terjadi walaupun manusia berusaha keras untuk menghalangi. Hanya di tanah yang subur benih yang baik akan tumbuh dan berkembang. Pilpres adalah media demokrasi bagi rakyat Indonesia yang bukan hanya sekedar menghadirkan pemenang untuk berkuasa (dengan kebanggaan) tetapi seharusnya juga melahirkan negarawan untuk memimpin (dengan keteladanan). Dengan pandangan yang (semoga masih terasa) sederhana ini saya berharap semua kandidat akan bisa memandang keseluruhan dalam keseimbangan akan universalitas diri yang lebih arif dan luas sehingga benih kenegarawanan sebagai pemimpin nasional akan tumbuh berkembang dengan tepat dan terarah dalam bimbinganNya. Anda sekalian adalah putera-putera terbaik bangsa ini yang diharapkan akan saling asah, asih dan asuh dalam satu episode permainan keabadianNya yang disebut kehidupan dalam ‘kewajaran’ untuk pembelajaran (idealnya kesadaran untuk saling memberdayakan) demokrasi bangsa ini. Demi kebaikan bersama saat ini (pada pilpres 2014) dan perbaikan sesama nantinya (hingga pilpres 2019), keberkahan persaudaraan adalah lebih utama daripada sekedar kemenangan persaingan. Keberdayaan bersama bangsa besar ini hendaknya mengatasi pemenangan kepentingan sefihak saja nantinya. Benar dan tidak salah – tidak masalah : menang atau kalah (karena itu adalah Haq Mutlak Tuhan melalui hak seluruh rakyat yang menentukannya). Segalanya akan baik adanya jika disikapi secara arif dengan keikhlasan untuk menerima hikmah pembelajaran Ilahi dan/atau dijalani secara baik dengan keistiqomahan dalam menjalani amanah pemberdayaan Ilahi. Tuhan bisa saja memberikan kebajikan kepada Jokowi /JK agar bersegera memberdaya bangsa dalam memperbaiki dan membawa kemajuan negeri ini namun Dia juga bisa saja memberikan kebijakan dengan memberikan kesempatan kepada Prabowo/Hatta untuk keamanan negeri ini dan bagi kebaikan semuanya. Singkatnya, sederhana (dalam paradigma merakyat ini) adalah seperti cermin empati universal – memandang orang lain sebagai diri kita sendiri dalam peran/garis keberadaan yang berbeda. Bapak perlu menghargai keberadaan pak Prabowo dengan memandang kesemuanya secara universal tidak sekedar eksistensial apalagi hanya secara individual. Fahamilah dilemma kesulitan mereka dalam menjalani peran DharmaNya kala berhadapan dengan anda. Seandainya beliau tidak berperan sebagai kandidat lainnya pastilah pak Prabowo akan mendukung anda seperti sebelumnya.  Hargailah Pak Prabowo (juga pak Mahfud dan lainnya) perlu menjalani dharmaNya ini sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan bagi bapak kelak.  Bapak perlu menghormati (atau minimal memaklumi) pak Prabowo yang berjiwa besar dengan bersedia melindungi kecemasan pembenaran ambisi transaksional dan menampung semunya “marwah” kepentingan koalisinya. Pada kedua belah fihak  ada kebaikan yang berbeda. Permasalahannya adalah kesiapan. Bersegera atau menunda untuk melakukan perbaikan. Sebagaimana kritik kami yang telah dan akan selalu berusaha untuk tetap istiqomah mementingkan kebenaran Ilahi dengan tidak selalu membenarkan kepentingan ‘kita’ (dan juga ‘mereka’), panah serangan fihak lain sesungguhnya adalah panah kehormatan yang akan meruntuhkan dinding pembanggaan diri agar dari penghampaan diri yang benar (Laa ilaaha ilallooh – huwa maujud, ma’bud, maqshud) lahirlah seorang negarawan baru yang dengan tulusnya keikhlasan ilallooh (lillaah, billaah, fiillaah) bersegera mengayomi bangsa dan bersama memperbaiki negeri ini. Ini adalah media (pagar/panah) kasih bukan untuk menghalangi keinginan dari sejarah tetapi melindungi keberkahan pada JalanNya. Layakkan diri untuk itu karena sesungguhnya dalam pandangan Tuhan bersegera untuk memberdaya diri adalah lebih utama daripada menundanya untuk kembali memperdaya diri. Demi kebaikan sesama dan perbaikan bersama, cegahlah kefasikan ini secara bajik dan bijak di hadapan Tuhan. 
Kesederhanaan adalah bahasa universalitas diri. Walau dengan segala kelebihan apapun kita perlu untuk tetap memandang setara terhadap lainnya (Istilah orang Jawa = Mantep tanpo Anggep). Menghargai kelebihan orang lain tanpa mendengki dan menerima kekurangan orang lain tanpa merendahkan. Universalitas diri untuk tetap wajar inklusif tidak mencitrakan eksklusif (Genah tetapi tetap Nglumrah, sadar istiqomah sebagai Ahlus Sunnah namun juga tetap wajar Wal Jamaah membaur, dlsb). Tasamuh (toleran) menerima perbedaan (keberadaan/pandangan) dengan tanpa fasik menzalimi lainnya dan tetap tawadhu (rendah hati) di hadapan Ilahi dalam menghadapi/mengasihi sesama. Kesederhanaan adalah sikap authentic (kewajaran alamiah karakteristik) yang lahir dari sifat holistic (kesadaran tauhid panentheistik).
2. Sederhana adalah Jujur (Keihsanan diri di hadapan Ilahi)
Ada sebuah kisah/hikmah dharma tentang kejujuran pada zaman Rosulullooh SAW tentang seorang pemuda yang semula berandalan dan kemudian juga seorang anak gembala. (Maaf…, ndongeng dulu, pak).
Seorang pemuda datang menghadap Nabi dan menyatakan maksudnya untuk menganut risalah agama yang di bawa beliau namun dia masih belum bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. Walaupun sejumlah sahabat semula menentang kelancangan seorang pemuda untuk menganut agama Islam yang dibawa beliau dikarenakan tabiat/akhlaknya yang buruk (sebagaimana yang ‘jujur’ dikatakannya), Nabi Muhammad SAW secara terbuka menerima syahadat ke-‘Islam’-an pemuda tersebut. Beliau katakan : “ Saya salut dengan kejujuranmu. Baiklah, cukuplah kejujuran itu (sementara ini) menjadi awal dari keIslamanmu mulai saat ini.”  Pandangan intuitif kebijakan Nabi akan kaidah hidayah Ilahiah pada pemuda tersebut (yang kemudian menjadi methodology sufisme: takhali – tahali – tajali) kemudian mulai bekerja. Hati ibarat antenna penerima dan pemancar – jika satu sifat baik (baca : kejujuran) tetap mantap dilakukan maka sifat kebaikan yang lain akan diterimanya juga dan kemudian terpantulkan secara adaptif dan authentic terbiasakan demikian pula sebaliknya. Walaupun baru pada tahap kepentingan dan pembanggaan ego (masih naïf), pemuda tersebut akhirnya menghindari diri dari keberandalannya setiap saat dia akan melakukannya dan bahkan kemudian menjalani ibadah setiap saat dia menyaksikan para saudara muslim yang lainnya melakukannya. Pemuda tersebut akhirnya menjadi Muslim yang ‘baik’ sebagaimana para muslim kebanyakan lainnya karena cemas akan teguran dari Nabi SAW jika dia tetap melakukan kesalahan dan harapan akan pujian dari Nabi SAW jika dia dapat menjalani kebaikan.  
Seandainya saja saya mengharapkan anda hanya sebagai pemimpin bagi diri anda sendiri saja dan bukan sebagai Bapak Bangsa ini nantinya (peran sejati aktualiser bukan sekedar jabatan politis structural sebagai Kepala Negara saja) maka mungkin saya tidak akan terlalu merisaukan hal ini dan segera menyudahi tuntunan (tuntutan?) tentang makna kejujuran hingga di sini. Saya cukup memuji (semoga tidak perlu memuja) anda sebagaimana lainnya dan menjadikan anda merasa nyaman  terbuai dengan naifnya kebanggaan dan semunya kepentingan diri. Namun demikian saya merasa tidak adil sebagai seorang pendukung jika tidak memberikan kebenaran yang lebih dalam lagi untuk tetap mengharapkan dan mengingatkan akan pemberdayaan bagi bapak agar meningkat lebih baik lagi sehingga ada baiknya anda juga menyimak kisah kelanjutan berikut ini. Katakanlah ini sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang dimaksudkan sebagai pencerahan dan sama sekali bukan untuk penyesatan. Simaklah karena ini Haq untuk mementingkan kebenaran (walaupun anda tetap punya hak untuk mengabaikannya jika sekedar membenarkan kepentingan). Maaf, jika kisah ini walau tetap tidak saya ubah namun agak saya improvisasi agar penghayatan hikmahnya lebih bisa ‘mengena’. 
Lanjut …
“Dengan kejujurannya tersebut pemuda tersebut akhirnya menjadi muslim yang baik dan disukai saudara muslim lainnya.”, kata Nabi SAW. Namun demikian dua sahabat Nabi (ada sebagian riwayat menyebutkan bahwa mereka adalah Abu Bakar Shidiq dan Umar b Khatab) walau cukup tanggap akan hal itu namun tampak kurang puas dengan pujian yang terkesan cukup ‘menghibur’ tersebut dan menanyakan kepada Nabi SAW, “kami menyaksikan dan membuktikannya. Namun demikian apakah kejujuran itulah yang anda maksudkan?.” Nabi SAW bersabda,” Segalanya ada waktunya. Setiap pemberdayaan perlu proses. Walau kejujuran itu tidaklah setepat yang saya maksudkan, namun setidak-tidaknya pemuda tersebut telah cukup menjadi muslim yang baik saat ini dan Insya Allooh dengan hidayahNya dia akan menjadi lebih baik lagi nantinya.” Nabi SAW kemudian menyarankan ke-2 sahabat tersebut untuk ‘belajar’ langsung akan makna kejujuran yang sebenarnya dia maksudkan melalui … seorang anak gembala. (Kedewasaan bukanlah masalah usia tetapi masalah jiwa demikian juga dengan kejujuran, keamanahan dan ketaqwaan).
Singkat cerita, pergilah ke-dua sahabat tersebut ke tempat yang telah diberitahu nabi keberadaan anak gembala yang dimaksud. Anak gembala tersebut memang sederhana tampak tidak istimewa sebagaimana juga penggembala lainnya namun demikian banyak para pemilik domba lebih mempercayakan ternak mereka kepadanya. Walaupun semula agak ragu akan petunjuk Nabi namun mereka berdua kemudian menguji kejujuran anak gembala tersebut.
 “Nak, aku ingin membeli ternak gembalaanmu ini. Bisakah kau menjualnya satu untuk kami ?”, Tanya seorang sahabat menguji anak gembala tersebut. Dengan polos anak gembala tersebut segera menjawab, : “ Maaf, tuan. Semua ternak gembalaan ini bukanlah milik saya. Orang lain mempercayakan saya untuk menggembalakan ternak milik mereka.” Ujian pertama ini berkaitan dengan legalitas kepemilikan (formal perdata). Kejujuran anak ini telah menjaganya dengan mampu memilah akan hak kepemilikan secara hukum – suatu pengakuan legalitas formal dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa adanya hukum stabilitas ketertiban dan keteraturan dalam tatanan kebersamaan akan sulit diwujudkan.
“Nak, jika demikian bagaimana jika aku membeli saja satu ternak gembalaanmu ini dengan harga yang lebih tinggi. Dengan cara demikian kau akan mendapatkan juga keuntungan jika harga jualnya diminta oleh pemilik gembalaanmu ini ?”, Tanya sahabat yang lain menguji kembali anak gembala tersebut. Walau agak kesal namun dengan tetap santun anak gembala tersebut kembali menjawab,:“ Maaf,tuan. Pemilik ternak ini sudah mempercayakan hewannya kepada saya untuk saya gembalakan. Bukanlah tindakan yang baik jika saya harus melanggar amanah kepercayaannya kepada saya.” Jawaban ke-dua dari anak ini meningkat bukan hanya sebatas legalitas hukum tetapi sudah menyangkut moralitas etika – suatu tindakan ethika actual dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum tanpa ethika sangat rentan dengan penyelewengan (mungkin itu sebabnya terkadang sangat sulit bagi rakyat kecil mencari keadilan di lembaga pengadilan dikarenakan ketidak-mampuan mereka dalam menghadapi celah pasal hukum positif yang ada disamping ketidak-sanggupan mereka kala harus melakukan ‘pendekatan taktis’ lainnya). 
Akhirnya ke-dua sahabat itupun maju bersama dan membujuk anak tersebut . “ Nak, sudahlah. Disini hanya ada kita bertiga. Kau bisa mengatakan bahwa satu ternak gembalaanmu telah diterkam serigala. Maka bukankah kita semua akan mendapatkan hasil yang sepadan. Kami mendapat ternak tersebut. Sedangkan kau mendapat laba yang besar. Sedangkan pemilik ternak ini pun akan memaklumi juga dan akan menerima harga yang pantas untuk ternak tersebut.” Mendengar argumentasi ini si anak gembala ini tak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya, dan dengan gusar diapun berkata dengan mantap. Satu perkataan dimana dunia dan seisinya sekalipun tidak akan mampu menandingi kebenarannya.. “Fa inallooh, yaa sayiid ….. Lantas dimanakah Tuhan, ya tuan. Di sini tidak hanya kita bertiga. Tetapi Tuhan Yang Maha Jeli tengah mengamati kita dengan seksama apa yang kita bicarakan dan bahkan terhadap apa yang batin tuan rencanakan sejak tadi.”  Subhanallooh … Maha Suci Allooh …. Ini adalah jawaban final dari kejujuran yang Nabi SAW maksudkan. Kejujuran adalah keihsanan diri di hadapan Ilahi. Bukan sekedar legalitas formal ataupun moralitas ethika saja namun integritas ihsan. (Mal Ihsaanu? anta’budallooha ka-annaka tarrohu; fa in lam takun taroohu –fa innahu yarooka. = Apakah Ihsan ?  Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”). Ihsan adalah kejujuran tertinggi yang memungkinkan terjadinya keterarahan perjalanan hidup dan sekaligus keberkahan pemberdayaan keabadiaan diri di hadapan Ilahi. Jujur adalah Ihsan. Anda memandang segala sesuatunya (termasuk diri sendiri) dalam perspektif ketauhidanNya. Sehingga terkadang kecerdasan yang lebih tinggi/dalam/luas bisa saja dicapai (daya tanggap intuitif tidak sekedar daya tangkap intelek … bahkan mungkin juga insight keberkahan ~ Walloohu a’lam bish showabi). Ihsan adalah penghayatan keberadaan diri dalam pengawasan Allooh dan sekaligus pengarahan keamanahan diri dalam perlindunganNya. Laa ilaaha illallooh (huwa maujud, ma’bud, maqshud).  
Fa inallooh, yaa sayiid ?” ~ Itulah juga alasan saya sesungguhnya mengapa saya terkadang merasa tidak perlu memuji anda ketika anda ‘sukses’ (untuk tetap menjaga ketawadhuan bapak di hadapan Ilahi)  namun terkadang malah terpaksa ‘mencela’ anda jika anda khilaf (untuk tetap menjaga keistiqomahan bapak di hadapanNya juga). Saya tidak ingin anda terperdaya dengan permainan keabadianNya yang disebut kehidupan ini sebagaimana Allooh SWT yang mengharamkan penzaliman atas makhlukNya dan antar makhlukNya. Hadits Nabi : Al haya-u minal iman (malu adalah bagian dari iman) – Malu yang dimaksudkan beliau bukanlah sekedar ‘rikuh’ (atau ‘gengsi’ terhadap sesama makhlukNya ~ walaupun itu adalah Nabi SAW) tetapi ‘risih’ (malu karena pada dasarnya kita selalu berhadapan dengan Tuhan – Allooh SWT yang begitu jeli mengawasi setiap makhlukNya : bukan hanya atas tindakan , ucapan yang tersurat/ tersirat  tetapi juga gerak/gerik pembenaran kepalsuan maksud hati .) Dengan sifat kejujuran ihsan ini, maka keamanahan akan terjaga, keistiqomahan akan bisa berjalan dan keikhlasan akan terwujud …… fa insya Allooh, keberkahan akan tercapai juga ( kesuksesan apapun juga pada dasarnya hanyalah pencapaian by product – dampak samping dari perjalanan keberkahan tersebut adanya. Belajar dan kecerdasan, bekerja dan kesejahteraan , berjuang dan keberhasilan adalah cara Robbani penempuhan diri pada JalanNya dalam mencapai kelayakan dalam keberkahanNya bukan hanya pada ketulusan niat awal saja namun juga dalam kebenaran cara penempuhan hingga hasil akhir (sinkronisasi niat, cara, hasil dan dampak sebagaimana disebutkan sebelumnya).  Itulah yang membedakan seorang pemberdaya dengan seorang yang terperdaya.
3. Sederhana adalah Bersih (Keamanahan diri di hadapan Ilahi)
Nabi Muhammad SAW berkata: Alla Kullukum  roo’in. ~ wa kullukum mas-ulun ‘an ro’iyyatihi. ; Fal amiirul ladzii ‘alan naasi ro’in ‘alaihim ~ wa huwa mas-ulu ‘anhum ; Wa rojulu ro’iin ‘alaa ahlil baitihii ~ wa huwa mas-ulu ‘anhum ; wal mar-atu ro’iyatun ‘alaa baitihi  ~ wa hiya mas-ulu ‘anhum ; Wa ‘abdu roo-in ‘alaa maali sayyidihi ~ wa huwa mas-ulu ‘anhum ; Fa kullukum  roo’in. ~ wa kullukum mas-ulun ‘an ro’iyyatihi ( “Ketahuilah…Setiap dari kalian adalah pemimpin yang akan di mintai pertanggung jawabannya, seorang imam adalah pemimpin bagi masyarakatnya dan akan di mintai pertanggung jawabanya tentang kepimpinannya, seorang suami adalah pemimpin bagi keluarga dan ia bertanggung jawab terhadap keluarganya, seorang istri adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya dan ia bertanggung jawab terhadap mereka,seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia bertanggung jawab terhadapnya, setiap kalian adalah pemimpin dan tiap kalian mempunyai tanggung jawab terhadap yang di pimpinnya”. (HR. Abu Daud).  Dalam transendensi keberkahan, setiap kepemimpinan termasuk kepemimpinan nasional pada hakekatnya adalah seperti “sambatan” ketimbang suatu “jabatan”. Seseorang terkadang suatu saat harus/perlu bersedia menjadi pemimpin bukan hanya bagi dirinya sendiri namun juga bagi orang lainnya (jamaah, bangsa, dsb) karena suatu keadaan walau itu sesungguhnya bukanlah obsesi keinginan untuk berbangga saja apalagi ambisi kepentingannya untuk berkuasa atas lainnya. Suatu peran pengabdian bagi kemanusiaan  (baca : amanah rakyat) dan sekaligus kerobbaniahan (baca : ihsan hadratullooh). Itu bukanlah sekedar status kewenangan (apalagi kesewenangan) atas nama kekuasaan yang semu, pembanggaan yang naïf dan kesempatan yang liar untuk pembenaran terhadap penyelewengan yang mungkin sekali akan terjadi jika harkat kemanusiaan dilanggar dan marwah kerobbaniahan tersesatkan.
Abu Bakar berkata pada saat pidato politisnya sebagai kholifah yang pertama: Yaa ayyuhannasu ~ innii qodwuliitu ‘alaikum ; wa lastu bi khoiri kum.  Fa in ro-aitumuunii ‘alaa haqqin ~ fa a’inuunii ; Wa in ro-aitumuunii ‘alaa baathilin~ fa saddiduuni.  Athii’uunii ~ maa athoo’tullooha fiikum ; Faa in ‘ashoituhu ~ fa laa thoo’ata lii ‘alaikum. Allaa inna aqwakum ‘indidh dho’iifu ~ hatta aakhudzal haqqol lahu ; Wa ash’afakum ‘indil qowiyyu ~ hatta aakhudzal haqqo minhu. (Wahai sekalian manusia ~ aku diangkat memimpin kalian : tetapi aku bukanlah yang terbaik diantara kamu sekalian. Oleh karena itu jika kalian dapati aku berada pada jalan yang lurus ~ maka dukunglah aku ; Akan tetapi  jika kalian dapati aku berada pada jalan yang salah  ~ maka segeralah tegakkan aku dalam kebenaranan.  Taatilah aku ~ selama aku taat kepada Allooh dalam urusan kalian ; Tetapi jika aku mendurhakainya ~ maka tiadalah kewajiban kalian mentaatiku. Ketahuilah , bahwa orang yang paling kuat diantara kalian adalah lemah di sisiku ~ dikarenakan haknya akan aku ambilkan dari yang kuat. Dan bahwa orang yang paling lemah diantara kalian adalah kuat di sisiku ~ dikarenakan haknya akan aku ambilkan dari yang lemah.) Setidaknya ada tiga hal yang diutarakan oleh Abu Bakar ra pada pidato tersebut. Pertama penyataan kerendah-hatian yang menyatakan keterpilihan dia bukanlah  sebagai tanda kelebih-muliaan dirinya dari yang lain. Ini bukan hanya ketawadhuan akan keberadaan dirinya dihadapan TuhanNya tetapi juga dihadapan manusia (dengan menghindarkan diri dari ketakaburan terhadap Ilahi yang akan mengesalkan orang lain juga terutama bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan akan ‘sambatan’ tersebut).  Ke-dua adalah pernyataan kesediaan diri yang menyatakan pendukungan diri kepadanya hendaklah dilakukan dengan cara mementingkan kebenaran bukan sekedar membenarkan kepentingan diri sendiri semata (sehingga memungkinkan amar ma’ruf – nahi mungkar yang benar demi kebijakan bersama dan untuk kebajikan sesama). Ini adalah keIstiqomahan diri untuk senantiasa terjaga dalam kebenaran Ilahi dalam kepemimpinannya kelak (adalah kebodohan jika harus mengorbankan perjalanan keabadian sejati diri dengan mempertaruhkannya dengan kepentingan duniawi sesaat namun berdampak bukan hanya di dunia ini namun di akherat nanti). Ke-tiga adalah penyataan keinginan diri atas visi kepemimpinan yang mengharapkan kemaslahatan bersama bagi semuanya. “Yang kaya makin kaya – yang miskin makin miskin” secara logis memang tidak bisa disalahkan secara alamiah. Namun adalah suatu kebaikan (bukan kenaifan) jika kesenjangan ini perlu diperbaiki sehingga walaupun ‘yang kaya masih bisa tetap menjadi lebih kaya , namun yang miskin sudah seharusnya juga  lebih didukung dalam peningkatan kualitas kesejahteraan hidupnya untuk tidak lagi berada dalam kemiskinan namun segera menjadi kaya sehingga bisa juga membantu yang lainnya dalam kebersamaan demi keberkahanNya.”    
Sementara Umar bin Khatab dalam tindakannya juga memberikan keteladanan dalam menjaga amanah jabatan yang diembannya. Ada yang membandingkan gaya kepemimpinan bapak yang suka blusukan (tuning frequency batiniah dengan rakyatnya) dan menjaga diri untuk tidak koruptif (Umar mengistilahkan taqwa sebagai waro’ -  kehati-hatian  kala menjalani kehidupan) serta ketegasan (berani mengambil keputusan sepanjang itu dipandang benar adanya, berani segera bertindak untuk mewujudkannya dan berani menanggung resiko untuk apa yang telah dilakukannya – walaupun harus dicela para pembelanya atau dimaki para pendengkinya). Tidak masalah untuk yang pertama dan ke-dua, namun untuk ke-tiga perlu bahasan lanjut. Umar bin Khatab sangat mendukung upaya kritis dari rakyatnya untuk menjaganya dari blunder kebijakan (yang walau tidak disengaja/diharapkan olehnya) mungkin bisa saja terjadi dan ini tentunya bukan hanya akan menjerumuskan rakyatnya namun juga akan menyesalkan dirinya kelak (walaupun ini semula diniatkan ridho Ilahi dan bukan karena khouf/roja – ancaman ketakutan/ dambaan harapan dari siapapun atau untuk apapun juga.) Kearifan yang lebih luas diperlukan walau itu adalah demi kebaikan untuk menghindari kenaifan pandangan dan keliaran tindakan nantinya. Ini dimaksudkan agar walaupun kesadaran rela berkorban bagi diri sendiri demi kebersamaan memang ksatria adanya tetapi tega mengorbankan orang lain demi kepentingan lainnya bukanlah sifat utama.
Walaupun saya melihat keteladanan pada diri mereka semua namun demikian saya perlu mengingatkan bapak untuk tetap konsisten dengan pesan yang bijak pak Jokowi kepada pak Ahok dulu (sebelum ‘pertaruhan’ capres) untuk tetap menjadi diri sendiri (yang terbaik bukan hanya di hadapan manusia tetapi yang terutama di hadapan Tuhan). Itu juga berlaku untuk setiap orang (baca: pemimpin) termasuk pak Jokowi sendiri. Keteladanan memang diperlukan sebagai referensi eksternal dalam pembelajaran diri namun suatu saat refleksi internal tetap akan diperlukan untuk pemberdayaan diri juga karena setiap orang menjalani dharmanya masing-masing yang bisa saja berbeda satu sama lain dalam dimensi ruang – waktu kehidupan yang pastinya juga berlainan satu sama lain.
HADITS KEDUAPULUH TUJUH
عَنْ النَّوَّاسِ بنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ . [رَوَاهُ مُسْلِم]
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جِئْتَ تَسْألُ عَنِ الْبِرِّ قُلْتُ : نَعَمْ، قَالَ : اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ “
[حديث حسن رويناه في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث  :
Al birru husnul khuluqi wal itsmu maa haaka fii nafsika wa karihta an yathli’a ‘alaihin naasu
Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui  manusia “ (Riwayat Muslim)
Ji-ta tas-alu ‘anil birru ? Na’am.
Istafti qolbaka. Al birru maa-thmaannat ilaihin nafsu wa athmaannaa ilaihil qolbu
Wa ilaa itsmu maa haaka fiin nafsi wa taroddada fish shodri ~ wa in aftaakan naasu wa aftauka
Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia berkata : Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu beliau bersabda : Engkau datang untuk menanyakan kebaikan ?, saya menjawab : Ya. Beliau bersabda : Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya. (Hadits hasan kami riwayatkan dari dua musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad Darimi dengan sanad yang hasan)
Tentang = Hati
Qoola rosuululloohi shollalloohu ‘alaihi wasallam : wa inna fil jasadi mudlghotan idzaa sholahat sholahal jasadu kulluhu wa idzaa fasadat fasadal jasadu kulluhu alaa wahiyal qolbu. (an nu’man bin basyir / rowahul buchori wa muslim).Artinya:”Bersabda Rosululloh S.A.W : Sesungguhnya didalam jasad itu ada sepotong daging, ketika baik sepotong daging itu maka baiklah jasad keseluruhan nya, ketika rusak sepotong daging itu maka rusaklah jasad keseluruhannya, ingatlah ia itu adalah Hati”.
Nawwas bin Sam’an Al Kilabi berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Tidak ada satu hati pun kecuali ia berada di antara dua jari dari Jari-Jemari Rabb semesta alam. Jika Dia ingin memberikannya keistiqamahan niscaya Ia akan berikan keistiqamahan padanya. Dan jika Dia ingin memalingkannya (dari Islam) niscaya akan dipalingkan-Nya dari Islam.” Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berdoa:Yaa muqolibal qulub, tsabit qolbii/quluubanaa ‘alaa diinik(a) 
Wahai /Robb/ Hyang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku/kami di atas agama-Mu.
[HR.Tirmidzi 3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shohih Sunan Tirmidzi III no.2792]
NB =  Sebagai penutup dari pesan sederhana tentang kesederhanaan ini saya kutipkan sebuah hadits hikmah Wejangan Nabi Muhammad SAW kepada shohabatnya (Abu Dzar Al Ghiffari)
Yaa abi dzarrin, jaddidis safiinata ~ fa innal bahro ‘amiiqun. Wa khudiz zaada kaamilan ~fa innas safaro ba’iidun. Wa khoffifil himla ~ fa innal ‘aqobata ka-uudun. Wakhlishil ‘amala ~ fa innan naaqida bashiirun.
Wahai, abu Dzar. Pugarlah kapalmu karena lautnya dalam. Dan bawalah bekal yang sempurna karena perjalananmu jauh. Dan peringanlah beban muatanmu karena bukitnya terjal. Dan ikhlaskanlah perbuatanmu karena pengawasmu sangatlah jeli.
Berdasarkan uraian pada artikel ini saya yakin anda akan bisa memahami ‘hidden wisdom’ (hikmah tersembunyi) dari ini. Caranya ? Istafti qolbaka. Tanyalah pada hati nurani anda – hati yang senantiasa mengarah kepada cahaya kebenaran Ilahi (Ilham fitrah azaliah yang diberikan oleh Tuhan sejak ketiadaan hingga keberadaan makhlukNya). Hanya dengan senantiasa mementingkan kebenaran Ilahi yang mengatasi segalanya,  hati nurani (Qolbu salim = hati yang istiqomah menjalani garis cahaya kebenaranNya – bukan yang sakit apalagi terkunci mati sehingga buta dalam memandang, tuli kala mendengar dan bisu ketika berbicara kebenaranNya dan tidak ada tempat kembali lagi baginya) ini akan  mengarahkan penalaran akal sehat , kecenderungan gerak batiniah (fikiran & perasaan) /tindakan zahiriah (ucapan dan tindakan) kepada kesadaran sejati jiwa insan kamilah yang mantap dalam ridho-Nya (rodhiyah – demi keridhoan-Nya dan mardhiyah - yang diridhoi-Nya). Hati tersebut sesungguhnya memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dalam menjangkau pengetahuan, lebih dalam dalam menyelami kesadaran dan lebih luas dalam merengkuh pengertian. (Gnosis Mistik Hikmah)
JOKOWI PILPRES
Membicarakan kebaikan (bukan mengidolakan) orang lain sebelum tiba saatnya dia berada dalam situasi dan kondisi negatif dalam kehidupannya (tidak sekedar pada situasi kondisi positif belaka) bahkan hingga menjelang akhir kematiannya sebetulnya beresiko juga. Karena manusia walaupun berpotensi baik namun juga cenderung buruk. Bisa saja yang kita puja sekarang akan kita cela pada masa mendatang karena kekhilafan (keburukan dan kesalahan yang bersifat pribadi bukan semata kemalangan atau kegagalan yang bersifat kompleks) selalu saja akan bisa terjadi. Nobody but God is perfect. Namun demikian, sebagai seeker pembelajar kehidupan kita memang harus selalu membiasakan memandang sesuatu secara berimbang dan tidak berlebihan (Istilah orang jawa = 'ora gampang ngentahke /ora langsung mandheke' = tidak mudah mencela, tidak segera memuja ~  seperti kezaliman kaprah yang menjadi kelaziman lumrah saat ini). Setiap pribadi yang berperan dan segala peristiwa yang berlangsung adalah ayat media pembelajaran dari Tuhan untuk memberdaya kita sebagai pengembara keabadian yang melintasi kehidupan dunia ini sesuai dengan amanahNya. Diberkahilah bumi kebersamaan ini atas kehadiran mereka (yang baik tersirat /tersurat , langsung /tidak) telah memuliakan Dharma Tuhan melalui persepsi dan refleksi kehidupannya pada lintasan garis samsara perjalanan keabadiannya yang senantiasa berhadapan dalam pembelajaran dan pemberdayaan Tuhan di sini ataupun di sana, saat ini ataupun nanti).
HADITS KEDUAPULUH EMPAT
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ  ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ   مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ .   يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ    وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .
[رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Yaa ‘ibaadii innaa harromtu zhuluma ‘alaa nafsii wa ja’altuhu bainakum muharroma fa laa tazhoolamuu
Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahuanhu dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wajalla bahwa Dia berfirman: Wahai hambaku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) diantara kalian, maka janganlah kalian saling berlaku zalim. Wahai hambaku semua kalian adalah sesat kecuali siapa yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah. Wahai hambaku, kalian semuanya kelaparan kecuali siapa yang aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian makanan. Wahai hamba-Ku, kalian semuanya telanjang kecuali siapa yang aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian pakaian. Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni. Wahai hamba-Ku sesungguhnya tidak ada kemudharatan yang dapat kalian lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak ada kemanfaatan yang kalian berikan kepada-Ku. Wahai hambaku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin di antara kalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku, seandainya  sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu kalian meminta kepada-Ku, lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan untuk kalian kemudian diberikan balasannya, siapa yang banyak mendapatkan kebaikaan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan selain (kebaikan) itu janganlah ada yang dicela kecuali dirinya. (Riwayat Muslim)
Kehidupan fana ini hanyalah lintasan garis keabadian dimana segala tindakan kita akan berdampak pada atsar kesejatian kita berikutnya. Adalah bodoh jika kita bukan hanya tidak memuliakan amanahNya dengan pencerahan kesadaran, harmoni pengertian dan pemberdayaan kebersamaan namun justru mengotorinya dengan ghibah penghujatan, fitnah penghasutan dan namimah permusuhan dalam kehidupan ini. Memang tidak disalahkan untuk membela siapapun juga (untuk menguatkan yang dizalimi dan mencegah penzaliman berikutnya) namun tidak dibenarkan jika itu dilakukan dengan mencela (karena bukankah itu bentuk penzaliman yang beresensi sama juga walau dengan obyek yang berbeda). Jalani saja permainan keabadian yang disebut kehidupan ini secara dewasa dan dengan bijaksana. Semua ini hanyalah media pembelajaran dan pemberdayaan dariNya untuk mengembangkan kearifan kita dalam menerima kenyataan, keahlian kita untuk mengatasi permasalahan dan kebaikan kita untuk menghayati kebersamaan.
Adalah menarik melihat dinamika maneuver politis dan kreativitas dukungan dalam pilpres 2014 ini. Mulai dari hal yang memprihatinkan (fitnah tabloid obor rakyat, ghibah Sara di media sosial, tebar pesona para kandidat yang terkadang berlebihan, saling mencela antara pendukung yang agak kebablasan, dlsb) hingga hal yang menggembirakan (partisipasi aktif rakyat disamping mobilisasi mesin partai koalisi seperti kontribusi melibatkan pendanaan, konser salam dua jari, dll). Tampaknya bangsa ini tengah belajar kembali untuk  memberdaya (atau memperdaya ?) diri sendiri dan saudara sesama putera bangsanya dalam episode kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara. Semula saya masih bisa konsisten dalam  tasamuh/taqiyah untuk hal-hal yang bersifat politik seperti ini dan hanya sekedar mengamati dan menikmati perjalanan pesta demokrasi politik di negeri ini dikarenakan banyak hal yang lebih utama lainnya perlu dikerjakan. Namun kemudian kehadiran kampanye hitam/negative tabloid obor rakyat mulai mengusik ketenangan hati saya. Haruskah saya berdiam diri saya ketika sesama saudara putera bangsa  sudah saling menzalimi (diri sendiri dan orang lain). Semula saya mengira akan ada perlindungan negara ini demi kesetaraan hak bagi yang dizalimi karena cara ini sesungguhnya kontraproduktif  (hanya orang yang sakit hatinya membenarkan penzaliman dari orang yang telah mati hatinya terhadap orang lain yang bisa jadi dalam diamnya lebih hidup hatinya untuk bersabar sebelum bertindak mencegah penzaliman berlanjut dari sesamanya). Walau mungkin penzaliman ini dianggap ‘wajar’ sesuai dengan kelaziman yang ada tetapi ini bukan saja sangat tidak adil namun juga tidak baik bagi kedewasaan dan kebijaksanaan politik di negeri ini (kemenangan/kekalahan yang mulia dengan cara beradab seharusnya lebih diutamakan ketimbang pemenangan/kesalahan yang tercela di dunia pada saat ini dan dampak atsarnya di akherat kelak)..  Di media sosial pembunuhan karakter yang sistematis ternyata semakin berlanjut melalui ghibah SARA. Balasan dari pendukung Jokowi-pun akhirnya muncul dengan isu yang sama terhadap keluarga Prabowo. Dan sial … mengapa akhirnya sayapun ikut masuk juga melerai mereka semua dengan mencoba melindungi yang satu dan mencegah yang lainnya atas ‘keadilan’ (atau kenaifan?) untuk saling melazimkan kezaliman tersebut. Semoga Tuhan bisa memaklumi keberfihakan (terhadap Jokowi?) ini sehingga tidak menjadikan keseimbangan dalam mengamati dan keberimbangan dalam menjalani hidup ini menjadi terganggu akhirnya. Perang darat dan udara di pilpres ini memang berkecamuk di mana-mana (Media Televisi, Media Sosial Internet, Surat ‘pribadi’ dukungan, dsb). Sesungguhnya akan terlalu banyak yang bisa diutarakan tentang hal tersebut pada artikel ini. Namun demikian saya harus bijak untuk memilah masalah yang krusial saja untuk dibahas. Kita fokuskan saja perjalanan Jokowi ini dalam perjalanan Pilpres berikut ini.
1. Saat Pra Deklarasi
Begitu cepat waktu berlalu. Baru tahun lalu saya berencana menuliskan ulasan tentang Jokowi dari sisi kemanusiaan tanpa tendensi politik apapun. Namun tahun ini ternyata beliau begitu cepat meroket (sementara masa bhakti sebagai walikota Surakarta belum selesai, dia akhirnya menjadi Gubernur Jakarta. Masa pengabdian di Jakarta belum tuntas kembali dia menuju ke wilayah yang lebih luas .. sebagai capres NKRI). 
Walaupun pencapresan pak Jokowi terasa agak ‘Nggege mongso’ namun ….Well, Que sera sera… pantha rei (Baiklah, apa yang terjadi terjadilah. Biar semua mengalir apa adanya). Saya mungkin sependapat dengan bu Sutarti (tetangga bapak kala masih kecil) kala dia berkata : “kalau itu memang kehendak Tuhan dia ini harus jadi presiden, ya…biarin aja….” So, biarkan sejarah akan menjawabnya. Seandainya Tuhan melalui pilihan (mayoritas) rakyat menghendaki beliau menjadi pemimpin bersama bangsa ini maka tiada mungkin kekuatan manusia yang akan (tega/bisa) menghalanginya. Demikian juga jika sebaliknya .. Semoga ini tetap akan menjadi pembelajaran saat ini dan juga akan jadi pemberdayaan saat nanti. 
Setelah didesak para simpatisannya, bu Mega (Ketum PDI-P: peringkat 1 Pileg) dan ‘koalisi’ kerjasama tanpa syaratnya (Nasdem, PKB, dsb) akhirnya memandatkan pak Jokowi sebagai capres dan pak JK sebagai cawapresnya. Sementara di fihak lain Pak Prabowo (Ketum Gerindra =  peringkat 3 Pileg) dan  pak Hatta sebagai capres dan cawapresnya didukung koalisi besar “Merah Putih.’ Disayangkan pak ARB (Ketum Golkar = peringkat 2 Pileg) pada akhirnya walau sudah promo jauh hari sebelumnya namun tampak agak telat/ragu bergerak dan tidak jadi mengikuti sebagai kandidat lainnya dan malah bergabung mendukung satu fihak …. suatu kemunduran yang walau mungkin akan mengamankan kepentingan politiknya saat ini namun bisa jadi akan berdampak buruk pada elektabilitas partai pada saat mendatang (Pada waktu sebelumnya Ketum Golkar JK walaupun dipastikan tetap kalah namun tetap bertanding menghadapi SBY. Walaupun akhirnya kalah seperti diperkirakan semula namun sikap ksatrianya ini sangat dihargai publik dan ini setidak-tidaknnya juga berpengaruh pada pencapaian pileg tahun ini yang cukup lumayan sebagai runner-up sama sebagaimana pada awal reformasi dulu). Walaupun sebelumnya saya berharap kehadiran ARB namun garisNya nenentukan berbeda. Pertarungan dua kandidat (Jokowi & Prabowo sebagaiman harusnya …. bukan Jokowi vs Prabowo seperti kelihatannya) sangat rentan dengan persaingan yang lebih sengit dan tidak sehat bagi pembelajaran demokrasi kebersamaan bangsa dan pemberdayaan aktualisasi kepemimpinan nasional bukan hanya dalam proses pemenangannya (saling mencela, ghibah bahkan fitnah yang bukan hanya mengakibatkan cela dunia namun juga dosa akherat terkadang tidak ragu dan tanpa malu dilakukan hingga munajat do’a untuk ‘memaksakan/mengarahkan’ Tuhan untuk membenarkan kepentingan ‘ukhrowi’ yang walau sesungguhnya hanya dalam level pembenaran kemenangan duniawi semata) namun juga dalam keberkahan selanjutnya (upaya kecurangan bahkan pencurangan publik, pembanggaan kemenangan, kedengkian kekalahan hingga ‘agenda’ perselisihan, penjegalan, penyelewengan dan perselingkuhan yang bukan hanya menjerumuskan kader namun juga menelantarkan rakyat, membocorkan biduk negeri dan menghancurkan bangsa besar ini). Lebih dari 3 kandidat sebetulnya akan lebih baik andaikan saja para pembuat kebijakan tidak picik membuat produk regulasi yang menguntungkan bagi mesin partai politiknya belaka dan penyelenggara demokrasi tidak licik main proyek demi memperlama/memperbesar anggaran demokrasi. Satu putaran bisa saja tetap dilakukan walaupun pemenang kontestan tidak harus ‘ideal’ 50 % plus satu – karena sesungguhnya yang penting bukanlah sekedar siapa pemimpinnya nanti tapi bagaimana cara kepemimpinan nanti dilaksanakan. Kandidat independenpun bisa ikut (Adalah Haq bagi Tuhan untuk mempersilakan rakyat dalam menentukan kelayakannya berdasarkan penalaran akal sehatnya, ketulusan hati nuraninya, dan kesadaran fithrah jiwanya) untuk merealisasi kesetaraan hak dalam hukum dan pemerintahan. Walaupun tentu saja filter untuk menentukan figure yang ‘mantep’ (memang mempunyai kapasitas dan dukungan massa dalam pandangan publik) tidak sekedar ‘anggep’(hanya karena ‘bermimpi’ sudah bisa memimpin hanya dengan obsesi menjadi  dan ambisi berkuasa semata) perlu dilakukan juga untuk menghindari berlimpahnya kandidat yang mendaftar dan perpecahan keberlanjutan dalam ‘faksi kebersamaan’ /penyesalan mempermalukan ‘kebangaan diri’  di kemudian hari . Diharapkan, setelah paska pemilihan apapun juga yang dilaksanakan, paradigma sinergi kebersamaan demi pemberdayaan dan kemaslahatan  lebih mengemuka ketimbang koalisi transaksional yang rentan penyelewengan/perselingkuhan ataupun oposisi antipatis yang rentan penjegalan/ perselisihan dalam memperdaya bangsa dan membawa kemudharatan bersama. Demi keberkahan Ilahiah, wakil rakyat harus utamakan rakyat – jangan makan rakyat, memperdaya bangsa dan menghancurkan negara jika ‘cari makan’ atas nama ‘rakyat’ (harusnya: beribadah kepadaNya dengan mengabdikan diri sebagai pengemban amanah) pada seluruh warga bangsa di negara Indonesia ini …. Vox populi, Vox Dei.           
 2. Saat Deklarasi
Walau sebagai pelaksana tidak ada yang meragukan kemampuan pak Jokowi, namun sebagai pembicara tampaknya masih perlu pengasahan dan pengalaman lagi. Pada saat deklarasi (maaf) walaupun saya pendukung pak Jokowi namun di media sosial saya harus adil dan fair dalam menilai prilaku yang ada secara obyektif  tanpa tendensi pribadi. Walau saya tetap mendukung keautentikan dan spontanitas Jokowi namun saya harus akui bahwa pada saat deklarasi itu sikap dan pidato Prabowo lebih bijak dari sisi estetika dan rhetorika. Sikap kenegarawanan – apakah itu hanyalah sekedar pencitraan ataupun memang benar demikian adanya – adalah mutlak untuk dilakukan. Memandang persaingan dalam konteks persaudaraan, dan sportivitas kesediaan menerima jika ternyata nantinya (mayoritas) rakyat lebih memilih pak Jokowi sebagai pemimpin bersama rakyat walau beliaupun berusaha memenangkan pilpres tersebut (dan hendaklah demikian pula sebaliknya).Secara pribadi saya tidak mempermasalahkan ’feng shui’ bilangan apapun juga karena setiap angka bisa memiliki simbolisasi apapun juga. Namun demikian ada yang menarik tentang ungkapan filosofis dualisme akan undian nomor dua yang didapatkan. Walaupun rhetorika silogismanya mungkin kurang tepat demikian, namun saya suka aspek harmoni sebagai konklusinya (lebih bersifat Taoistik yang harmonis dalam memandang dualisme keberadaan ketimbang zoroastrianisme yang menekankan pertentangan aspek dualitas tersebut). Dalam hidup ini memang diperlukan integrasi dalam merengkuh perbedaan sebagai keseluruhan (equilibrium pada alithea – keselarasan dalam kebenaran) agar kita tetap seimbang dalam harmoni berpandangan dan berimbang kala melakukan sinergi tindakan. Perlu kearifan dalam kebaikan, keasihan dalam keadilan dan kebijakan dalam ketegasan agar keberkahan tidak dipandang sebagai kelemahan bagi penzaliman nantinya.
3. Saat Debat
Rosulullooh SAW ada menyatakan pada umatnya walaupun tidak melarang perdebatan namun berusaha untuk menghindarinya walaupun berada dalam fihak yang benar (untuk menghindari kemudharatan debat kusir, upaya merekayasa rasionalisasi pembenaran kepalsuan, mempermulia diri dengan menjatuhkan lainnya, dsb).
Namun demikian debat kandidat sesungguhnya bukanlah sesuatu yang buruk selama itu dimaksudkan sebagai media pembelajaran dan pemberdayaan bagi demokrasi politik di negeri ini. Ini adalah media yang baik bukan hanya untuk pengenalan dan silaturahim bagi para kandidat kepada publik untuk mengajukan visi/misi program yang akan dilakukannya pada masa kepemimpinan mereka kelak namun juga media argumentasi untuk saling asah, asih dan asuh antara kandidat atas hal tersebut. Debat dilakukan sebanyak 5 kali.
DEBAT I =CAPRES/CAWAPRES(Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Bersih dan Kepastian Hukum) Senin (9/6/2014) dengan moderator Zainal Arifin Mochtar (Dosen Hukum UGM).
DEBAT II = CAPRES (Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial)
Minggu (15/6/2014) dengan moderator Ahmad Erani Yustika (Guru Besar Universitas Brawijaya)
DEBAT III = CAPRES = Politik Internal dan Ketahanan Nasional
Minggu (22/6/2014) dengan moderator Hikmahanto Juwana (Guru Besar Universitas Indonesia).
DEBAT IV = CAWAPRES  = Pembangunan Sumber Daya Manusia dan IPTEK
Minggu (29/6/2014) dengan moderator Dwikorita Karnawati (Wakil Rektor UGM)
DEBAT V= CAPRES/CAWAPRES = Pangan, Energi, dan Lingkungan.
Sabtu(5/7/2014) dengan moderator : Sudharto P. Hadi (Rektor UNDIP)
Begitu banyak dinamika yang terjadi dan sesungguhnya menarik untuk diulas namun demikian untuk menjaga kebersamaan ada baiknya untuk tidak perlu scoring penilaian masing-masing kandidat demi menjaga kenyamanan antar fihak dan membina suasana damai yang perlu dibangun menjelang akhir proses pilpres 2014 ini. Setiap kandidat memiliki kelebihan yang harus diakui dan kelemahan yang harus diterima apa adanya. Lagi pula yang utama adalah bukanlah apa yang mereka katakan tetapi bagaimana tindakan mereka nantinya.

 3. ISTIRJA’AH / ISTI’ANAH
Hidup bagaikan pelangi yang kaya warna yang membiaskan aneka ragam paradigm Realitas kebenaran yang tersirat  pada fenomena kenyataan yang tersurat. Fenomena tersebut merefleksikan keaslian dan juga kesemuan, kebenaran dan juga kepalsuan tergantung dengan kebenaran dan ketepatan cara bagaimana kita memandangnya. Disadari atau tidak sesungguhnya kita semua adalah para Truth Seeker (pencari kebenaran) dan Dharma Sekha (penempuh keabadian) yang belajar dari Tuhan - Satya Guru Abadi- melalui siapapun juga dan apapun saja dalam perjalanan kehidupan ini. Permasalahannya adalah seberapa baik kita mampu untuk senantiasa memahami kenyataan, menghayati kebenaran dan menjalani ketaqwaan pada garis cintaNya. Tuhan adalah Dzat Mutlak yang imanensi keluhuranNya melingkupi segala sesuatu walaupun memang transendensi kekudusanNya tak akan mampu terjangkau siapapun juga. Dunia dan akherat hanyalah terminology peristilahan bagi Fenomena dimensi yang terpilah bukanlah Realitas esensi yang terpisah. Pada hakekatnya (baik disini maupun disana - baik sekarang ataupun nanti) kita senantiasa berhadapan denganNya. Segalanya berproses, berlanjut dan juga berdampak pada saatnya.
Ada yang menarik pada debat capres/cawapres terakhir ketika pak Jokowi memanjatkan do’a sapu jagat Islami (QS 2 Al Baqoroh: 201) sebelum mengakhiri salam 2 jari penutupnya, sebagai berikut :
201) Waminhum man yaquulu rabbanaa aatinaa fii ddunyaa hasanatan, wafii l -aakhirati hasanatan, waqinaa 'adzaaban naar ; 201) Ulaa-ika lahum nashiibun mimmaa kasabuu walaahu sarii'u lhisaab
201)  dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka". 202) mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Sebagai muslim secara pribadi saya tidak memandang  do’a ini sebagai aneh adanya jika diucapkan oleh saudara muslim lainnya walaupun ‘keberanian’ ini – saya rasa – tampaknya cukup  mengejutkan (walau tidak dimaksudkan untuk mempermalukan apalagi sekedar pencitraan) bagi para pencelanya yang sepanjang waktu di manapun berada selalu  “istiqomah”  menjatuhkannya dengan ghibah bahkan fitnah SARA demi ‘amanah’ tersirat pembenaran upaya transaksi kepentingannya di pemerintahan kelak. Di sini saya tidak ingin membahas fitnah dan ghibah yang salah arah tersebut apalagi mencari-cari kesalahan lughoh/fiqih dari do’a tersebut (yang kita  sadari hanyalah akan  mempermalukan diri dengan cela dunia dan membebani diri dengan dosa akherat yang Allooh SWT yang Maha Jeli atas segala tindakan zahiriah/batiniah makhlukNya tentunya tidak akan mudah terpedaya untuk menerimanya hanya dengan ‘kesungguhan’ ratapan istighfar maupun salaman yang mantap belaka kecuali dengan taubat nasuha yang tulus dan ishlah tamhuha yang sadar untuk mengimbangi mizan amalan dan memperbaiki dengan iffah penebusan dalam akhlak dan amaliah ketaqwaan berikutnya). Di sini saya akan mengkaji sejumlah nash yang berkaitan dengan tahap ke-tiga pensikapan tindakan yang perlu disarankan .... istirja’ah (keshabaran penerimaan) atau isti’anah (permohonan petunjukNya). Dua istilah yang pada hakekatnya sama yaitu qona’ah – penerimaan (tawakal setelah ikhtiar) untuk tetap bershabar dalam ‘mushibah’ dalam kegagalan (jika kalah) dan istiqomah (kemantapan diri dalam petunjukNya) untuk menjalani amanah (jika menang).  Do’a adalah permohonan, pengarahan dan pemberkahan. Permohonan adalah munajat keinginan seorang hamba yang menyadari keterbatasannya sebagai makhluk kepada Tuhannya; pengarahan adalah konsistensi tindakan untuk melayakkan diri dengan apa yang dimunajatkannya; pemberkahan adalah keberlanjutan tindakan dalam sinkronisasi kebenaran selanjutnya. Do’a sapu jagat tersebut memohonkan kita pada kebaikan dunia, akherat dan penghindaran azab neraka. Namun demikian kita perlu arif dalam memahami hakekat akan kebaikan (hasanah) Ilahiah yang terkadang bisa saja agak berbeda dengan pandangan keinginan insaniah.
Bagi Tuhan segalanya (peristiwa, keberadaan, dlsb) adalah baik adanya sebagai hikmah pembelajaran keabadian dan inayah pemberdayaan kehidupan bagi setiap makhlukNya (QS 21: 35). Kehidupan dunia sesaat mungkin saja hanya memandang apa yang kita miliki dan nikmati namun demikian progress keabadian akherat sesungguhnya mengutamakan bagaimana cara kita mensikapi dan tindakan apa yang perlu untuk menjalaninya (QS 2: 216).  Keberkahan in process yang diupayakan lebih utama dari sekedar by product kesuksesan yang didapatkan dalam menempuh perjalanan keabadiannya dalam hidup ini (QS 103: 1 – 3).
Referensi Hujjah =
QS 21 : Surat Anbiya = 35
kullu nafsin dzaa-iqotul mawti wa nabluukum bisy syarri wal khoyri fitnatan wa-ilaynaa turja'uun
35) tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
QS 21 : Surat Baqoroh : 216 =
Kutiba 'alaykumul qitaalu wa huwa kurhul lakum.  Wa 'asaa an takrohuu syay-an wa huwa khoyrul lakum ;  wa 'asaa an tuhibbuu syay-an wa huwa syarrul lakum. Walloohu ya'lamu , wa-antum laa ta'lamuun.
[2:216] Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
QS 103 : Surat Al ‘Ashr = 1 - 3 =
1) Wal ‘ashr(i); 2) Innal insaana lafii khusr(in) ; 3) illal ladzina aamanu,wa ‘amilush shoolihati,;wa tawaashou bil haqqi,wa tawaashou bish shobr(i).
1) demi masa ; 2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati/memberdayakan dalam mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.

Tadabur ayat =
[103.1] Pemberdayaan Waktu 
Allooh SWT berfirman dengan menggunakan sumpah atas sesuatu yang sangat berharga yang telah diamanahkannya kepada kita namun sering terlalaikan pemberdayaan kemanfaatannya secara optimal dalam kehidupan kita : yaitu Al Ashr (waktu). Waktu bersifat linear – dalam artian : dia terus melaju ke muka dan tak pernah berbalik ke belakang. Waktu yang telah berlalu tak mungkin bisa kita ulang kembali. Selain itu, jatah waktu kehidupan setiap manusia adalah sangat terbatas (Tiada pesta yang tak berakhir demikian juga kehidupan kita di dunia ini. Dalam hidup hanya satu yang pasti bahwa kita pasti mati.). Sedangkan kematian itu sendiri walaupun bersifat kodrati, tidak bisa dihindari namun kedatangannya adalah misteri. Untuk itulah diperlukan kebijaksanaan, keseimbangan dan keselarasan dalam memanfaatkan waktu (baca: garis keabadian hidup). 
[103.2] Keterpedayaan
Nabi Muhammad S.A.W pernah menyatakan sebagian besar orang tertidur dan bermimpi dalam hidupnya dan baru bangun dan terjaga ketika dia sudah mati. Ketika waktu hidup telah terlewat, ketika segalanya sudah terlambat. Manusia adalah makhluk yang walaupun secara alamiah berkecenderungan buruk namun berpotensi baik. Manusia diberkahi akal-budi dan hati nurani yang memungkinkannya memenuhi potensi kemuliaan fitrah jiwanya sepanjang dia mampu memberdayakan akal-budinya dalam garis ketaqwaan yang diilhamkan kepadanya dan tidak justru malahan terperdaya oleh kecenderungan buruk naluri hawa-nafsunya sendiri. Ketidak-mengertian dalam memahami kebenaran abadi, ketidak-berdayaan dalam kemelekatan kehidupan duniawi, dan ketidak-perdulian untuk pemberdayaan kelanjutan ukhrowi telah menyebabkan mereka terperdaya dalam kesia-siaan bukan hanya dalam menempuh dampak kehidupan saat ini namun juga dalam melanjutkan atsar keabadiannya nanti.
Dalam Buddhisme avidya samsara kebodohan ini dikarenakan tilakhana kemelekatan (lobha kemelekatan terhadap yang disukai, dosa penolakan terhadap yang dibenci dan moha keacuhan terhadap yang tak dilekati) sehingga menghalangi panna phasa (kontak bijak) terhadap realitas kebenaran yang tersirat dalam fenomena kenyataan yang tersurat.     
[103.3] Keberdayaan
Keberdayaan bagi mereka yang sholihun li nafsi wa muslihun li ghoirihi (Pribadi yang bukan hanya memiliki kebaikan pada dirinya namun juga membawa kebaikan bagi sesama lainnya) yaitu bagi yang beriman dan beramal sholih serta juga saling mengingatkan/ memberdayakan dalam kebenaran dan keshabaran. Dengan landasan arkanuddin (rukun agama: iman, islam, dan ihsan) yang kaffah mereka melaksanakan arkanul amal (rukun amal: ittiba, ikhlash dan mahabah) yang benar baik hablum minallooh/minan nas dan saling memberdayakan dengan sesamanya dalam kebenaran arkanul ‘ilmu (rukun ilmu: mempelajari, melaksanakan dan mensiarkannya) dan keistiqomahan arkanush shobr (rukun sabar dalam menerima musibah. menjalani keta’atan, menghindari kemaksiatan).
Senantiasa ada hikmah kebijaksanaan akan kebenaranNya yang tersirat dari hibrah fenomena kenyataan yang tersurat dalam setiap peristiwa/keberadaan bagi setiap makhlukNya sebagai penjelajah keabadian dan penempuh kehidupan ini untuk bersikap secara benar dan bertindak dengan bijak karena pada hakekatnya segala sesuatunya (baik atau buruk) hanyalah media ujian dariNya (QS 2: 155 - 157). Jadi, Amor Dei, Amor Fati … jika cinta Tuhan, cintailah GarisNya – Cukuplah Tuhan sebagai saksi bagi Ihsan dan pelindung untuk istiqomah (QS 3: 173 ) sebagaimana iftitah komitmen peribadahan diri hanya kepadaNya (QS 6: 162) karena memang diperlukan akal sehat, hati nurani dan kemantapan jiwa dalam mensikapi dan menjalani permainan keabadianNya yang disebut kehidupan ini (QS 89: 27 – 30)
Referensi Hujjah =
QS 2 Al Baqoroh : 155 – 157 :
155) wa lanabluwannakum bisyay-in minal khowfi wal juu'i wa naqshin minal -amwaali wal -anfusi wats tsamarooti wa basy-syirish shoobiriin ; 156) alladziina idzaa ashoobat-hum mushiibatun qooluu : “ innaa lillaahi wa -innaa ilayhi rooji'uun ; 157) ulaa-ika 'alayhim sholawaatun min robbihim warohmatun wa ulaa-ika humul muhtaduun.
155)  Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. 156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Sesungguhnya kita semua berasal dari Allooh dan sesungguhnya kepadaNya kita akan kembali” ; 157) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
QS 3 Ali  Imron 173: 
Alladziina qoola lahumun naasu innan naasa qad jama'uu lakum fakh-syawhum fazaadahum iimaanan wa qooluu hasbunaallaahu wa ni'mal wakiil
[3:173] (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung".
QS 6 Al  An’aam 162   
Qul Inna sholati, wa nusuki ; wa maa yahya,wa maa maati lillaahi robbil ‘alamin.
Sesungguhnya sholatku,ibadahku; hidupku, dan matiku hanya untuk Allooh Tuhan semesta alam
QS 89 Al Fajr : 27 – 30 :
27) Yaa ayyatuhaan nafsul muthmainah ; 28) Irji’ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah;  29) Fad khulii fii ‘ibaadii ; 30) Wad khulli jannati
27) Hai jiwa yang tenang.; 28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. 29) Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, 30) dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Sebagaimana fatihah pembuka untuk senantiasa mengingatkan komitmen iman kesaksian akan kemuliaan Tuhan, munajat keistiqomahan dalam islam dalam tujuan peribadatan/permohonan petunjuk dan munajat permohonan agar senantiasa terbimbing dalam jalan lurusNya untuk sekaligus mampu memahami kebenaran tanpa kesesatan dan menjalani ketaqwaan tanpa kemurkaanNya dan penzaliman kepadaNya (QS 1 : 1 – 7) maka hendaklah ketaqwaan islamiah abadi terus dijalani disamping  menjaga kebersamaan dan memberdaya kebenaran dengan seruan keteladanan akan kebajikan, kesantunan dan kebijakan untuk menghindari diri dan lainnya dari kemungkaran/penzaliman/penyesatan (QS 3: 102 – 106). Terakhir kali, teruslah bermuhasabah dan bermujahadah dalam pemberdayaan kerobbaniahan diri agar kesejatian diri tidak terlepas dari Sumber keabadianNya dalam menempuh kehidupan fana ini (QS 59 : 18 – 20)
Referensi Hujjah =
QS Al Fatihah : 1 - 7: Ini adalah rangkaian ayat pembuka (fatihah)
1) Bismillaahhir rohmaanir rohiim; 2) Alhamdulillahi robbil ‘aalamin; 3) Arrohmaanir rohiim; 4) Maaliki yaumiddiin; 5) Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin; 6) Ihdinash shiroothol mustaqiim ; 7) Shiroothol ladziina an’amta  ‘alaihim - ghoiril: magh-dhuubi  ‘alaihim,wa ladh-dhoolliin. ( Aamiin.)
1) dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. ; 2) segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam; 3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.; 4) yang menguasai di hari Pembalasan. 5) hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan; 6) Tunjukilah Kami jalan yang lurus,; 7)  (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
QS Ali Imron : 102 – 105 : Ini adalah rangkaian ayat hujjah istiqomah & ukhuwah
102) Yaa Ayyuhalladziina aamanut taqullooha haqqo tuqootihii ~ wa laa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.;103) Wa’tashimuu bi hablillaahi jamii’aw ,wa laa tafaroquu; wadzkuruu ni’matalloohi ‘alaikum idz kuntum adaa-an ~ fa’allafa baina quluubikum,fa ashbahtum bi ni’matihii: ikhwaanaa ; wa kuntum ‘alaa syafaa hufrotim minan naari~ fa anqodzakum minhaa; Kadzalika yubay-yinulloohu lakum aayaatihi la’allakum tahtaduun.; 104) Wal takun minkumu ummatuy yad’uuna ilaal khoiri,wa ya-muruunaa bil ma’ruufi,wa yanhauna ‘anil munkar; Wa ulaa-ika humul muflihuun. 105) Wa laa takuunuu kalladziina tafarroquu wa akhtalafuu mim ba’di maa jaaa-a humul bayyinah. Wa uulaa-ika hum ‘adzabun ‘azhiim.
102) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. 103) dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. 104) dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. 105) dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,
QS 59 Al Hasyr = 18 – 20: Ini adalah rangkaian ayat muhasabah & mujahadah
18) Yaa ayyuhalladziina aamanut taqullooha. wal tanzhur nafsum maa qoddamat lighod(in); wat taqullooha inallooha khobirun bimaa ta’maluun; 19) wa laa takuunu kalladziina nasullooha fa ansahum anfusahum ~ ulaa-ika humul faasiquun; 20) Laa yastawi ashabun naari wa ashabul jannati/h ~ Ashabul jannati humul faa-izuun.
18) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ; 19) Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. ; 20) Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.

B. Jika Kemenangan Pada Prabowo
HADITS KEDELAPAN BELAS
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “